Mongabay.co.id

Konflik dengan Warga Belum Usai, Kasus Sawit di SM Bakiriang Selesai Lewat Kesepakatan Restorasi?

Sawit ilegal di hutan lindung Aceh Tamiang terus dimusnahkan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

 

 

Samria Badjana, mengenang kembali ingatan 18 tahun lalu. Kala itu, beberapa orang datang meminta dia dan 20-an keluarga melepaskan tanah garapan mereka untuk kebun sawit.

Salah satu orang itu, Murad Husain, pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). “Jadi Pak Murad minta, tanam saja sawit. Tulis saja nama-namanya, pemilik kebun di sini,” kata Samria, menirukan.

Tamu itu kemudian menanyakan tentang legalitas kebun. “Saya bilang kitorang belum urus itu. Tapi kitorang, sudah berkebun sudah lama, sudah puluhan tahun,” katanya.

Di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, keluarga dan kolega Samria membuka lahan perkebunan sejak 1982. Mereka menanam kelapa, membuat petakan sawah, tanaman palawija, dan kakao. Tanaman itu memberi mereka kehidupan.

Pada 1998, penetapan Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang, kebun penduduk masuk di dalamnya.

Pada 1996, Murad mulai membuka perkebunan sawit di Toili, tempat Samria bermukim. KLS memperoleh izin pengolahan hutan tanaman industri (HTI) seluas 13.000 hektar. Pengembangan itu diperoleh melalui dana pinjaman dari pemerintah untuk penanam sengon dan akasia, sebesar Rp11 miliar.

Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah menjadi kebun sawit. Sekitar 500 hektar kebun sawit KLS berada dalam margasatwa.

 

Tapal Batas Suaka Margasatwa Bangkiriang. Di dalam SM Bangkiriang ini ada perkebunan sawit PT. KLS 500 hektar, ada gudang permanen, ada perumahan perusahaan. Foto: Etal Dauw

***

Dinamika konflik berubah ketika pada 2003, perwakilan KLS meminta warga melepaskan tanah garapan. “Jadi, kebun kami diminta Pak Murad. Untuk tanam sawit, di-plasma-kan,” kata Samria.

“Katanya, kalau surat belum ada, kita tidak usah repot. Itu akan langsung dibikinkan sertifikat, nanti saya yang atur. Tulis saja, nama-namanya yang punya kebun, bawa kemari di kantor saya. Ibu tidak usah membuat surat,” katanya.

Sawit pun ditanam melalui bantuan bibit KLS. Dua tahun berjalan, warga menunggu janji sertifikat tetapi tak kunjung datang. Samria mulai gusar, dia mulai menjajaki perjanjian-perjanjian awal itu. Tiba-tiba perusahaan menggusur tanaman tahunan yang sudah berhasil, seperti sawah dan kakao. Perusahaan membuat camp untuk karyawan tanpa perundingan dengan warga.

Basecamp mereka, di dalam lokasi kebun saya. Digusur kelapa, digusur rumah, apa semua tidak ada lagi, dorang langsung bikin saja,” kata Samria.

Samria dan suami naik pitam. Dia mulai berontak dan mempertahankan hak garapan mereka. Perusahaan memiliki alibi lain, kalau wilayah itu bagian dari izin pengolahan. Rumah kebun Samria dibakar, tanaman ditumbangkan. “Saya terus datang di sini basecamp-nya mereka. Langsung saya usir karyawan, saya rusak memang kaca-kaca jendela.”

Peristiwa perusakan oleh Samria pada Maret 2019. Kemudian perusahaan melaporkan Samria sampai proses persidangan di Pengadilan Negeri Luwuk. Majelis hakim menjatuhkan hukuman bersalah untuk Samria, pada 9 November 2020, dengan percobaan selama dua bulan.

Putusan pengadilan itu tertulis, bahwa, Samria terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain “ sebagaimana diatur dalam dakwaan Pasal 406 ayat (1) KUHP.

Putusan itu, bagi Koalisi Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, sebagai bentuk pengaburan fakta lapangan. “Jadi, seolah itu tidak melihat akar masalah. Harusnya yang bertanggung jawab perusahaan karena telah mengambil tanah warga,” kata Eva Susanti Bande, Koordinator FRAS Sulawesi Tengah.

Pada 2014, Eva Bande, begitu sapaannya, juga pernah mengalami penangkapan oleh kepolisian karena memimpin aksi demonstrasi melawan KLS. Empat tahun sebelumnya, pada 2010, Murad telah ditetapkan menjadi tersangka, hingga saat ini tak ada kelanjutan kasus itu.

 

Eva Bande, yang membantu perjuangan petani di Luwuk, segera dieksekusi setelah putusan MA menvonis dia empat tahun penjara. Sedang kasus bos sawit PT PT Kurnia Luwuk Sejati, seakan dilupakan oleh aparat. Foto : change.org

 

Dalam Suaka Margasatwa Bakiriang, ada dua perusahaan yang menerobos areal perlindungan itu dengan menanam sawit. Selain KLS ada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Perusahaan BHP awalnya adalah perusahaan patungan antara KLS sebagai pemilik 60% saham dan PT Inhutani I. Kemudian KLS mengakuisi saham Inhutani.

Bagi Eva, setelah kriminalisasi petani dan dirinya, perjuangan mendapatkan keadilan bagi warga harus terus dilakukan. Pada 2017, melalui FRAS mereka mengirikan surat pengaduan dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menindak penerobosan SM Bakiriang oleh dua perusahaan, yakni KLS dan BHP.

Selanjutnya 28 Agustus 2020, FRAS juga meminta dokumen salinan hasil pemeriksaan tim gabungan oleh dua perusahaan itu, oleh Balai Penegakan Hukum KLHK. Balasan surat itu menyatakan kalau perusahaan menggunakan izin HTI untuk mengalihfungsikan kawasan hutan jadi sawit di areal SM Bakiriang.

Aturan itu melalui surat Dirjen Pengusahaan Hutan Depatermen Kehutanan pada 9 Juli 1998 tentang Diversifikasi Jenis Tanaman bahwa “dalam melaksanakan pembangunan HTI diperkenankan untuk diversifikasi jenis tanaman dengan menanam jenis tanaman perkebunan seperti sawit, dan jenis tanaman lain yang cepat menghasilkan dan bernilai ekonomi tinggi.”

“Kementerian melalui para dirjen justru menggunakan surat dirjen yang tidak masuk dalam hierarki perundang-perundangan, sekaligus sudah basi karena terbit sebelum UU Kehutanan, untuk melegitimasi penerobosan Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang,” tulis FRAS dalam keterangan mereka.

Sementara surat balasan surat balasan Direktorat Pencegahan dan Pegamanan Hutan, pada 7 September 2020, menyatakan, kalau hasil verifikasi KLS, menyatakan, benar SM Bakiriang ada ‘kebun’ sawit plasma yang menyepakati penyelesaian melalui non-ligitasi.

Pada 18 Oktober 2019, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah bersama KLS membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi itu. Kemudian meminta Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya mengkoordinasikan dan menjadi garda depan memfasilitasi kesepakatan itu.

“Jadi, ini seolah-olah hendak melupakan tindakan pidana yang dilakukan perusahaan karena masuk menorobos kawasan koservasi,” kata Eva.

Perbuatan BHP dan KLS, katanya, merupakan tindakan pidana, semestinya ada penegakan hukum oleh negara. “Bukan malah menggunakan hukum sebagai upaya cuci tangan untuk lari dari jeratan hukum.”

Jadi, menurut kajian FRAS, KLS yang telah menanam sawit ribuan hektar di SM Bakiriang dengan modus plasma bahwa seakan-akan masyarakat plasma KLS yang melakukan penyerobotan.

“Ini menunjukkan, tim gabungan yang dikomandoi Dirjen Gakum tidak mendalam dalam melakukan kajian lapangan. Ini terlihat dari hasil yang didapatkan tim gabungan yang sama persis dengan apa yang digaungkan KLS yakni, masyarakat yang merambah kawasan hutan,” tulis FRAS.

Mongabay menghubungi KLS untuk menanyakan seputar masalah ini, namun pihak perusahaan menyerahkan penjelasan kepada BKSDA.

 

Massa pengunjuk rasa pada 2014 tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan. Foto: Walhi Sulteng

 

UU Cipta Kerja?

Bagaimana tanggapan BKSDA Sulawesi Tengah? Hasmuni Hasmar, Kepala BKSDA Sulteng mengatakan, sedang menunggu aturan teknis. “Kan sudah ada UU Cipta Kerja itu. Jadi, akan diberikan sanksi administrasi,” katanya.

Sanksi adminitrasi itu, kata Hasmuni, dengan restorasi di kawasan konservasi sesuai kesepakatan. “Jadi, saya sudah melihat ke lapangan. Perusahaan (KLS) sudah melakukan pembibitan dan persemaian. Mereka sudah mulai melakukan, jadi ada itikad baik,” katanya.

“Jika misalkan ditutup sementara, bagaimana dengan petani yang plasma. Susah juga kan? Siapa yang beli. Itu juga repot,” katanya berdalih.

“Kalau BKSDA ini ditingkat tapak ya. Jadi kami hanya memonitor dan melihat apakah kesepakatan sudah dilakukan. Saya kira disitu, bisa dipahami.”

Bagi Hasmuni, KLS telah melakukan apa yang diperintahkan. “Tahun 2020, mereka sudah mulai menanam sekitar 59 hektar. Ada kemiri, leda, dan samama. Itu mempekerjakan delapan orang dan satu orang mandor,” katanya.

Hal itu, katanya, sejalan dengan amanat UU Cipta Kerja mengenai pemberian sanksi administrasi. UU Cipta Kerja, katanya, sangat membantu. “Toh, nanti kita bisa lihat bagaimana PNBP-nya (penerimaan negara bukan pajak), jadi teratur.”

Bagaimana mekanisme PNBP itu? “Nanti, kita lihat peraturan menterinya,” kata Hasmuni.

 

******

Foto utama: Ilusttasi. Kebun sawit perusahaan di kawasan konservasi. FotoL Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version