Mongabay.co.id

Cerita Petani Milenial Bertani Organik

Produksi tani organik dari Lereng Merbabu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Produksi tani organik dari Lereng Merbabu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Bertani dan bercocok tanam tak sekadar menanam, merawat dan panen serta memasarkan, penting juga memikirikan pola tanam yang berkelanjutan atau ramah alam seperti dengan pertanian organik. Generasi muda atau kaum milenial potensial mengembangkan sektor pertanian organik. Setidaknya itulah yang dikatakan Maya Stolastika Boleng, Duta Petani Muda 2016 dan CEO Twelve Organic, dalam diskusi daring bertajuk “Menciptakan Petani Milenial, Tantangannya?” pada penghujung Maret lalu.

Dia mengatakan, menciptakan bisnis pertanian yang menguntungkan bagi pemuda tak hanya berangkat dari pola pikir menjadi petani dengan hanya menanam, merawat, memanen tetapi lebih dari itu. Cara bertani yang memperhatikan keselamatan lingkungan hidup, seperti pertanian organik, juga bagian penting.

“Bertani tidak hanya bicara menanam, rawat dan panen. Tidak. Tetapi filosofi bertani dengan cara organik ini membuat kita bisa merenung bahwa kita ini lahir apakah sudah memberikan manfaat pada sekitar, atau justru memberikan kerusakan. Baik sisi kehidupan manusia dan lingkungan,” katanya.

Dengan kaum muda menerapkan pola pertanian organik , katanya, sektor pertanian pun bisa menghasilkan produk sehat bagi masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan hidup.

Jadi petani milenial, katanya, biasa hadapi kendala secara internal dan eksternal. Sisi internal, katanya, ada beberapa faktor penentu, pertama, perlu dukungan lingkungan terdekat. Kedua, niat dan komitmen.

Kaum muda, katanya, biasa banyak keinginan atau banyak mimpi tetapi masih labil dalam bersikap. Dalam bertani, kadang berhadapan dengan masa berat, seperti kendala musim. Untuk itu, katanya, perlu niat dan komitmen yang kuat. Ketiga, modal atau akses permodalan.

Tantangan eksternal, katanya, pertama, soal lahan. Kedua, sumber daya manusia, ketiga, pola pikir petani dan konsumen mengenai produk organik dan keempat, kebijakan .

 

Baca juga: Para Pertani Organik dari Lereng Merbabu

Maya bercerita, awal bertani pada 2007 dan mulai pertanian organik dalam 2012. Awalnya, dia bersama tiga orang rekan hanya punya satu titik lahan seluas 2.500 meter dengan menanam tujuh jenis sayuran. Mereka pasarkan gunakan sistem titip kirim dan target supermarket seputar Surabaya.

Hingga tahun ini, mereka punya delapan titik kebun organk seluas satu hektar. Mereka tanam lebih 50 jenis tanaman dari sayur, buah, herbal, rimpang, dengan sembilan pekerja dan melibatkan 18 petani sekitar.

Kini, mereka punya langganan beberapa swalayan, lebih 200 rumah tangga dengan wilayah pemasaran, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jabodetabek, dan Bali.

Maya cerita pengalaman jatuh bangun bertani organik bersama rekan-rekannya. Pada 2008, dia sewa lahan selama satu tahun dengan modal dari jualan pulsa dan makanan ringan di kampus. Dia terjun ke pertanian secara otodidak. “Tanpa background pendidikan pertanian, kami gagal total. Kami bingung jual ke mana waktu itu,” katanya.

Pada 2009, satu per satu rekannya mundur, tinggal Maya dan satu rekan lagi. Maya tak patah arang. Pada 2010, dia dan rekan ke Bali menambah pengetahuan tentang pertanian. Di sana mereka juga memperdalam tak hanya soal menanam, tetapi cara tanam ramah lingkungan, dengan pertanian organik. Pada 2012, mereka mulai lagi dam masuk ke pertanian organik.

 

 

Dorong kaum muda bertani

Maya, adalah satu sosok petani milenial di negeri ini. Data memperlihatkan, petani muda di Indonesia, baru sekitar 10% dari total petani 33.4 juta. Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian mengatakan, pertanian sangat terbuka untuk semua usia termasuk kaum muda.

“Makin muda makin kuat, makin energik, makin kritis, makin apik kerjanya. Pertanian dengan semangat baru harus diluncurkan. Seperti membangun perilaku baru dan anak muda mendapatkan pendapatan jauh lebih baik dari pertanian,” katanya dalam keterangan tertulis di acara diskusi baru-baru ini.

Dia bilang, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), 2020, ada sekitar 33,4 juta petani dalam berbagai komoditas. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan petani pada 2019 mencapai 34,58 juta orang.

 

Baca juga: Pilih Mana, Pupuk Kimia atau Pupuk Organik

Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, sudah mandiri pangan tapi krisis petani muda dari generasi milenial. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Grace Heidy Jane Amanda Wattimena, dosen Institut Komunikasi dan Bisnis The London School Of Public Relations, Jakarta mengatakan, kalau lihat angka, kaula muda adalah generasi produktif dan bisa ambil bagian aktif dalam berbicara isu-isu pangan di Indonesia.

Sayangnya, masih sedikit kaum muda melirik sektor pertanian. “Mungkin ada faktor-faktor lain lebih dilirik. Karena itu, perlu memberikan pemahaman kepada kaum muda, lewat cara-cara sesuai dunia mereka,” katanya.

Taufan T. Akbari , Wakil Rektor III  Institut Komunikasi dan Bisnis The London School Of Public Relations, Jakarta, mengatakan, penting membahas soal petani dan kedaulatan pangan ini terutama kepada generasi milenial dan zelenial.

“Yang mana, pemuda masih perlu dijelaskan narasi lebih banyak tentang karir sebagai petani. Apalagi jika dilihat, pilihan profesi begitu beragam.” katanya.

Untuk itu, penting tema atau bahasan soal pertanian yang bisa menarik minat pemuda. Data BPS juga menunjukkan, petani milenial usia 19-39 tahun , yang menggeluti pertanian tak sampai 10% dari total petani.

“Yang menjadi pe er (pekerjaan rumah) kita semua, angka tiap tahun turun. Bahkan, dari 2017–2018, penurunan sampai 415.000.”

Tanpa disadari, katanya, menyusutnya jumlah petani berdampak pada sektor pangan Indonesia. Kalau banyak kaum muda jadi petani, katanya, dapat membantu sektor pangan Indonesia dengan cara lebih inovatif dan kreatif.

Generasi milenial bisa berkontribusi meningkatkan berbagai hal, seperti diversifikasi pangan, mengurangi impor, meningkatkan ekspor pangan dan banyak lagi. Dia berharap, kaum muda melirik sektor pertanian.

Puji Sumedi Hanggarawati, Manager Program Agroekosistem Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia merespon perbincangan menciptakan petani milenial ini. Dia bilang, Indonesia hari ini sangat bergantung sumber pangan luar negeri. Padahal, Indonesia kaya sumber pangan.

“Ternyata, beberapa kondisi di beberapa daerah ada krisis atau rawan pangan, dan gizi buruk. Jumlah penduduk meningkat, ada tantangan juga dari perubahan iklim, bencana dan pandemi. Inilah tantangan ke depan,” katanya.

Bicara pangan, kata Puji, dari sisi karbohidrat tampak terperangkap dalam padangan karbohidrat hanya beras. Padahal, katanya, Indonesia kaya sumber pangan karbohidrat, seperti sorgum, sagu, pisang, dan umbi-umbian, dan lain-lain.

“Buah, sayur, dan kacang-kacangan banyak sekali yang belum kita kenal. Sumber pangan lain, sebenarnya Indonesia menyediakan itu. Hanya, kadang mata rantai terputus.”

Dari sisi regulasi, katanya, sebenarnya Indonesia memiliki banyak aturan berkaitan pemanfaatan diversifikasi pangan.

Yayasan Kehati sendiri, katanya, memiliki beberapa program berkenaan dengan isu-isu pangan. Salah satu, mengarahkan masyarakat petani atau produsen agar tidak hanya produksi, juga mengkonsumsi. Mengkonsumsi itu penting. Dengan itu, katanya, petani atau produsen bisa paham betul yang mereka pasarkan ke publik.

 

 

*****

Foto utama: Kaum muda yang mengusung  tani organik dari Lereng Merbabu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version