Mongabay.co.id

Hari Nelayan: Benarkah Mereka Disingkirkan, Bukan Diperjuangkan?

 

Nasib nelayan skala kecil dan tradisional masih belum saja membaik hingga saat ini. Meskipun, Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sudah diterbitkan dan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

Dengan kata lain, walau sudah lima tahun UU tersebut ada dan dijalankan, namun perlindungan dan pemberdayaan yang seharusnya dilakukan Pemerintah kepada nelayan skala kecil dan tradisional, tak juga kunjung dilakukan.

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyoal peringatan hari nelayan nasional yang selalu diperingati setiap tahun pada 6 April. Peringatan tersebut dilakukan untuk menghormati jasa nelayan selama ini.

“Itu sebagai upaya menghormati dan memuliakan pahlawan protein bangsa,” ucapnya, Selasa (6/4/2021).

Sebagai bagian penting dari rantai pasok perikanan, nelayan sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari Pemerintah RI untuk menjaga kedaulatan dan keberlanjutan pangan nasional dari sektor kelautan dan perikanan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya, karena kondisi nelayan saat ini sedang ada dalam ancaman berat. Hal itu, karena perampasan ruang hidup nelayan di wilayah laut dan pesisir dari hari ke hari semakin kuat dan didukung regulasi yang disusun dan disahkan oleh Pemerintah Indonesia.

“Khususnya UU dan peraturan pemerintah (PP),” ungkapnya.

baca : Kebijakan Negara Dianggap Makin Jauh Dari Kepentingan Nelayan Tradisional. Kenapa?

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Diantara regulasi yang saat ini sudah mengancam keberlangsungan hidup nelayan, adalah UU No.3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara. Dalam UU tersebut, ada pasal 28a yang menyebutkan bahwa wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.

Menurut Susan, dengan adanya pasal 28a UU No.3/2020 itu, Pemerintah ingin menegaskan bahwa seluruh wilayah daratan dan lautan di Indonesia merupakan wilayah hukum pertambangan. Itu artinya, ruang untuk melaksanakan eksploitasi sumber daya alam semakin tak terbatas.

“Pada titik tersebut, UU 3/2020 akan menjadi kendaraan untuk melanggengkan krisis lingkungan hidup, khususnya yang ada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” jelas dia.

 

Regulasi Pengancam

Selain UU tentang mineral dan batu bara, regulasi lain yang juga mengancam keberlanjutan ruang hidup nelayan, adalah UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja atau biasa dikenal dengan sebutan UUCK. UU tersebut secara substansi banyak melawan putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Padahal, Susan mengatakan bahwa putusan dari MK banyak menempatkan nelayan sebagai sebagai aktor utama dalam penguasaan-pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Sebaliknya, UUCK malah menempatkan korporasi dan oligarki sebagai aktor utamanya.

Bukti bahwa UUCK melawan MK, ada dalam Pasal 1 ayat 30 yang di dalamnya ada penjelasan tentang pengusaha pariwisata yang memegang hak di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal tersebut menegaskan bahwa posisi pengusaha disejajarkan dengan nelayan skala kecil dan tradisional.

“Padahal nelayan tradisional dan skala kecil hidupnya tergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan,” tegasnya.

baca juga : Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil

 

Nelayan pulang dari melaut di laut selatan Jawa. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tak cukup itu saja, UUCK juga dinilai sudah mendorong liberalisasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil. Substansi itu ada dalam pasal 26a, dan menjelaskan bahwa investor asing diberikan izin oleh Pemerintah Indonesia untuk mengeksploitasinya.

Bagi Susan, dampak dari kebijakan yang tertuang dalam UUCK tersebut, khususnya pasal 26a, adalah akan semakin banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Itu artinya, kebijakan tersebut seharusnya tidak ada saat ini.

Di luar UU yang sudah berjalan saat ini, masih ada PP yang menjadi regulasi turunan dari UUCK dan semakin mendorong terjadinya perampasan ruang hidup nelayan. Semua regulasi tersebut, tidak satupun fokus pada perlindungan ruang hidup lebih dari 2,5 juta nelayan Nusantara.

Tak cukup itu, semua regulasi tersebut juga akan semakin memperburuk dampak krisis iklim dan ancaman bencana yang akan semakin mengintai kehidupan nelayan skala kecil dan tradisional yang sepanjang tahun sangat bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan.

Adapun, regulasi turunan dari UUCK tersebut di antaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko; PP No.21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang ; dan PP No.27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

Dari ketiga PP yang sudah diterbitkan itu, Susan menyebutkan bahwa regulasi turunan akan kembali lahir dan akan berjumlah 18 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, serta tiga aturan turunan berupa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Tak ada pilihan lain bagi pemerintah Indonesia selain dari mengevaluasi dan mencabut semua regulasi yang merugikan nelayan itu,” pungkas dia

perlu dibaca :  Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Asuransi Nelayan

Berbanding terbalik dengan Susan, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Muhammad Zaini mengatakan bahwa PP No.27/2021 justru memberikan manfaat yang banyak bagi nelayan skala kecil dan tradisional di Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam PP No.27/2021 salah satunya mengatur tenntang jaminan sosial untuk awak kapal perikanan (AKP) melalui skema asuransi. Termasuk, skema Jaminan Hari Tua (JHT) yang menjadi bagian dari asuransi yang dimaksud.

Muhammad Zaini menerangkan bahwa asuransi JHT yang diatur dalam PP No.27/2021 sudah sejalan dengan program dana pensiun bagi nelayan yang akan memberi kepastian pendapatan bagi nelayan, ataupun AKP untuk menghadapi kehidupan masa tua.

Sebagai salah satu program prioritas yang sedang dijalankan KKP, asuransi kepada nelayan menjadi perhatian utama untuk sekarang. Terlebih, sudah ada sebanyak 1,2 juta nelayan yang sebelumnya sudah mendapatkan bantuan premi asuransi nelayan (BPAN).

“Premi pertama yang disalurkan dibantu oleh Pemerintah dalam bentuk stimulus dan nelayan didorong untuk melanjutkan dengan asuransi nelayan mandiri. Namun, asuransi ini belum maksimal, lantaran hanya menanggung jaminan kecelakaan kerja dan kematian,” papar dia.

Di sisi yang lain, asuransi untuk AKP dibebankan sepenuhnya kepada pemilik kapal perikanan yang berperan sebagai pemberi kerja sesuai dengan perjanjian kerja laut (PKL). Dengan kedua asuransi yang sudah ada, ditambah dengan JHT, maka diharapkan itu akan menjamin kehidupan sosial di masa tua.

baca juga : Negara Wajib Selamatkan Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Nelayan Skala Kecil

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Agar asuransi JHT bisa direalisasikan dengan tepat, saat ini KKP sedang menyusun aturan turunan yang bisa mendukug dengan cepat. Termasuk, untuk mewujudkan jaminan keamanan dan keselamatan kerja, sampai kehilangan pekerjaan bagi AKP.

“Sedang kami rintis, kami siapkan perangkat-perangkatnya, aturannya untuk implementasi JHT ini,” terang dia.

Bagi Muhammad Zaini, pelaksanaan asuransi bagi nelayan dan AKP bukanlah menjadi program yang mudah untuk dilaksanakan. Hal itu, terutama karena ada tantangan dari AKP yang bekerja dalam waktu singkat atau dalam periode tertentu.

“Ini yang sering dikeluhkan pemilik kapal sebab mereka sudah membayar premi untuk setahun penuh dengan penyedia jasa asuransi. Untuk itu, persoalan ini juga tengah diupayakan solusinya oleh KKP. Koordinasi dengan pihak asuransi pun rutin dilakukan untuk mendapatkan skema terbaik,” tambah dia.

 

Exit mobile version