Mongabay.co.id

Lele Mutiara, Generasi Terkini Ikan Populer di Indonesia

 

Popularitas Lele sebagai komoditas perikanan andalan bagi masyarakat Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Rasanya yang lezat dengan tekstur daging yang gurih namun mudah untuk dicerna, menjadikan komoditas tersebut sebagai salah satu ikan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat.

Bagi Pemerintah Indonesia, fakta tersebut menjadi peluang bagi subsektor perikanan budi daya untuk bisa mengembangkan komoditas tersebut lebih baik lagi. Pengembangan tersebut, akan menjadi hasil riset luar biasa, mengingat budi daya Lele juga sudah mengadopsi teknologi Bioflok.

Berlatar belakang gambaran itu, Badan Riset Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) melakukan serangkaian riset untuk mengembangkan Lele varian baru yang kemudian diberi nama Mutiara alias Bermutu Tiada Tara.

Kepala BRSDM KP KKP Sjarief Widjaja mengatakan, olahan Lele mejadi salah satu favorit kuliner bagi masyarakat Indonesia dan itu terjadi sejak lama. Bahkan, Lele bisa menjadi ikon kuliner yang bisa dinikmati dari pinggir jalan hingga ke restoran/hotel berbintang.

Sebelum menjadi strain yang unggul, Mutiara harus melalui proses pemuliaan yang panjang yang sudah dimulai sejak 2015 lalu. Proses pemuliaan tersebut dilakukan BRSDM KP dengan menggunakan Lele Afrika (Clarias gariepinus).

baca : Budidaya Lele, Potensi Primadona Ekspor Indonesia Selanjutnya

 

Lele Mutiara (Bermutu Tiada Tara) hasil pemuliaan Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Subang. Foto : KKP

 

Menurut Sjarief Widjaja, pengembangan Lele Mutiara menjadi harapan baru bagi industri perikanan budi daya di masa mendatang. Hal itu, karena Lele sudah diterima oleh masyarakat sebagai salah satu ikan konsumsi utama.

“Namun keberhasilan budi daya Lele sangat ditentukan oleh kualitas benih, dan kualitas benih ditentukan oleh kualitas dari induk,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

Dengan potensi tersebut, Lele diharapkan bisa ikut mendukung upaya Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan, mengembangkan perikanan budi daya untuk kebutuhan ekspor, dan membangun kampung perikanan berbasis keariran lokal.

Lele Mutiara sendiri menjalani proses pemuliaan di Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Saat ini, Mutiara sudah menjadi nama resmi yang ditetapkan oleh KKP pada 2015.

 

Keunggulan

Kepala BRPI Sukamandi Joni Haryadi menjelaskan, Lele Mutiara menjdi unggulan karena bisa tumbuh 20-70 persen lebih cepat dibandingkan Lele yang biasa. Kemudian, budi daya Lele Mutiara juga ternyata jauh lebih hemat dalam penggunaan pakan dibandingkan Lele biasa.

“Sehingga dapat menekan biaya pengeluaran (produksi),” tutur dia.

Selain keunggulan tersebut, Mutiara juga memiliki angka rasio konversi pakan (feed convertion ratio/FCR) hanya kisaran 0,6 hingga 1 saja. Angka tersebut menjelaskan bahwa perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budi daya lebih rendah.

baca juga : Membangun Ketahanan Pangan di Penghujung Negeri dengan Budidaya Lele

 

Lele Mutiara (Bermutu Tiada Tara) hasil pemuliaan Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Subang. Foto : KKP

 

Keunggulan lain, Mutiara memiliki ketahanan yang tingi terhadap berbagai penyakit. Itu dibuktikan melalui serangkaian uji coba dengan cara menginfeksi benih Lele Mutiara dengan bakteri Aeromonas hydrophila selama 60 jam dengan tingkat mortalitas hanya 30 persen saja.

“Lele Mutiara juga memiliki tingkat keseragaman ukuran mencapai 70 hingga 80 persen,” ucap dia.

Walau memiliki keunggulan yang sudah diketahui para peneliti, namun KKP tak ingin sesumbar lebih dulu dan memilih untuk melakukan uji secara ilmiah dan lapangan secara bersamaan. Dari situ, para pembudidaya mendapat kesempatan untuk mencobanya sebagai komoditas budi daya.

“(Lele Mutiara) dapat diterima oleh masyarakat pembudidaya ikan Lele di berbagai wilayah Indonesia, meski karakteristik alamnya berbeda-beda,” tambah dia.

Dengan segala keunggulan yang dimiliki, nama Lele Mutiara langsung melejit sebagai salah komoditas yang banyak diminati untuk dijadikan budi daya. Akhirnya, setelah 2015 ditetapkan oleh KKP, permintaan terhadap induk dan benih Mutiara terus meningkat hingga sekarang.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, BRPI menjadi satu-satunya penyuplai yang terus melaksanakan produksi induk dan benih yang unggul. Namun dalam perjalanannya, BRPI merasa perlu untuk melakukan kolaborasi dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Tujuan kerja sama, agar pemanfaatan induk dan benih Mutiara bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Dengan skema tersebut, BRPI bisa menyebarluaskan induk ke seluruh Indonesia, dengan rincian 9.000 paket calon induk yang terdiri dari 45 ribu ekor jantan dan 90 ribu ekor betina.

KKP mengharapkan kehadiran Lele Mutiara bisa ikut mendorong peningkatan produksi ikan secara nasional. Upaya tersebut akan dipadukan dengan penggunaan teknologi yang sudah lama diadopsi pada proses produksi perikanan budi daya.

baca juga : Akhirnya, Teknologi Bioflok untuk Lele Masuk Pesantren

 

Lele Mutiara (Bermutu Tiada Tara) hasil pemuliaan Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Subang. Foto : KKP

 

Teknologi Bioflok

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto pada kesempatan sebelumnya menyebutkan, salah satu teknologi yang sangat tepat untuk bisa mendorong peningkatan produksi Lele secara nasional adalah bioflok.

“Teknologi tersebut, dinilai berhasil karena bisa meningkatkan produksi dalam jumlah yang banyak. Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi yang digemari,” jelas dia.

Tentang Bioflok, saat ini popularitasnya semakin meningkat di kalangan masyarakat dan juga pembudidaya ikan. Kondisi itu bisa terjadi, karena teknologi tersebut dinilai mampu menggenjot produktivitas lele, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas, dan juga hemat sumber air.

Menurut Slamet, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan.

“Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi Lele bisa mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa. Ini yang disukai para pembudidaya, dan bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara nasional,” ungkap dia.

Jika budi daya mengadopsi bioflok, maka padat tebar akan bisa dipersingkat menjadi hanya di kisaran 100 hingga 110 hari saja. Sementara, jika tetap dengan cara konvensional, maka padat tebar budi daya pada kolam memerlukan waktu 120 hingga 130 hari.

Dengan kelebihan itu, Slamet menyebut kalau budi daya dengan bioflok sangat menguntungkan. Hal itu karena, pendapatan dari satu kolam akan mengalami peningkatan tiga kali lipat jika dibandingkan dengan menggunakan budi daya biasa.

baca juga : Seperti Apa Peran Teknologi Bioflok untuk Ketahanan Pangan Nasional?

 

Lele Mutiara (Bermutu Tiada Tara) memiliki keunggulan produksi cepat dan memiliki ketahanan tinggi terhadap serangan penyakit. Foto : KKP

 

Kelebihan lain dari teknologi Bioflok ini, adalah bisa mengintegrasikan diri dengan sistem lain seperti hidroponik. Sistem tersebut, yaitu memanfaatkan air buangan limbah budi daya yang mengandung mikroba sebagai pupuk untuk tanaman sayuran.

“Tentunya ini adalah bentuk keberhasilan inovasi teknologi budi daya, dan sekaligus menjadi jawaban tepat bagaimana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat saat ini. Inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan dan masalah, serta mampu memanfaatkan peluang yang ada,” tambahnya.

Manfaat positif yang dihasilkan dari teknologi tersebut, membuktikan kalau bioflok adalah teknologi yang ramah lingkungan. Fakta tersebut juga menjadi catatan positif karena teknologi budi daya perikanan kini mengarah pada konsep keberlanjutan.

Ketua I Assosiasi Pengusaha Catfish Indonesia Imza Hemawan menyebutkan kalau usaha budi daya Lele dengan teknologi bioflok merupakan usaha yang mengandalkan teknologi. Karenanya, faktor kedisiplinan dalam penerapan prosedur operasi standar (SOP) menjadi sangat penting.

“Pendampingan teknologi harus dilakukan secara intens, dengan metode yang memungkinkan masyarakat memahami dan mengadopsi secara mudah,” jelas dia.

 

Exit mobile version