Mongabay.co.id

8 Tumbuhan Baru Indonesia Ini Ditemukan Saat Pandemi

 

 

Hari ini, dan tahun lalu, kita memperingati Hari Bumi saat pandemi COVID-19 merebak. Tema Hari Bumi 2021 adalah Restore Our Earth. Hal ini tentu bermuara pada sebuah tujuan besar untuk mengembalikan kondisi bumi, termasuk di dalamnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayatinya.

“Dengan menguak berbagai spesies baru tumbuhan, yang merupakan komponen keanekaragaman hayati, kita menjadi tahu apa saja yang harus dijaga dan dikembalikan agar tercapai kelestarian alam yang utuh,” kata Destario Metusala, staf Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya [PPKTKR] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], kepada Mongabay Indonesia, Selasa [20/4/2021].

Destario tak memungkiri, pandemi memunculkan banyak batasan. Namun, hal itu tidak sampai menjadi penghalang peneliti LIPI untuk tetap produktif meneliti keanekaragaman hayati.

“Berpikir, menganalisa, menulis, tentu dapat dilakukan di mana saja, sehingga walaupun peneliti lebih sering bekerja dari rumah, aktivitas penelitian tetap berjalan.”

Uniknya, lanjut Destario, selama periode pandemi 2020, justru staf PPKTKR [Dr. Destario Metusala, M.Sc. dan Wisnu Handoyo Ardi, M.Si.] telah mempublikasikan 8 spesies baru tumbuhan unik, dari belantara Indonesia.

Tercatat, Destario mempublikasikan 4 spesies tumbuhan, yaitu Bulbophyllum acehense, Dendrobium rubrostriatum, Nepenthes putaiguneung, dan Dendrobium sagin. Sedangkan Wisnu Handoyo mempublikasikan 4 spesies baru lainnya, yaitu Begonia enoplocampa, Begonia tjiasmantoi, Begonia sidolensis, dan Etlingera tjiasmantoi.

Publikasi spesies baru tersebut merupakan hasil penelitian kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari akademisi, peneliti dalam dan luar negeri, filantropis lingkungan, hingga staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA].

“Kolaborasi dengan banyak pihak yang berkompeten juga menjadi kunci penting untuk menyiasati agar tetap produktif meneliti selama pandemi.”

Baca: Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya

 

Bulbophyllum acehense. Foto: LIPI/Destario Metusala

Bulbophyllum acehense

Bulbophyllum acehense merupakan anggrek epifit yang tumbuh alami di pegunungan hutan Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Anggrek ini memiliki perbungaan tunggal yang bermunculan dari bagian ruas-ruas rhizomnya. Bunganya berwarna kuning cerah mengkilap, berlilin dengan corak halus garis garis kuning yang lebih pekat.

Walaupun ukuran bunganya berkisar 1,7-2 cm, namun bentuknya unik. Bagian lateral sepalnya terpilin kuat ke belakang. Spesies anggrek baru ini juga memiliki keunikan pada bagian bibir bunganya yang menekuk tajam ke bawah seperti pengait. Spesies ini menggunakan nama Propinsi Aceh sebagai petunjuk, kawasan Aceh memiliki keunikan diversitas anggrek yang tinggi. Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal nasional Biologi Tropis.

 

Dendrobium rubrostriatum. Foto: LIPI/Destario Metusala

Dendrobium rubrostriatum

Dendrobium rubrostriatum juga merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel di kulit batang pepohonan. Susunan daunnya berevolusi secara unik, membentuk seperti gergaji pipih dengan panjang total hingga 43 cm. Perbungaannya muncul dari batang semu pipih di bagian ujung.

Meski ukuran bunga tergolong kecil, lebarnya berkisar 0,65-0,75 cm, akan tetapi kombinasi warnanya cukup mencolok. Sepal petal bunga berwarna dasar krem dengan garis-garis memanjang merah keunguan. Spesies baru ini, ditemukan di hutan dataran rendah Kalimantan Barat pada ketinggian 200-300 m.

Meski demikian, observasi selanjutnya menunjukkan bahwa sebaran spesies baru ini mencapai kawasan Sarawak dan Sabah, Malaysia. Penelitian ini memerlukan waktu panjang hingga 6 tahun lamanya demi memperoleh data-data spesies pembanding yang akurat. Penelitian anggrek D. rubrostriatum diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.

 

Nepenthes putaiguneung. Foto: Dok. Dee Dee Al Farishy

Nepenthes putaiguneung

Nepenthes putaiguneung adalah spesies tumbuhan karnivora yang lebih akrab disebut dengan nama kantung semar atau periuk monyet. Indonesia merupakan gudang keanekaragaman Nepenthes di dunia. Terdapat sekitar 75 spesies dari seluruh kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di kawasan Pulau Sumatera.

Penelitian Nepenthes baru ini, merupakan kolaborasi dengan Dee Dee Al Farishy yang saat itu merupakan mahasiswa biologi Universitas Indonesia dengan Dr. Destario Metusala sebagai salah satu pembimbingnya. Penelitian berlangsung 6 tahun, sejak 2014, untuk memastikan perbandingan data morfologi dilakukan secara cermat dan akurat.

Nepenthes putaiguneung memiliki kantung bawah berukuran 12-13 cm, lebar 1,5-2,3 cm dengan bibir peristome merah mengkilap serta berusuk pendek [0,3-0,5 mm]. Sedangkan kantung bagian atas lebih ramping, berukuran 8,5-15 cm dan lebar 1,4-2 cm, serta berbibir kehijauan dengan rusuk yang sangat pendek [< 0,3 mm] sehingga tidak nampak jelas.

Nama epithet “putaiguneung” berasal dari bahasa lokal Kerinci, yaitu “putai” [puteri] dan “guneung” [gunung] yang merujuk keanggunan spesies dataran tinggi ini, menyerupai putri gunung. Spesies baru ini diduga endemik Pulau Sumatera dan memerlukan perlindungan khusus dari perubahan habitat serta ancaman pengkoleksian tak terkendali.

Penelitian ini berkolaborasi dengan peneliti dari Inggris dan diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.

 

Dendrobium sagin. Foto: Reza Saputra/BKSDA Papua Barat

Dendrobium sagin

Dendrobium sagin adalah anggrek spesies baru berbunga indah dari hutan alami di Papua Barat. Penelitian ini hasil kolaborasi dengan Reza Saputra selaku first author.

Reza adalah staf pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Papua Barat, yang juga pernah menjadi mahasiswa biologi Universitas Indonesia bimbingan Dr. Destario Metusala. Spesies baru anggrek D. sagin memiliki bunga berukuran cukup besar, dengan rentang lebar antara 3-4 cm. Bunganya berwarna putih bersih dengan semburat kekuningan.

Bibir bunganya yang kekuningan berbentuk obreniform, dengan rambut-rambut tegak di bagian tengah helaian. Meskipun berbunga indah dan berwarna cerah, namun masa mekar bunganya tidak lama, 1-2 hari saja.

Nama epithet “sagin” diambil dari bahasa lokal Suku Moi di Papua Barat yang memiliki arti “rambut”, yaitu merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunganya. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.

 

Begonia enoplocampa. Foto: Dok. Wisnu Handoyo Ardi

Begonia enoplocampa

Begonia enoplocampa adalah Begonia yang hanya dijumpai di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Tumbuhan ini mudah dikenali dengan batang yang berupa rhizome, daun berbentuk bundar telur melebar dengan tepian daun bergigi hingga bercangap.

Bunga spesies ini berwarna putih dengan jumlah perhiasan empat helai tenda bunga pada bunga jantan, dan tiga helai tenda bunga pada bunga betina. Selain itu, spesies in memiliki bakal buah bersayap tiga berwarna putih.

Nama spesies baru Begonia diambil dari Bahasa Yunani, yaitu énoplos [ένοπλος = senjata, bersenjata] dan kámpë [κάμπη = ulat]. Ini merujuk pada karakter rhizome dan daun penumpunya dengan rambut yang bercabang, yang jika diperhatikan detil akan sangat mirip dengan ulat hijau berduri yang gatal.

Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa. 

 

Begonia tjiasmantoi. Foto: Dok. Wisnu Handoyo Ardi

Begonia tjiasmantoi

Begonia tjiasmantoi merupakan spesies endemik Pulau Sulawesi. Spesies ini hanya dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.

Tumbuhan ini adalah salah satu Begonia terunik di Sulawesi karena memiliki kombinasi karakter yang jarang ditemukan di Begonia spesies lainnya, di Sulawesi. Penampilannya kecil dengan tinggi hanya sekitar 15 cm. Daun berbentuk elips dengan warna kecokelatan disertai hijau terang pada permukaan atas.

Sedangkan permukaan bawah daun berwarna merah marun. Bunganya berwarna kuning, merupakan warna yang sangat langka untuk-spesies-spesies Begonia dari Asia. Namun, spesies endemik ini semakin terancam karena sebagian besar habitatnya telah dikonversi menjadi perkebunan kopi.

Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia.

Penelitian ini diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.

 

Begonia sidolensis. Foto: Dok. Wisnu Handoyo Ardi

Begonia sidolensis

Begonia sidolensis merupakan spesies endemik Sulawesi Tengah yang hanya dapat dijumpai di sekitar kawasan puncak Gunung Sidole, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Spesies ini merupakan salah satu hasil kolaborasi penelitian dengan mahasiswa Universitas Tadulako, Eka Putri Dayanti yang saat itu tengah mengerjakan tugas akhirnya tentang ekologi Begonia di Gunung Sidole.

Spesies ini sangat berbeda dengan Begonia lainnya di Sulawesi, dikarenakan memiliki beberapa karakter unik. Di antaranya yaitu perawakan kecil dengan batang yang tumbuh menjalar di atas permukaan tanah. Daun kecilnya berbentuk bundar telur, berwarna kemerahan disertai bercak atau semburat hijau keperakan.

Bunganya berwarna merah muda dan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan proporsi ukuran daunnya. Nama epithet spesies ini menggunakan nama gunung, spesies ini tumbuh dan ditemukan, yaitu Gunung Sidole.

Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.

 

Etlingera tjiasmantoi. Foto: Dok. Wisnu Handoyo Ardi

Etlingera tjiasmantoi

Etlingera tjiasmantoi merupakan salah satu spesies dari suku jahe-jahean [Zingiberaceae] yang saat ini hanya ditemukan di hutan pegunungan Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Spesies ini ditemukan saat ekspedisi Sulawesi yang dilakukan awal 2020, sebelum merebaknya pandemi di Indonesia. Jenis baru ini di deskripsi bersama peneliti Zingiberaceae dari Pusat Penelitian Biologi, Dr. Marlina Ardiyani.

Spesies ini terlihat mirip kerabatnya Etlingera flexuosa, namun dapat dengan mudah dibedakan pada tangkai anak daunnya yang lebih panjang, buah yang berbentuk bulat telur sungsang, dan tidak berduri.

Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto, dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia.

Penelitian diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.

 

Kekayaan hayati

Destario menegaskan, temuan spesies baru tersebut adalah bukti nyata bahwa hutan Indonesia menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum terkuak oleh ilmu pengetahuan.

Namun, ancaman terhadap kelestarian hutan, terutama di kawasan pusat biodiversitas, menjadi sebuah tantangan besar yang harus dihadapi.

“Deforestasi adalah ancaman besar bagi pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan,” tuturnya.

Sedangkan penurunan laju deforestasi di negeri ini nampaknya adalah hal kompleks yang sulit terwujud dalam waktu singkat. Oleh karena itu, kata Destario, perlu sebuah aksi yang dapat dijalankan sembari perjuangan menghentikan laju deforestasi terus dilakukan.

“Aksi tersebut adalah penelitian inventarisasi tumbuhan di berbagai pelosok titik keanekaragaman hayati. Terutama, yang terancam oleh degradasi dan deforestasi hutan. Kita sedang berlomba dengan laju kehilangan hutan.”

Destario menegaskan, jangan sampai suatu spesies baru tumbuhan, punah oleh cepatnya deforestasi. Bahkan, sebelum sempat diteliti oleh dunia ilmu pengetahuan.

 

 

Exit mobile version