Mongabay.co.id

Parsin, Sang Penjaga Bentang Alam Ulu Rawas

 

 

Sekilas tidak ada yang spesial dari sosok Parsin [59], pria kelahiran Muara Rupit [Musi Rawas Utara], yang kini menetap di Desa Sukomoro, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.

Ayah tiga anak ini, bukan penduduk asli Rawas. Dia pendatang dari Jawa Tengah, tepatnya asal Desa Medono, Kabupaten Purworejo. Kedua orangtuanya merantau ke Rawas untuk menjadi petani.

“Bagi saya pengetahuan tentang alam sangat penting,” katanya.

Rasa cinta dan sayang Parsin terhadap lingkungan Ulu Rawas, dimulai awal 1980-an. “Saat itu, saya pertama kali menyusuri Sungai Rawas menggunakan perahu hingga Kuto Tanjung, desa terujung di Sungai Rawas. Banyak pohon beringin dan meranti ukuran besar yang saya lihat,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [28/02/2021] lalu.

Namun, perjalanan tersebut bukan dilakukan untuk melindungi alam, justru sebaliknya. Dia mencari kayu untuk ditebang. “Kayu-kayu besar jenis meranti dan medang kami hanyutkan dengan rakit, melalui sungai-sungai kecil di Ulu Rawas.”

Baca: Ulu Rawas, Jejak Peradaban Manusia di Sumatera yang Terlupakan

 

Parsin [59] berdiri di pinggir Sungai Rawas di bentang alam Ulu Rawas, yang masuk kawasan TNKS. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Tetapi, pekerjaan itu hanya sebentar dilakukannya. Keahliannya membangun rumah [menukang], membuat Parsin beralih profesi menjadi kontraktor di sejumlah desa di Sungai Rawas.

“Pekerjaan ini mengharuskan saya tinggal hingga berbulan di lokasi. Hampir semua desa saya kunjungi,” terangnya.

Kesempatan mendatangi sejumlah desa itu dimanfaatkannya untuk mengenal lebih jauh jenis-jenis pohon dan satwa yang ada. Juga, nama-nama sungai dan jenis ikan, hingga sejarah dan kebudayaan desa.

“Di sini ada berbagai jenis pohon meranti, seperti meranti bungo, kalip, kelungkung, meranti kunyit, meranti seluang, juga beragam jenis medang. Ada pula tumbuhan anggrek. Untuk satwa yang pernah saya temui adalah landak, rusa, kijang, beruang, dan berbagai jenis burung.”

Baca: Mengapa Satwa Liar di TNKS Masih Diburu?

 

Perahu ketek masih menjadi transportasi andalan masyarakat Ulu Rawas, meski kondisi sungai semakin dangkal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Parsin juga masih ingat sebanyak 54 anak Sungai Rawas. Diantaranya Sungai Betuah, Sungai Buluh, Sungai Ratau, Sungai Betung, Sungai Baru, Sungai Tambang, Sungai Beringin, hingga Sungai Keruh.

Lalu, Sungai Kulus, Sungai Semilir, Sungai Senawar, Sungai Kolam, Sungai Muarokuis, Sungai Labi, Sungai Muarokutu, Sungai Karang Tanjung, Sungai Suban, Sungai Muaro Nilaw, Sungai Muaro sepan, Sungai Pelantingan, Sungai Pasir, Sungai Nitap Ulu dan Ilir, hingga Sungai Sukomoro.

Parsin ingat nama-nama sungai dikarenakan dia pernah mencari ikan dengan menombak, sebagai sumber pendapatan saat tidak ada pekerjaan membangun rumah.

“Saya juga tahu beragam jenis ikan, seperti nikuk abang, kali tonjol, keparau, baung, tilan, dangli, slimang, kerali bungo, dan cawi ngidung,” lanjutnya.

Menurut Parsin, sejak kecil ia sudah gemar menjelajah hutan, naik turun bukit, dan menelusuri sungai.

“Kesenangan menjelajah alam harus dibangun sejak dini,” ujarnya.

Terkait menurunnya kepedulian masyarakat di Ulu Rawas terhadap lingkungan, seperti maraknya penambangan emas dan perambahan hutan, menurut dia, mungkin dikarenakan kurangnya pengetahuan pentingnya menjaga alam.

“Kepentingan ekonomi dan kurangnya pengetahuan mengelola hasil alam masih menjadi kendala utama,” katanya.

Baca: Ingin Berwisata ke TNKS? Cobalah Lokasi Ini

 

Sungai Rawas yang semakin mendangkal. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Kekayaan alam TNKS

Dikutip dari Buku Informasi Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] tahun 2018, secara administratif, TNKS yang sejak 2004 diakui UNESCO sebagai World Heritage Site atau Situs Warisan Dunia, berada di 14 kabupaten dan dua kota dalam empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Khusus di Sumatera Selatan, TNKS berada dalam wilayah Musi Rawas dan Musi Rawas Utara [242.313,033 hektar], serta Lubuk Linggau [6.717,833 hektar], atau 17,92 persen dari luas total TNKS [1.389.509,867 hektar].

Ada sekitar 4.000 jenis tumbuhan di TNKS yang 60 persen berada di hutan dataran rendah.

Tumbuhan yang mendominasi adalah suku Dipterocarpaceae, Fabaceae, Lauraceae, Myrtaceae, dan Bombacaceae. Tercatat juga sebanya 300 jenis anggrek, berbagai spesies bambu, kayu manis, rotan, dan edelweis.

Selain itu, terdapat bunga Rafflesia arnoldii, Rafflesia hasseltii, dan bunga tertinggi di dunia Amorphophallus titanum, serta flora langka kantong semar [Nepenthes sp.].

Baca: Tinggalan Purba dan Legenda Si Pahit Lidah yang Jaga Kawasan Kerinci Seblat

 

Jenis anggrek yang tumbuh di hutan Ulu Rawas, khususnya di sepanjang aliran Sungai Rawas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

TNKS merupakan rangkaian tidak terputus hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, termasuk hutan pinus tropis alami, hutan rawa gambut, dan danau air tawar.

Kawasan ini merupakan habitat sebagian besar burung-burung Sumatera. Terdapat lebih 371 jenis burung [17 jenis endemik Sumatera], lebih dari 85 jenis mamalia, tujuh jenis primata, enam jenis amfibi, dan sepuluh jenis reptilia. Dua spesies kunci yang menjadi fokus pengelolaan TNKS adalah harimau sumatera dan gajah sumatera.

Masih dari sumber yang, TNKS mempunyai jasa lingkungan yang penting bagi kurang lebih 5 juta penduduk yang berada di sekitarnya.

Kawasan TNKS merupakan hulu bagi tiga daerah aliran sungai [DAS] utama di Sumatera bagian tengah yaitu DAS Batanghari, DAS Musi, dan DAS Pantai Barat Sumatera. Termasuk juga mengairi sekitar 10 juta hektar lahan pertanian dan sumber air bagi warga sekitar aliran sungai.

Baca juga: Apakah Orang Pendek di Hutan Sumatera Ada?

 

Persawahan warga yang berada di pinggir Sungai Rawas. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Terancam

Pada 28-29 Februari 2021, Mongabay Indonesia bersama Parsin mengamati kondisi sungai dan hutan di lanskap Ulu Rawas. Hasilnya, masih terdapat sejumlah aktivitas perambahan kayu, penambangan, hingga pembukaan perkebunan skala besar.

“Sedih melihat Ulu Rawas yang sudah terbuka hutannya. Dulu, masih teduh dan rimbun. Kegiatan menambang itu bisa bikin air keruh,” kata Parsin.

Dikutip dari buku Strategi Anti-Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatra: Menuju Paradigma Baru yang ditulis Edi Purwanto tahun 2016 dijelaskan bahwa total kawasan perambahan di TNKS pada 2014 [130.322 ha], hampir dua kali lipat dibanding tahun 2000 [73.090 ha].

Kawasan perambahan terluas di TNKS terdapat di Kabupaten Kerinci [27.799 ha], diikuti Kabupaten Rejang Lebong [26.529 ha], Lubuk Linggau [17.667 ha], Solok [15.738 ha], Pesisir Selatan [15.312 ha], dan Musi Rawas [11.883 ha].

 

Pemandangan lanskap Ulu Rawas berupa perbukitan dan aliran Sungai Rawas yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Salah satu penyebab perambahan mungkin, karena kenginan warga sekitar untuk membuka kebun, ditambah jumlah penduduk yang semakin meningkat. Jadi hutan banyak yang dibuka. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan menyayangi hutan juga minim,” ujar Parsin.

Butuh kerja keras menjaga keutuhan TNKS. “Sesepuh masyarakat yang menurut saya masih peduli alam harus dilibatkan. Berikutnya, para generasi mudanya diberi pemahaman untuk menjaga lingkungan yang dibarengi upaya pemberdayaan ekonomi yang tidak terus merusak alam,” paparnya.

 

 

Exit mobile version