Mongabay.co.id

Belajar dari Penanganan Satwa Masa Bencana di Sulawesi Barat

 

 

 

 

Ramadhani dan Herry Susanto, berboncengan menyusuri Kota Mamuju, Sulawesi Barat dengan motor bebek sambil memboyong sekarung pakan kucing. Dari belakang, tim dokter hewan menyusul. Tujuan kami hari itu, rumah megah berkelir putih, di sudut kota, yang menjadi pos relawan.

“Di sana ada anjing. Katanya sakit,” kata Dani, sapaan akrab Ramadhani.

Siang itu, 23 Januari lalu, Mamuju seperti biasa, panas dan bikin gerah. Kami tiba di rumah dengan keringat sekujur tubuh.

Di kolong bale-bale, seekor anjing cokelat kecil berbaring lesu. Dua mata terbuka, menatap kosong. Bulu pendek halus tumbuh di sekujur tubuhnya. Belang putih membundar di moncong hitam.

Ini anjing domestik betina. Karena persoalan ras, orang kerap menjuluki anjing kampung. Relawan di rumah itu tak tahu asal si anjing.

Dokter yang tiba mendekati anjing, lalu mengelus. Kehadiran kami bukan ancaman baginya. Tak ada sambutan gonggongan. “Bersih sekali,” kata dokter.

Dokter menghadiahkan segenggam makanan kering. Si anjing bangkit mendekat, mengendus makanan itu dan melahap habis. “Waduh, ternyata kau lapar. Ha..ha..ha..,” kata si dokter.

Dia baik-baik saja dan tak perlu perawatan medis. Hanya lapar.

Dani dan Herry bergabung di Tim Posko Kesehatan Hewan Mamuju. Mereka adalah relawan satwa dari Centre for Orangutan Protection (COP), organisasi berbasis di Jakarta Selatan, yang memerangi segala kejahatan terhadap orangutan dan satwa liar di Indonesia, sejak 2007.

Mereka tiba 19 Januari, empat hari seyelah gempa 6,2 Magnitude merusak Kota Mamuju dan memaksa warga seantero kota mengungsi.

 

Baca juga: Amuk Lindu di Majene [1]

Seekor kucing yang berhasil dievakuasi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Posko Kesehatan Hewan buka saban hari, sejak 18 Januari 2021, di Gedung Dinas Pertanian Mamuju. Hingga sore, posko ini selalu kedatangan warga, yang membawa kucing atau sekadar mengambil pakan. Pakan juga tersedia buat ternak. Halaman gedung itu juga jadi tempat tinggal sementara bagi Dani dan Herry.

Posko Kesehatan Hewan terbuka bagi siapapun yang datang demi piaraan dan ternak, tetapi itu tidak cukup dalam memastikan kesejahteraan hewan di Mamuju, ketika orang-orang sibuk menangani bencana.

Semasa tanggap darurat bencana, hewan-hewan piaraan macam anjing dan kucing terlantar. Mereka adalah korban bencana yang tak pernah terhitung dalam angka korban gempa rilisan pemerintah.

Tidak sedikit ada satwa terluka hingga mati karena terkena runtuhan. Para pengasuh meninggalkan mereka terkurung dalam rumah, sedangkan hewan-hewan tanpa pengasuh yang hidup liar di emperan kota, kesulitan mendapat makan. Toko hewan belum buka.

Dani dan Herry buat memastikan pangan ini. Bergerilya mereka, saban hari hingga langit mulai gelap. “Yang pasti, mereka dapat makan yang cukup,” kata Dani.

Mamuju adalah titik bencana yang kesekian kali dikunjungi Dani dan Herry sebagai relawan hewan. Dua orang itu, menembus lokasi terdampak bencana demi menyelamatkan hewan-hewan dari keterpurukan. Bagi mereka, kala bencana, kesejahteraan semua makhluk hidup harus terjamin.

 

***

Kami memasuki sebuah perumahan kelas menengah di Kota Mamuju. Tak ada siapapun hari itu. Dani dan Herry memasuki pekarangan sebuah rumah berkelir krem. Menerawang masuk melalui jendela, seraya memanggil sesuatu di dalam, “Pus… pus….”

Dua kucing belang nan cantik muncul dari balik kaca. Pengasuh kucing itu sebelumnya melapor ke Posko, bahwa meninggalkan piaraan kesayangan terkurung dalam rumah, dia keburu mengungsi di luar kota.

 

Baca juga: Kalut Penanganan Gempa Mamuju-Majene, Mitigasi pun Minim [2]

Herry bersama kucing yang akan dievakuasi di Mamuju. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Dani menyambungkan panggilan video ke si empu rumah, meminta izin membuka jendela. Ini kali kedua mereka menyambangi rumah itu. Pengasuh kucing domestik itu adalah seorang perempuan. Lewat kamera, dia berbicara ke piaraannya dan menerima balasan meongan. Si pengasuh seperti paham apa yang disampaikan kucing-kucing manjanya.

Dari sela teralis besi, Herry memasukkan pakan kucing. Si empu senang melihat dua kucingnya begitu lahap. Kami agak lama di rumah itu, tak ingin menganggu ‘perjumpaan’ mereka. Sang pengasuh jelas rindu ke “anak-anaknya.”

Kami meninggalkan rumah itu dengan jendela terbuka. Si empu rumah sama sekali tak keberatan. “Biar kucingnya bisa keluar nanti cari makan,” kata Dani. “Besok kita cek lagi.”

Kota Mamuju, adalah rumah bagi populasi kucing. Kami jarang menemukan anjing di jalan, kecuali yang terkurung dalam rumah. Sepanjang jalan, mata Dani dan Herry terus menyisir kanan kiri jalan, menembus sela bangunan roboh, kolong mobil, dan halaman-halaman rumah kosong. Kucing punya kebiasaan bersembunyi. “Kalau begini, mata mesti awas,” kata Dani.

Bila satu dari kami melihat kucing, kami kompak berhenti dan Dani turun memberi mereka makan yang cukup. Segenggam atau bisa lebih. Beberapa kucing mengambil jarak awas, atau hanya terpaku menonton kami yang sedang menawarkan mereka makan. Kerja-kerja ini sungguh butuh kesabaran.

Ketika matahari tepat di atas, kami sampai di satu permukiman padat, sekitar Pelabuhan Mamuju. Seekor kucing belang yang gempal sedang mengais makanan dari tempat sampah. Kami berhenti. Kucing itu urung mendekati kami. “Sini! Udah. Jangan malu-malu,” kata Dani.

Di permukiman ini, kata Dani, ada sosok bapak yang suka menolong kucing-kucing terlantar di sekitar rumahnya. Kami menyambangi rumah si bapak yang jadi panti kucing. Dani ingin menitipkan pakan. Hari itu, si bapak sedang keluar. “Di sini ada banyak anakan kucing.”

Depan rumah si bapak, anak kucing, seukuran genggaman orang dewasa muncul mengekori kami. Meongannya terus melengking. Dani memberi makan, Herry lekas mencari yang lain.

Kucing ini pasti tidak sendiri. Tepat samping rumah, di antara lemari reot, seekor kucing kecil berbaring di dalam kardus air kemasan.Tengkuk penuh nanah dan dua mata lengket. Tubuh kurus. Makanan yang diberikan sama sekali tidak disentuh.

Kami melesat ke posko. Kucing malang itu segera menjalani pemeriksaan medis. Dokter membersihkan luka dan melepas kulit mati di tengkuk. Dari gejalanya, kucing itu terjangkit virus calici, virus flu yang menyerang kucing dan mematikan, bernama Feline calicivirus.

Dokter menyuap makanan memakai spuit dan menyuntikkan cairan ke tubuhnya. Meski terkesan lemas, meongan si kucing tidak berhenti. Setelah perawatan, kucing yang diberi nama Harbor ini sudah sembuh.

 

Dani memberi makan anjing yang terkurung dalam rumah pasca bencana. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Ma’ruf Achsinul Fikri, sosok di balik pendirian Posko Kesehatan Hewan Mamuju, belakangan Posko Hewan juga berdiri di Majene, di Kecamatan Malunda.

Sebelum gempa, Ma’ruf bertugas di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Simboro, Mamuju, sebagai dokter hewan. Hari pertama buka, relawan hanya Ma’ruf dan seorang lagi. Selanjutnya, relawan dari Palu, Makassar, dan COP berdatangan. Kebanyakan dari mereka adalah pencinta kucing.

Ma’ruf membuka donasi melalui Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan melalui website galang dana. Donasi datang sungguh banyak. “Ternyata banyak mau yang bantu. Apalagi dari Makassar, Palu, Jawa.”

Pasien di Posko, kata Ma’ruf, memiliki gejala umum, antara lain, nafsu makan berkurang, pencernaan terganggu, dan perubahan perilaku yang sebelumnya riang dan aktif berubah jadi pemurung dan penakut. “Umumnya, stres karena gempa. Trauma. Mungkin karena guncangan, sama suara gemuruh.”

Posko kesehatan hewan, tak hanya soal bagi pakan gratis. Di sini, juga dibuka pelayanan medis. Selama berdiri, sedikitnya 141 kucing dan tiga anjing yang telah menjalani perawatan medis. Sebanyak 12 mesti operasi.

“Terakhir ini, kena reruntuhan, kakinya harus diamputasi,” kata Ma’ruf. “Jadi, yang terdampak bukan manusia saja.”

 

Penanganan satwa minim ketika bencana

Melihat Posko Hewan Mamuju bekerja di masa tanggap bencana, bagai melihat pementasan spektakuler tanpa sorak ramai. Mereka bekerja di bawah bayang stigma bahwa mereka antipati pada manusia yang menjadi korban bencana.

“Sempat dipertanyakan posko utama di provinsi, karena saat yang lain menyelamatkan manusia, tim relawan satwa malah membuka posko untuk satwa,” kata Dani. Namun, katanya, karena manfaat luar biasa, akhirnya mereka mengerti.

 

Kucing sedang perawatan medis pasca gempa Sulawesi Barat. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Kalau melihat beberapa negara maju, upaya penyelamatan satwa saat bencana sudah jamak bahkan sudah lakukan mitigasi.

Pemerintah mendata rumah pengasuh hewan yang hidup di wilayah rawan bencana. Pengasuh juga menempel stiker di depan rumah yang memuat jumlah piaraan. “Jadi ketika bencana terjadi dan pemilik rumah harus mengungsi, tim penanganan satwa akan gunakan data itu untuk pemeriksaan awal dan pemeriksaan tiap rumah sesuai stiker.”

Peran satwa ketika bencana juga perlu diingat. Anjing terlatih (K9) dikerahkan menembus ancaman untuk mencari korban bencana, atau tingkah polah hewan piaraan bisa menghibur pengasuh yang sedih karena bencana.

Kehilangan hewan kesayangan sama sedihnya kehilangan seorang terkasih. Hubungan manusia dan hewan, katanya, seperti kucing dan anjing, sangat masuk akal dan bukan hal berlebihan.

“Saya mengenal beberapa orang yang memiliki hubungan kuat kepada kucing atau anjing piaraanya. Ketika piaraan sakit, dia akan sama paniknya ketika mendengar kerabatnya jatuh sakit.”

Selain hewan peliharaan, hewan ternak macam sapi dan kambing juga menjadi pangkal ekonomi keluarga untuk pulih sehabis bencana atau jadi cadangan pangan.

Dani berharap, penanganan bencana kelak memasukkan satwa dalam aturan tertulis hingga bisa setara dengan tim penanganan manusia. Bantuan satwa pun, katanya, bisa menjangkau daerah terpencil.

“Untuk itu, ketika tim mitigasi bencana (pemerintah: BNPB, BPBD, Basarnas dan lain-lain) konsentrasi kepada penyelamatan manusia maka penanganan satwa juga semestinya berjalan bersamaan. Trauma fisik harus segera ditangani. Begitu juga kematian satwa, kalau tidak ditangani dengan cepat akan menjadi sumber penyakit baru,” kata Dani.

Di Indonesia penanganan bencana bagi satwa belum ada. Untuk itu, perlu ada persiapan bagi yang punya satwa piaraan. Pemilik satwa, kata Dani, bisa menyiapkan hal terbaik, antara lain, ada akses keluar dari rumah seperti lubang keluar masuk kucing/anjing.

“Juga menyiapkan kandang yang sewaktu-waktu bisa untuk mengungsi dan membuat jaringan kepemilikan satwa/komunitas hingga bisa saling membantu.”

 

****

Foto utama: Seekor kucing sedang menjalan perawatan medis. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version