Mongabay.co.id

Para Penjaga Pesisir Selatan Malang

 

 

 

 

Saptoyo memandang jauh di antara deburan ombak dan rerimbunan mangrove yang mulai menghijau di sudut batu karang di estuari Clungup, sore itu. Ia terletak di Dusun Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Bersama beberapa pemuda dari Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, mereka berusaha menghijaukan kawasan ini hingga jadi satu tujuan wisata di pesisir Malang.

“Hijaumu bukan dari warisan, tapi dari perjuangan,” kata Saptoyo pelan. Perlu bertahun-tahun dia dan muda mudi menghijaukan pesisir selatan Kabupaten Malang ini.

Pada 1998-an, saat kawasan hutan di sekitar pesisir selatan Malang terbabat. Lahan dibuka untuk pertanian jadi kebun singkong, pisang dan tebu. Pantai Clungup yang menjadi tempat bermain masa kecil Saptoyo rusak. Hutan mangrove hancur.

Belakangan warga mulai merasakan dampak dari kerusakan hutan mangrove itu. Pada 2004, saat hujan, sumber air minum warga keruh, saat kemarau mengalami krisis air. “Dulu, air melimpah sekarang sulit,” katanya.

Lantas, dia sendirian tergerak untuk reboisasi lahan kritis ini. Dia mencari bibit dan benih aneka mangrove. Pelan-pelan dia menancapkan aneka mangrove. Kemudian dia mengajak teman dan tetangga sekitar untuk melakukan hal sama. Tujuannya satu, agar krisis air segera teratasi.

Dia juga ajak petani penggarap agar ubah lahan jadi hutan mangrove lagi. Mereka mendapat pelatihan dan membetuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Gatra Olah Alam Lestari (Goal) Sendangbiru, Desa Tambakrejo. Selama 2005 sampai akhir 2011 dia konsisten menanam mangrove.

Bersama 25 orang dan mahasiswa, mereka turut mengembangkan wisata pendidikan mangrove. Pengunjung diajak belajar menanam mangrove. Banyak pengunjung dari Kota Malang, tertarik belajar menanam mangrove.

Pada Mei 2015, polisi malah menyiduk Saptoyo. Saptoyo disangkakan memasuki kawasan tanpa izin di hutan yang dikelola Perum Perhutani dan melakukan pungutan liar.

“Saat itu saldo organisasi Rp75 juta, ada uang tunai Rp5 juta. Semua uang disita polisi,” katanya.

 

Baca juga: Rubama, Perempuan Inspiratif Gampong Nusa

Pengunjung melintasi hambaran hutan mangrove menumpang perahu bermesin tempel. Foto : CMC Tiga Warna

 

Saptoyo sempat menginap dua malam di Markas Kepolisian Resor Malang. Perkara tak lanjut.

Setelah bebas, Saptoyo mendirikan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru dan bekerjasama mengelola wisata dengan Perum Perhutani. Saptoyo dipercaya sebagai Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru untuk mengelola kawasan wisata konservasi.

Tujuan utama Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, katanya, melakukan konservasi kawasan hutan lindung, hutan mangrove dan terumbu karang. Sementara pengelolaan ekowisata untuk mendukung usaha konservasi ini. “Cita-cita saya, hidup bersama alam. Bagaimana manusia membangun harmoni dengan alam. Tanpa merusak,” katanya.

 

***

Deburan ombak berkejaran menghantam karang. Bersahutan, dan berirama. Karang tinggi itu memecah gulungan ombak, mengalirkan air laut yang tenang di sepanjang pesisir Pantai Clungup dan Pantai Gatra di selatan Kabupaten Malang. Sejumlah karang dan pulau kecil menjadi tembok penahan hantaman ganasnya ombak pantai selatan.

Sepanjang mata memandang, air laut terlihat biru. Aneka pepohonan khas hutan tropis memenuhi kawasan di pesisir selatan Malang. Burung berkicau, bersahutan. Bernyanyi menyapa setiap pengunjung. Ayam hutan juga terlihat melintas di hutan lindung ini.

Tak hanya pemandangan alam indah, pengunjung bisa menyewa kano. Mendayung berkeliling pantai, didukung dengan kondisi air pantai yang tenang, Pengunjung juga bisa menyewa snorkeling untuk menyelam ke dasar lautan melihat terumbu karang. Keindahan terumbu karang bisa diabadikan dengan kamera di Pantai Tiga Warna.

Seperti pantai pribadi, tak banyak pengunjung dan pedagang makanan yang memenuhi pantai. Pasir putih bersih, tak ada sampah yang berserakan di sekitar pasir putih. Pengunjung bisa bermain pasir putih sepuasnya. Siapa yang menyangka jika terumbu karang yang indah, dan hutan liar itu dulu rusak parah.

Dulu, para nelayan menangkap ikan dengan cara yang merusak. Seperti menebar potasium untuk menangkap ikan hias, dan mencuri terumbu karang untuk hiasan akuarium.

Joni Rudi Irawan melakoni pekerjaan itu sejak 1980- an. Dia mencari ikan hias, udang dan lobster gunakan potasium hingga merusak terumbu karang.

 

Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru menurunkan apartemen ikan untuk kembang biak biota laut. Foto : CMC Tiga Warna

 

Terumbu karang dia jual ke Bali untuk hiasan akuarium. Pengambilan terumbu karang secara besar-besaran terjadi pada 1998. “Sekarang sudah berhenti. Ingat anak cucu,” katanya.

Kini, dia menjadi penyelam handal yang bertugas melakukan transplantasi terumbu karang. Dulu merusak termbu karang, sekarang justru menyelamatkan terumbu karang. Dia juga membuat rumah ikan, menjadi habitat ikan hias dan ikan tangkap.

Joni bergabung dengan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru membentuk ekowisata bernama Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna. Mereka mengelola Pantai Clungup, Pantai Gatra, Pantai Batu Pecah, Pantai Mini, Pantai Sapana dan Pantai Tiga Warna.

Ekowisata ini terbagi menjadi dua area konservasi yakni konservasi mangrove yakni di Pantai Clungup dan Pantai Gatra dan konservasi terumbu karang di Pantai Sapana, Pantai Mini, Pantai Batu Pecah dan Pantai Tiga Warna.

Untuk berkunjung ke Pantai Gatra dan Clungup, bisa sewaktu-waktu. Khusus Pantai Tiga Warna, harus reservasi lebih dulu melalui nomor pengelola 081333777659.

Kini, sebanyak 108 warga Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, mengelola dan merehabilitasi kawasan hutan dan pantai. “Ada juga petani penggarap, menebang hutan. Sekarang terlibat konservasi kawasan,” kata pengurus Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, Muhammad Sofii.

 

Pantai tiga warna terlihat degradasi tiga warna hijau dilihat dari areal perbukitan. Foto : CMC Tiga Warna

 

Pengunjung dibatasi, sampah diperiksa

Pengunjung yang datang tak bisa sembarangan. Mereka harus mengikuti peraturan pengelola. Untuk menikmati pemandangan alam dan pantai, petugas akan memeriksa tas bawaan setiap pengunjung. Mendata dan mencatat sejumlah barang yang berpotensi menjadi sampah, seperti botol plastik, tas kresek, masker, tisu, dan kertas.

Kalau ada sampah tertinggal bakal kenai denda Rp100.000. Pengunjung juga terbatas, maksimal 1.000 orang per hari sesuai daya dukung kawasan.

“Kuota, cek list sampah, dan reservasi diberlakukan sejak 2015,” kata Saptoyo.

Kendaraan tak bisa langsung parkir di tepi pantai, sejauh 500 meter. Pengunjung harus berjalan kaki menuju pantai. Cukup membayar Rp10.000, para pengunjung bisa menikmati alam di Pantai Clungup dan Gatra. Di sini, pengunjung juga bisa belajar menanam dan mengenal aneka jenis mangrove.

Khusus Pantai Mini, Sapana, Batu Pecah, dan Tiga Warna, pengunjung harus menggunakan jasa pemandu Rp150.000. Setiap pemandu akan memandu setiap kelompok berjumlah maksimal lima orang.

Pemandu akan menunjukkan jalur menuju lokasi berbahaya, curam dan ombak besar. Juga mencegah kerusakan mangrove dan terumbu karang di kawasan itu.

“Sebelum ada pemandu, tanaman mangrove dan terumbu karang rusak karena pengunjung,” kata Saptoyo.

Khusus Pantai Tiga Warna, pengunjung dibatasi, kuota maksimal 100 orang dengan durasi maksimal dua jam. Untuk menuju Pantai Tiga Warna, pengunjung harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Penetapan kuota di Pantai Tiga Warna berdasarkan riset daya dukung alam.

Puncak kunjungan wisatawan terjadi pada musim libur sekolah. Mereka rata-rata anak muda, mahasiswa yang tertarik wisata alam serta belajar konservasi.

Tak jarang, ada rombongan keluarga berkunjung di kawasan ini. Pengunjung berasal dari wisatawan domestik dari seluruh nusantara bahkan mancanegara dari Belanda, Jerman, Australia, dan Norwegia.

Setiap Kamis, wisata tutup, untuk memberi kesempatan alam beristirahat atau memulihkan diri secara alamiah. Ia juga tutup sepekan saat pergantian tahun dan sepekan selama libur Lebaran.

Wawan Eko Yulianto, seorang pengunjung, datang bersama rombongan. Dia puas menikmati pantai. Selain itu, jasa pemandu juga menceritakan usaha konservasi warga sekitar. “Alamnya indah, pemandu menguasai lingkungan sekitar,” katanya.

Dia senang berkunjung ke Pantai Tiga Warna dan berjanji kembali lagi. Wawan tak menyangka masyarakat mampu mengelola wisata secara profesional. Kunjungan dibatasi, pengawasan sampah pengunjung, dan reservasi sebelum kunjungan. “Mereka hidup selaras dengan alam.”

 

Anak sekolah belajar menanam mangrive di CMC Tiga Warna. Foto : CMC Tiga Warna

 

Sebagian pendapatan untuk konservasi

Soal pendapatan, Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru membagi secara proporsional: Perum Perhutani 45%, Pemerintah Kabupaten Malang 20%, pemerintah kecamatan 3%, pemerintah desa 2%, dan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru 30%.

Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru saban bulan menerima pemasukan sekitar Rp150 juta-Rp200 juta, sekitar 20% pendapatan untuk konservasi mulai dari menanam mangrove, transplantasi terumbu karang sampai menangani hutan lindung.

Agus Wiyono, Koordinator East Java Ecotourism Forum (EJEF) menilai, Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru yang pertama dalam menerapkan konsep pengelolaan wisata alam yang berangkat dari visi konservasi, antara lain, pengunjung dibatasi, dan sampah pengunjung diperiksa. “Dibatasi kuota, karena daya dukung, kenyamanan dan keamanan pengunjung.”

Tri Jambore Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mendukung usaha konservasi dan pengelolaan wisata alam Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru. Pesisir selatan Malang, katanya, memiliki puluhan pantai indah tetapi sebagian besar untuk wisata massal.

“Dampak wisata massal signifikan. Ada perubahan bentang alam, dan infrastruktur,” katanya.

Kala wisata alam tak memperhatikan daya dukung justru menimbulkan masalah ekologis, mulai sampah, limbah cair dan padat menumpuk.

“Wisata massal harus dihentikan. Jawa wilayah ekologi kritis,” katanya.

 

 

*****

Foto utama: Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru memeriksa dan mendata hasil penanaman mangrove. Foto : CMC Tiga Warna

 

Exit mobile version