Mongabay.co.id

Menyoal Transisi Energi Sektor Transportasi

Kendaraan berbahan bakar fosil memerlukan pengaturan emisi gas buagnya. Ilustrasi kemacetan yang terjadi di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Transportasi merupakan penyumbang emisi ketika dari sektor energi. Emisi kendaraan berbahan bakar fosil mengeluarkan senyawa berbahaya seperti partikulat matter (PM), karbon monoksida (CO), karbondioksida (CO2), sulfur (SOx), nitrogen oksida (NOx) dan hidrokarbon (HC). Senyawa ini merusak sistem pernapasan saat terhirup manusia. Catatan Koaksi Indonesia, kerugian negara dampak kesehatan mencapai Rp154 triliun dan menyebabkan kematian dini 44.000 jiwa pada 2018.

Internatioal Energy Agency (IEA) mencatat, terdapat 7,2 juta kendaraan di dunia dan bakal meningkat 60% setiap tahun. Di Indonesia, transisi energi sektor ini dinilai penting guna mengurangi jumlah impor minyak mentah dan menghemat devisa Rp42,05 triliun pada 2019. Per September 2020, kebutuhan impor BBM mencapai 800.000 barel minyak per hari.

Dua target utama pemerintah dalam transisi energi adalah kebijakan bahan bakar nabati (BBN) dan kendaraan listrik. BBN prioritas pemerintah saat ini adalah biodesel campuran solar dengan minyak sawit.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Tarbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM menetapkan volume alokasi biodesel tahun 2021 sebesar 9,2 juta kilo liter (KL). Besaran ini untuk pencampuran biodiesel sebesar 30% (B30).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM menjelaskan, ada penurunan dalam penetapan alokasi dibanding 2020.

“Penurunan karena dampak pandemi COVID-19 masih berlanjut,” katanya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Pertimbangan ini berkaca dari realisasi penyaluran biodiesel pada 2020. Hingga akhir Desember 2020, kata Dadan, proyeksi realisasi sebesar 8,5 juta KL atau 88% dari target sebesar 9,6 juta KL. Dia bilang, terjadi gagal suplai beberapa badan usaha BBN dalam penyaluran biodiesel.

 

Baca juga: Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial

Mobil listrik parkir di tempat pengisian di Singapura. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Untuk penyaluran BBN pada 2021, pemerintah menunjuk 20 badan usaha sebagai pemasok biodiesel. Ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 pada 18 Desember 2020.

PT Wilmar Nabati Indonesia, mendapatkan alokasi 1,37 juta KL diikuti PT Wilmar Bioenergi Indonesia 1,32 juta KL. Kemudian ada PT Musim Mas dan PT Cemerlang Energi Perkasa, akan mendistribusikan biodiesel masing-masing 882.000 KL dan 483.000 KL.

Saat ini, terdaftar 41 BU-BBN yang memiliki izin usaha niaga BBN dengan kapasitas 14,75 juta KL, terdiri dari 27 BU-BBN aktif dan 14 BU-BBN tidak aktif. Ada juga satu BU-BBN yang memperluas pabrik biodiesel dengan kapasitas 478.000 KL. Juga tiga BU-BBN sedang bangun pabrik biodiesel baru kapasitas 1,57 juta KL dan akan mengajukan izin pada 2021.

Program biodiesel, kata Dadan, akan menjadi program perhatian pertama dalam mencapai target 23% bauran energi pada 2025.

“Mandatori B30 dengan mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar. Kita sedang menyiapkan pemanfaatan biofuelnya,” katanya.

Selanjutnya, fokus pemerintah adalah co-firing biomassa. Program ini merupakan metode memanfaatkan biomassa sebagai subtitusi atau campuran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Adapula percepatan pembangunan pembangkit surya (PLTS). Fleksibilitas lokasi (lahan) dan waktu singkat dalam pembangunan pembangkit, katanya, jadi pertimbangan pemerintah mengutamakan program ini. “Ada PLTS atap, rooftop, PLTS terapung di waduk atau bendungan, dan PLTS skala besar,” katanya.

Terakhir, konversi pembangkit listrik berbasis energi fosil, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Pemerintah pun menargetkan akan ada penambahan kapasitas terpasang pembangkit terbarukan sebesar 905,73 megawatt, terdiri dari 196 megawatt PLTP, 557,93 megawatt PLTA, 138,8 megawatt PLTS, dan 13 megawatt PLTBm.

Target investasi terbarukan 2021 naik menjadi US$2,05 miliar atau sekitar Rp28,9 triliun (asumsi kurs Rp14.100 per dolar) dari capaian investasi pada 2020 sebesar US$1,36 miliar atau sekitar Rp19,2 triliun. “Ada sedikit ekspansi, peningkatan kualitas, jadi investasi 2021 targetnya lebih tinggi.”

 

Baca juga: Program Biodiesel Ancam Alih Fungsi Lahan, Libatkan Petani Sawit dalam Rantai Pasok

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Ada kesenjangan

Muhammad Ridwan Arif, Knowledge Management Coordinator Koaksi Indonesia menilai, ada kesenjangan dalam implementasi kebijakan transisi energi sektor transportasi saat ini. Dia bilang, belum ada standar keberlanjutan pada industri BBN dan kendaraan listrik.

Industri biodiesel, katanya, berpotensi menambah luas lahan sawit. Sisi lain belum ada kajian life cycle analysis untuk kendaraan lsitrik baik di hulu saat eksplorasi tambang (nikel, timbal, lithium) dan manufaktur (baterai dan modul). Maupun, di hilir saat integrasi kendaraan listrik dengan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan daur ulang baterai untuk pemakaian kembali.

Saat ini, katanya, sertifikasi standar berkelanjutan sisi hulu kendaraan listrik masih sukarela, sementara di hilir masih dalam kajian.

Dari segi ekonomi, kata Arif, masih ada insentif uang dalam program biodiesel. Tahun lalu, pemerintah mengucurkan Rp2,78 triliun untuk biodiesel lewat program pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan ini, dia nilai tak tepat sasaran karena hanya mensubsidi perusahan sawit besar seperti Wilmar Group.

“Selain itu juga ada potensi stranded assets dari infrastruktur BBN,” kata Arif.

Perlu juga dicermati dalam kebijakan biodiesel bahwa dari 14,33 juta hektar lahan sawit saat ini, baru 5,45 juta hektar sudah bersertifikat keberlanjutan ISPO. Sisanya, 8,88 juta hektar belum ada sertifikat ISPO.

“Sementara itu biaya yang diperlukan untuk insentif biodiesel selama pandemi makin membengkak,” kata Arif. Kondisi ini, katanya, menyebabkan ketergantungan insentif pada program biodiesel.

Untuk kendaraan listrik, katanya, memang nol untuk emisi knalpot (tailpipe emission) tetapi perlu kajian lebih lanjut di sektor hulu seperti tambang dan pada baterai bekas.

Arif mengingatkan, BBN dan kendaraan listrik memang mendorong transisi energi dan menjamin keterjangkauan sumber energi bersih, namun standar keberlanjutan program ini juga sangat penting.

Tahun 2015-2018, konsumsi biodiesel tidak mencapai target dan pada 2019 konsumsi biodiesel melebihi target. Menurut data KESDM dan Aprobi yang diolah Koaksi Indonesia, kendalanya akses jalur logistik yang belum memadai, selisih harga biodiesel dan diesel cukup besar, serta perlu perawatan tambahan untuk mesin tertentu.

Menuju pemanfaatan BBN rendah karbon, katanya, perlu penerapan standar berkelanjutan dan standar emsisi kendaraan. Selain itu perlu penambahan opsi pemanfaatan BBN dari limbah, memperketat moratorium hutan dan izin sawit baru, mengembangkan teknologi rendah karbon pada sektor transportasi serta menerapkan peta jalan dalam pengembangan BBN.

“Minyak jelantah potensi sangat besar bisa jadi opsi penggunaan limbah sebagai bahan baku. Untuk efisiensi teknologi transportasi bisa menggunakan kendaraan listrik, hidrogen atau bahan bakar sintetis,” katanya.

 

Hutan dihancurkan untuk jadi kebun sawit. Minyak sawit jadi bahan baku biofuel. Sumber energi terbarukan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan?  Foto: Save Our Borneo

 

****

Foto utama:  Kendaraan berbahan bakar fosil memerlukan pengaturan emisi gas buagnya. Ilustrasi kemacetan yang terjadi di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Exit mobile version