Mongabay.co.id

Ini Tantangan Kondisi Maritim Indonesia untuk Keberlanjutan Perekonomian Laut

 

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memanfaatkan kekayaan laut Indonesia untuk pembangunan dan kemakmuran nasional dengan prinsip keberlanjutan ekonomi (Sustainable Ocean Economy). 

Keberlanjutan perekonomian laut (Sustainable Ocean Economy) disebut sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan keseimbangan antara perlindungan ekosistem laut, pembangunan ekonomi kelautan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari pemanfaatan laut.

Terdapat lima bidang dalam implementasi sustainable ocean economy. Di antaranya ocean wealth (kekayaan laut), ocean health (kesehatan laut), ocean equity (keadilan dalam pendistribusian manfaat laut), ocean knowledge (pengetahuan tentang laut), dan ocean finance (pembiayaan upaya penyehatan dan pengelolaan sumber daya kelautan).

Dari sisi kesehatan laut (ocean health), terdapat panduan kondisi laut global yang disebut Ocean Health Index (OHI). Indonesia sendiri mengadopsi panduan OHI tersebut melalui Indeks Kesehatan Laut Indonesia (IKLI).

Pada 2019, nilai skor IKLI lebih tinggi dibanding OHI. Sedangkan pada tahun 2018, berdasarkan OHI, skor Indonesia adalah 65, lebih rendah dibanding rata-rata global dengan skor 71. Sedangkan skor IKLI yang mengadopsi sebagian besar variabel OHI menghasilkan skor lebih besar yakni 75.

Victor Nikijuluw, panel ahli penghitungan OHI dan IKLI dari lembaga lingkungan Conservation International (CI) Indonesia menyebut IKLI menggunakan variabel lebih sedikit yakni 40 dibanding OHI yang menilai 60 variabel lingkungan laut.

Bagaimana independensi dan objektivitas IKLI dan OHI ini dibahas dalam diskusi terfokus tentang kesehatan laut atau ocean health dalam seminar hari kedua bertajuk Menuju Sustainable Ocean Economy di Indonesia secara daring pada 31 Maret 2021. Dihelat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia Ocean Justice Initiative, serta Kedutaan Norwegia untuk Indonesia.

baca : Menghitung Indeks Kekayaan Laut Indonesia untuk Perikanan Keberlanjutan

 

Ilustrasi. Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Independensi OHI menurutnya tinggi karena dikerjakan tiga pihak yakni pemerintah, universitas, dan swasta/LSM. Tindak lanjutnya berupa sosialisasi, aplikasi di seluruh propinsi, dan evaluasi metode berdasarkan umpan balik, dan pengembangan metode dinamis. Angka dan metodelogi saat ini menurut Victor masih statis.

Victor menyebut IKLI mengadopsi OHI tapi dengan penyesuaian tujuan dan indikator di Indonesia. Nilai estimasi IKLI berdasar 10 tujuan laut, yakni sebagai sumber pangan, kesempatan berusaha dan bekerja bagi perikanan tradisional, laut sebagai sumber produk alami, laut sebagai penyimpan karbon, perlindungan pesisir, wisata bahari, perairan bersih, keanekaragaman hayati, dan lainnya.

OHI dikembangkan sekitar 9 tahun lalu dan digunakan 200 negara yang dihitung tiap tahun untuk menggambarkan tingkat kesehatan lingkungan laut. Angka skor adalah kumulatif dari 60 variabel di tingkat global dengan 10 tujuan.

OHI disebut sudah digunakan berbagai lembaga global, misal jadi bagian SDGs, World Economic Forum, dan lainnya. “Sejak 4 tahun lalu, CI memperkenalkan OHI di Indonesia, sudah diadopsi Kemenko Marves (Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi) dan ditindaklanjuti dengan IKLI,” jelas Victor.

Skor OHI Indonesia 65, menurutnya cukup baik karena di atas 50 tapi lebih rendah dibanding global, 71. Dengan skor itu, Indonesia ada di ranking 137 dari 221 negara yang memiliki zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sebelumnya Indonesia pernah dapat skor 67.

Skor tertinggi ada di variabel produk alami, perlindungan pesisir, dan biodiversitas (skor 85-91).

Walau secara perhitungan indeks kesehatan laut tak buruk, sejumlah peneliti memberikan catatan soal masa depan laut dan pesisir.

baca juga : Perikanan Berkelanjutan, Pencapaian Diantara Banyaknya Tantangan. Begini Ceritanya..

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi

 

Prof Jatna Supriatna, ahli biologi kelautan dari Universitas Indonesia mengatakan tantangan besar adalah perubahan iklim. Dampaknya sangat besar, misalnya pemutihan karang, termasuk karena sampah laut. Hal ini terjadi di kawasan biodiversitas tinggi Indonesia.

Saat ini terjadi kenaikan suhu global satu derajat dibandingkan tahun 1990. “Mencairnya es di kutub termasuk di Pegunungan Jayawijaya, Papua,” sebutnya. Apabila terjadi kenaikan suhu global dua derajat, hutan hujan tropis berkurang dan berdampak menipisnya cadangan makanan hewan. Naik tiga derajat, pohon tak lagi menahan karbondioksida dan manusia menghadapi polutan.

Rob di Jakarta dan sejumlah kawasan pesisir menunjukkan meningkatnya level air laut yang berdampak pada 160 km2 atau 24% luas Jakarta pada 2050.

Jatna mengajak dilakukan studi interdisiplin dan para ahli harus mulai melihat apa yang harus diprioritaskan. “Misal masyarakat miskin, bukan ekspor sumberdaya,” Jatna mencontohkan. Estimasi jasa lingkungan yang tinggi seperti jutaan dollar dari blue carbon, apakah mampu dimanfaatkan masyarakat? Ia mengajak memperluas inisiatif yang berhasil di Raja Ampat untuk diaplikasikan di tempat lain.

perlu dibaca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Panorama bawah laut dengan keanekaragaman hayati dan biota lautnya di perairan Raja Ampat, Papua Barat. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace

 

Kekurangan Data untuk Nilai Kekayaan Laut

Sementara itu di sesi diskusi bertajuk Ocean Wealth (kemakmuran dari laut) pada seminar yang sama, sejumlah pihak membahas bagaimana kekayaan laut dihitung. Namun ada kesenjangan data karena sebagian tak tersedia untuk menghitung kekayaan laut yang lebih inklusif.

Etjih Tasriah dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan sedang menggabungkan data sektoral ke dalam System of Environmental Economic Accounting (SEEA) agar terintegrasi. SEEA diyakini menyatukan setiap blok yang merepresentasikan ekonomi-lingkungan yang terintegrasi.

Ada juga Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi (Sisnerling) publikasi BPS tentang dampak pembangunan ekonomi terhadap ketersediaan sumberdaya alam. Laporan ini menyajikan data stok sumberdaya alam serta perubahannya dari waktu ke waktu mulai kayu, lahan, mineral, dan energi.

Saat ini baru mulai menghitung sumber daya kelautan yang dilakukan bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Informasi Geospasial (BIG), Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu, dan lembaga riset.

Pada 2017, BPS dengan Kemenko Marves menyediakan indikator kemaritiman misal Produk Domestik Bruto (PDB) Maritim dengan cakupan perikanan, ESDM, dan bioteknologi. Angka PDB Maritim 2017 sebesar Rp749,8 Triliun, lebih besar dari 2015 sebesar Rp708 Triliun.

baca : Laut Indonesia Butuh Teknologi dan Data Akurat

 

Produk Domestrik Bruto (PDB) dari sektor kelautan Indonesia pada kurun 2010 – 2016. Sumber : BPS

 

Pada 2020, publikasi ini mengusung tema Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir karena isu blue carbon. Menyediakan statistik perubahan iklim, profil masyarakat pesisir, dampak perubahan iklim pada ekologi laut, dan kunci karbon biru.

Untuk kajian mendalam Ocean Accounts 2021, BPS masih mempelajari literatur Ocean Accounting for Sustainable Development yang dikeluarkan oleh Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB (UN ESCAP), dan membuat FGD lintas lembaga. Disepakati untuk menentukan prioritas dan identifikasi kesenjangan data.

Ocean Accounts ini adalah kompilasi informasi yang terstruktur, konsisten, dan bisa dibandingkan. Meliputi peta, data, statistik, indikator laut dan pesisir termasuk sosial, serta aktivitas ekonomi.

Ada puluhan item data yang belum tersedia yang sudah diidentifikasi. Misalnya adalah stok sumberdaya ikan dan biota laut, pertumbuhan alami pada stok ikan dan biota laut, tingkat keasaman menurut tipe ekosistem, aksesibilitas menurut tipe ekosistem, dan limbah plastik menurut tipe ekosistem. “Tantangannya memenuhi data yang belum ada,” sebut Etjih.

Tantangan lain adalah sinergi memperkuat kapasitas statistik, penilaian aset sumber daya dan laut dan pesisir, pemilihan metode valuasi jasa ekosistem untuk menghitung nilai moneter/jasa lingkungan.

baca juga : Mengungkap Potensi Sumber daya Laut Indonesia dari Teropong Riset

 

Estimasi nilai ekonomi Kelautan Indonesia.

 

Potensi Bioteknologi Laut

Prof Ocky Karna Radjasa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan selain jasa lingkungan kini juga berkembang pesat bioteknologi kelautan termasuk potensi obat-obatan. “Say no to drugs, but say yes to marine drugs,” katanya bersemangat. Potensi laut sangat tinggi untuk sektor kesehatan seperti farmakologi dan lainnya. Saat ini pihaknya sedang mendalami potensi mikro dan makroalgae untuk strain asli Indonesia.

Secara infrastruktur pun, LIPI sudah merampungkan sejumlah sarana dengan nilai tinggi. Misalnya fasilitas riset Bioindustri Laut Mataram senilai Rp100 milyar yang sudah rampung di Gili, NTB. Ada juga pembangunan infrastruktur laboratorium material terintegrasi senilai Rp250 milyar.

Ia mengajak peneliti mengakses fasilitas Repositari Ilmiah Nasional, semacam bank data gratis dan tak terbatas untuk menyimpan data penelitian dalam bentuk gambar, file, atau video. Data bisa bersifat terbuka, semi tertutup, atau tertutup.

Ocky juga mengajak peneliti memanfaatkan sarana National Oceanic Research Fleet (2020-2025) yang menggunakan kapal Baruna Jaya untuk transfer pengatahuan dan ekspedisi. Kapal laut dengan yang memenuhi kebutuhan riset seperti marine geoscience, hydrography, oceanography and atmospheric. Saat ini sedang ekspedisi Indonesia Timur bersama sejumlah peneliti selama 72 hari.

Sedangkan Arif Havas Oegroseno, Dubes RI untuk Jerman menyebut anggaran KKP sekitar Rp6,6 Triliun, tak cukup untuk kebutuhan semua. Harus mengundang investasi.

Sedangkan Nanik Hendiati Deputi Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves mengingatkan tantangan saat ini. Dari data KKP, LIPI, dan KLHK sekitar 38% perikanan laut nasional ditangkap berlebih, sepertiga terumbu dalam kondisi kritis, dan ekosistem mangrove degradasi 50 ribu ha/tahun.

 

Exit mobile version