Mongabay.co.id

Bangun Jalan Tol di Pesisir Utara Jateng, Mangrove Direlokasi, Mungkinkah? 

 

Kawasan mangrove menjadi bagian penting dari ekosistem unik yang berada di pesisir antara lautan dengan daratan. Karena itulah, tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrem. Di antaranya kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi dan kondisi tanah yang kurang stabil. Menurut peneliti Emi Karmiasih dalam tulisan di sebuah jurnal dengan judul “Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir”, beberapa jenis mangrove mampu mengeluarkan garam dari jaringan secara aktif.

“Karena kondisi lingkungan tersebut, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, dan yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu penyerapan oksigen bagi sistem perakarannya,” kata Emi dalam tulisannya.

Bentuk perakarannya dapat dibedakan menjadi akar udara, akar banir atau papan, akar lutut, akar napas, dan akar tunjang. Bentuk perakaran ini selain sangat efektif dalam mempertahankan stabilitas lumpur dan pantai, menyerap pollutant, juga mampu menahan penyusupan air laut ke daratan. “Kemampuan adaptasi lainnya adalah bahwa beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang berkecambah di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora,”ujarnya.

Peneliti Su Ritohardoyo dan Galuh Bayu Ardi dalam riset yang diterbitkan di Jurnal Geografi, Universitas Negeri Semarang tahun 2014 menyebutkan bahwa beberapa fungsi hutan mangrove secara ekologis adalah sebagai pelindung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, mengurangi terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut, mempertahankan keberadaan spesies hewan laut dan vegetasi dan dapat berfungsi sebagai penyangga sedimentasi.

“Fungsi hutan mangrove secara ekonomis, sebagai penyedia berbagai jenis bahan baku kepentingan manusia dalam berproduksi, seperti kayu, arang, bahan pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna, dan penyamak kulit, sumber pakan ternak dan lebah. Oleh karena itu, kerusakan dan kepunahan hutan mangrove perlu dicegah, dan perlu dikelola secara benar, mendasarkan pada prinsip ekologis dan pertimbangan sosial ekonomis masyarakat di sekitarnya,” tulisnya.

baca : Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Tengah Terancam Sampah Plastik

 

Konstruksi bendungan permeable untuk restorasi pesisir pantai utara Jawas di Desa Timbul Sloko, Demak, Jateng. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

 

Keberadaan mangrove di pesisir pantai utara Jateng juga pernah diteliti oleh Bellatris Santri, Rudhi Pribadi dan Irwani dari Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Judul penelitiannya adalah Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Desa Betahwalang, Kecamatan  Bonang,  Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang diterbitkan oleh Jurnal Marine Research pada November 2020 lalu. Dalam riset ini, para peneliti menyatakan bahwa mangrove memiliki tiga fungsi utama yakni fungsi fisik, ekologis dan ekonomi.

“Untuk menghindari hilangnya fungsi ekosistem hutan  mangrove  maka   perlu   dilakukan   konservasi   mangrove   dengan   upaya rehabilitasi.  Perhitungan  valuasi  ekonomi  untuk  mengetahui  kerugian  dari  hilangnya  nilai  ekonomi  ekosistem  hutan  mangrove.

“Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di  Desa  Betahwalang mencapai Rp1,5 miliar per tahun dengan rincian Rp817 juta lebih untuk nilai guna dan nilai non guna Rp692 juta lebih,” tulis para peneliti dalam jurnal tersebut.

Ekosistem  pesisir  seperti  hutan  mangrove,  padang  lamun  dan  terumbu  karang  merupakan kekayaan  dan  keanekaragaman  terbesar  di  dunia.  Sumberdaya  alam  laut tersebut,  merupakan    salah satu  potensi  ekonomi  yang  memberikan  kontribusi  besar  sebagai pemasok energi penting bagi biota dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh faktor alam dan manusia.

Rusaknya ekosistem  hutan  mangrove  berdampak  buruk  terhadap sejumlah masalah seperti tingkat abrasi yang tinggi, kerusakan rumah dan sarana jalan di pesisir pantai, menurunnya jumlah tangkapan ikan, udang dan kepiting serta masalah sosial ekonomi lain yang  dirasakan  oleh  masyarakat  setempat.

baca juga : Denmark dan Demak, Pelopor Pertahanan Wilayah Laut

 

Sampah plastik yang terdapat di kawasan mangrove di Demak, Jawa Tengah. Foto : Celine van Bijsterveldt

 

Pembangunan Jalan Tol

Kini di wilayah pesisir pantura Jatang bakal dibangun jalan tol sekaligus sebagai tanggul laut. Dalam keterangan  yang disampaikan di laman resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 5 April 2021 lalu, Kementerian PUPR menegaskan bahwa dalam membangun infrastruktur tidak hanya bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, namun juga memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan dan keberkelanjutan.

Upaya tersebut salah satunya diterapkan pada pembangunan Jalan Tol Semarang – Demak di Provinsi Jawa Tengah. “Prinsip-prinsip pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan menjadi komitmen Kementerian PUPR mulai dari tahap survei, investigasi, desain, pembebasan tanah (land acquisition), konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan (SIDLACOM),” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam keterangan resminya

Guna meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dari pembangunan Tol Semarang – Demak, Kementerian PUPR bekerja sama dengan Pemerintah Daerah menyiapkan program relokasi lahan mangrove yang berada di sekitar  pembangunan Seksi 1 Tol Semarang – Demak ruas Semarang – Sayung. Terdapat 3 lokasi kawasan mangrove yang akan direlokasi dengan total luas kurang lebih 46 hektare (ha).

Sistem akar pohon bakau yang kokoh membantu membentuk penghalang alami terhadap gelombang badai dan banjir. Sedimen sungai dan darat terperangkap oleh akar, yang melindungi daerah garis pantai dan memperlambat erosi. Selain sebagai paru-paru kota, upaya pelestarian kawasan mangrove tersebut bertujuan untuk mempertahankan fungsi hutan mangrove sebagai habitat flora dan fauna di pesisir Pantai Utara Jawa serta melindungi daerah garis pantai, termasuk mengurangi risiko abrasi.

Tol Semarang – Demak dibangun dengan skema Kerjasama Badan Usaha dengan Pemerintah (KPBU)  sepanjang 27 km akan terintegrasi dengan Tanggul Laut Kota Semarang sekaligus untuk menanggulangi rob yang kerap terjadi di Semarang. Pembangunan Jalan Tol Semarang – Demak terbagi menjadi dua seksi, yakni Seksi 1 (Semarang/Kaligawe – Sayung) sepanjang 10,69 km merupakan dukungan Pemerintah. Sementara Seksi 2 (Sayung – Demak) sepanjang 16,31 km merupakan tanggung jawab Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Pembangunan Perumahan Semarang Demak dengan total  nilai investasi sekitar Rp15,3 triliun.

Pembangunan tol dilaksanakan oleh kontraktor PT Wijaya Karya – PT Pembangunan Perumahan (KSO) dan  konsultan supervisi PT Virama Karya. Tercatat hingga 24 Januari 2021, pembangunan Seksi 1 Semarang – Sayung sudah mulai tahap pembebasan lahan sekitar 2,29%,  sementara progres konstruksi  pembangunan Seksi 2 sudah mencapai 36%.

baca : Menyoal Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak

 

Tiang pancang pada pembangunan jalan tol semarang – demak. Kementerian PUPR mengklaim tetap melindungi kawasan mangrove pesisir pantai utara Jawa yang terimbas pembangunan jalan tol tersebut. Foto : Kementerian PUPR

 

Pelaksana tugas (Plt) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng Widi Hartanto yang dihubungi Mongabay Indonesia mengatakan bahwa upaya relokasi mangrove tersebut merupakan bagian dari kewajiban pelaku pembangunan untuk meminimalkan dalam lingkungan.

“Pembangunan jalan tol Semarang-Demak sudah dikaji dari sisi Amdal-nya yang keluar tahun 2018 lalu. Dalam izin lingkungan dalam dokumen Amdal telah ditetapkan bahwa vegetasi mangrove harus dijaga, karena hal itu merupakan bagian penting dalam upaya penyelamatan lingkungan. Untuk relokasinya, terus terang saya belum tahu ke mana, karena itu merupakan hal teknis,” jelas Widi saat dihubungi pada Jumat (9/4).

Dikatakan oleh Widi, BUJT memang diwajibkan untuk menjaga betul flora dan faunanya pada proyek pembangunan. Harus diakui, bahwa setiap pembangunan memang ada dampak salah satunya adalah dampak lingkungan. “Oleh karena itu, di dalam Amdal harus ada upaya-upaya untuk meminimalkan dampaknya. Secara rinci, dalam Amdal sudah ada matriks-matriks mengenai apa saja yang harus dikelola. Misalnya untuk menjaga mangrove, maka harus ada langkah-langkahnya. Secara teknis, apakah itu akan direlokasi atau ada penanaman kembali, hal itu telah diatur,” ujarnya.

Sebab, dalam Amdal yang dikeluarkan, BUJT memiliki kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan. Khusus mengenai pengelolaan lingkungan, ada tiga instansi yang bakal mengawasi yakni Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang, DLH Kabupaten Demak dan DLHK Provinsi Jateng. “Kami bersama dengan DLH Kota Semarang dan Demak bakal memantau dan memonitor pelaksanaan pembangunan khususnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Kami jelas terjun ke lapangan untuk mengetahui kondisi senyatanya. Jika memang kurang, maka kami memberikan arahan,”kata Widi.

Menurutnya, secara rinci di dalam matriks pengelolaan lingkungan, sudah disebutkan instansi pengawas dan penerima laporannya. Pengawasan terus dilaksanakan selama proses pembangunan. “Penanggung jawab usaha wajib menjaga agar mangrove tetap lestari. Jadi, bagaimana membangun jalan tol dan tanggul laut, tetapi mangrove tidak rusak, tetap menjaga keseimbangan lingkungan. Karena keberadaan mangrove sangat penting. Maka nantinya, secara teknis, apakah akan direlokasi atau menanam baru lagi, yang penting mangrove harus dilestarikan,” tandasnya.

perlu dibaca : Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah

 

Struktur semi-permeable berupa barisan pagar dari kayu dengan potongan ranting yang disebut hybrid engineering di pesisir pantai Demak, Jateng, untuk mencegah erosi dan banjir rob di wilayah pesisir. Foto : KKP

 

Relokasi tak Gampang

Peneliti dari Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Semarang Rudhi Pribadi mengatakan soal relokasi mangrove ada dua sudut berbeda persepsinya. “Pertama adalah memang benar-benar ada sense itu karena ekosistem mangrove akan terdampak pembangunan, sehingga perlu direlokasi. Namun, kedua, jangan-jangan hanya menyenangkan saja. Namun, jika memang memikirkan bahwa mangrove harus tetap lestari, maka harus didasari dengan kajian yang mendalam,”ungkap Rudhi saat dihubungi Mongabay Indonesia.

Rudhi mengatakan bahwa relokasi khususnya mangrove, itu tidak sebatas memindahkan begitu saja. Sebab, mangrove berbeda dengan ekosistem darat. “Tanaman di darat jika dipindahkan ke lokasi lain, relatif bisa hidup. Namun, kalau mangrove, membutuhkan ekosistem yang khusus, sehingga tidak bisa begitu saja dipindahkan. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, karena mangrove merupakan ekosistem yang berada di intertidal yakni pada saat pasang tergenang air laut dan ketika surut terbebas dari air laut. Dengan demikian mangrove telah beradaptasi dengan baik pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi,” jelasnya.

Menurutnya, agar mangrove bisa tumbuh, maka perlu adanya lingkungan yang sesuai misalnya substrat tertentu dan pada awal pertumbuhannya membutuhkan lokasi yang terlindungi. “Untuk memenuhi kriteria-kriteria tersebut tidaklah mudah, karena memang memerlukan kajian secara komprehensif. Tidak serta merta dipindahkan, kemudian mangrove bisa tumbuh, tidak bisa demikian,”katanya.

Dijelaskan oleh Rudhi, untuk menyelamatkan mangrove akibat terkena dampak pembangunan jalan tol dan tanggul laut, maka benar-benar harus disiapkan lingkungannya. Supaya lingkungan dapat menstimulasi pertumbuhan mangrove. Berdasar pada pengalaman selama ini, upaya-upaya memperbaiki mangrove rusak yang dilakukan tidak merupakan problem based, sehingga rehabilitasinya mengalami kendala.

“Semarang bagian barat mangrovenya rusak karena pembangunan pelabuhan PT KLI Kendal. Sementara mangrove di bagian barat yaitu Demak rusak karena pembangunan Pekabuhan Tanjung Mas, Kota Semarang. Kalau melakukan perubahan lingkungan, pasti bakal ada dampaknya,”ungkap dia.

Rudhi mengatakan bahwa jika terjadi kerusakan, kemudian langsung dilakukan penanaman kembali tanpa ada kajian mendalam, maka yang terjadi akan sia-sia saja. Sebab, rehabilitasi hanya penanaman semata, di sisi lain penanaman dilakukan dengan prosedur yang tidak benar. Ujung-ujungnya adalah kesia-siaan, sebab upaya rehabilitasinya tidak mengacu pada masalah yang ada, mencari sebab masalahnya dan mencoba bagaimana  mengatasi atau mengurangi dampak dari masalah tersebut.

 “Kajian mendalam menjadi penting, karena tidak sebatas mangrove mati kemudian ditanami kembali. Itu tidak bisa. Harus ada upaya-upaya lainnya misalnya mengurangi abrasi dan land subsidence atau penurunan tanah. Selain itu lingkungan yang ditanami mangrove harus spesifik, sesuai dengan ekosistem mangrove,”ujarnya.

 

Exit mobile version