Mongabay.co.id

Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Persawahan di Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek dengan latar belakang pegunungan. Desa ini menjadi lokasi pertama yang akan ditambang. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indinesia

 

 

 

 

Trigus D Susilo, sedang berada di satu ruangan Sekretariat Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (PAMA) 9 Maret lalu. Dia terlihat sibuk, malam itu. Tatapan Trigus fokus ke layar komputer jinjingnya.

Ketua Pemuda Muhammadiyah Trenggelek ini tengah menyelesaikan naskah petisi menolak rencana penambangan emas dari PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di kabupaten itu.

Setelah selesai, Trigus bergegas mengunggah petisi itu di laman change.org. Sampai 23 April 2021, petisi yang dibuat atas nama Aliansi Rakyat Bergerak itu sudah mendapatkan dukungan 25.000 tanda tangan.

Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, biasa disapa Gus Ipin, dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Elistianto Dardak, akrab disapa Emil turut membubuhkan tanda tangan. Melalui kolom komentar, Emil yang pernah menjabat Bupati Trenggalek ini mendukung langkah Pemkab Trenggalek menolak tambang ini.

Sore sebelumnya, sejumlah elemen di Trenggalek, menggelar pertemuan menyikapi terbitnya izin operasi produksi PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) ini.

Selain Pemuda Muhammadiyah, pertemuan itu juga dihadiri pengurus GP. Ansor, Pemuda Gereja, lembaga swadaya lingkungan hidup, Sima Swatantra, dan beberapa kelompok pemuda lain.

Mereka menyatakan penolakan atas rencana penambangan emas SMN. Mereka meyakini penambangan hanya akan merusak lingkungan Trenggalek.

Apalagi, dari 12. 833, 57 hektar izin produksi, sebagian di hutan lindung dan dan kawasan ekosistem karst.

“Tidak ada untung buat kami. Tambang emas itu hanya akan menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat, masyarakat kecil di Trenggalek. Kami menolak ini untuk diteruskan karena lebih besar mafsadah-nya daripada manfaatnya,” kata M. Izzuddin Zakky atau Gus Zakky, selaku Ketua GP. Ansor Trenggalek.

Izin operasi produksi SMN berdasarkan pada surat keputusan Gubernur Jawa Timur tertanggal 24 Juni 2019 dengan masa 20 tahun. Ada sembilan kecamatan bakal terdampak, yakni, Tugu, Karangan, Suruh, Pule, Dongko, Gandusari, Munjungan, Kampak, dan Watulimo. Dengan total konsesi 12.833, 57 hektar, sekitar 10% luas wilayah Trenggalek yang mencapai 120.000 hektar.

Merujuk dokumen perencanaan yang Mongabay peroleh, tahun ini, perusahaan dengan mayoritas saham perusahaan asal Australia ini fokus pengerjaan pada dua lokasi prospek, yakni Sentul dan Buluroto, di Desa Karangrejo dan Ngadimulyo, Kecamatan Kampak.

Total lahan akan tereksploitasi tahap pertama ini 357, 79 hektar, dengan 101,5 hektar untuk pembangunan fasilitas. Rinciannya, bukaan tambang di Pit South Buluroto (1,6 hektar), Pit West Sentul (5, 74 hektar), Pit East Sentul (3, 11 hektar) dengan lokasi penimbunan batuan penutup dan tanah pucuk 23, 77 hektar.

Kemudian, jalan tambang 14 hektar, jalan akses enak hektar, tailing dam 11, 5 hektar, dam air 18, 76 hektar, gudang bahan peledak dua hektar, dan gudang bahan bakar satu hektar. Kemudian, kantor administrasi dan operasi 2,9 hektar, pabrik pengolahan mineral 5, 4 hektar dan sejumlah fasilitas lain.

 

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, biasa disapa Gus Ipin, juga menolak tambang emas di wilayahnya. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Bupati tolak tambang

Penerbitan izin operasi produksi SMN itu menuai resistensi di kalangan masyarakat. Bupati Nur Arifin ikut mendukung penolakan itu. Dia akan berkirim surat resmi ke Pemerintah Jatim meminta kaji ulang izin.

Dia bilang, ada beberapa alasan hingga sepakat SMN tak lanjut, yakni, konsesi bertabrakan dengan status kewilayahan, juga proses penerbitan izin sarat kejanggalan.

“Banyak bersinggungan dengan wilayah lindung. Ada hutan lindung, ada juga kawasan karst. Saya merasa ada semacam jumping (dilewati) terkait prosedur penerbitan izin SMN,” katanya.

Pada prinsipnya mereka menyambut baik investasi ke wilayahnya tetapi kalau berpotensi merusak dan mengancam kelestarian lingkungan tentu tak segan menolak.

Dalam konteks rencana tambang emas SMN, katanya, ada sejumlah regulasi yang ditabrak, seperti area pertambangan bersinggungan langsung dengan permukiman penduduk dan hutan lindung.

“Ini tidak sesuai kebijakan daerah terkait perlindungan kawasan karst. Sebelumnya kami juga memasukkan kawasan itu ke dalam rencana tata ruang wilayah sebagai upaya perlindungan,” kata Nur Arifin.

Dalam perda yang dalam tahap evaluasi gubernur itu, total wilayah masuk ekosistem karst sekitar 53.000 hektar dengan kawasan lindung karst 4.000 hektar.

Secara prosedural, katanya, penerbitan izin produksi itu juga cacat lantaran tidak transparan. Dari beberapa lokasi yang masuk konsesi, sebelumnya banyak ditentang warga seperti di Dukuh, Kecamatan Watulimo, atau Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko.

Di dua lokasi itu, katanya, eksplorasi tak pernah tuntas. Kalau kemudian mereka masuk peta konsesi, dia merasa aneh. “Saat eksplorasi nggak tuntas kok tiba-tiba masuk peta produksi. Ini aneh. Janggal menurut saya.”

Warga pun menolak terutama mereka dengan wilayah masuk peta konsesi. Blok Sentul, Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, salah satunya. Lokasi ini titik pertama akan ditambang.

Bani, tokoh masyarakat desa menolak rencana penambangan emas SMN. Dia khawatir, penambangan mematikan sumber-sumber air sekitar. “Apalagi, lokasi kan di hutan. Dekat dengan permukiman warga pula,” kata lelaki anggota Badan Perwarkilan Desa (BPD) ini.

Kehadiran tambang justru lebih banyak menghadirkan mudarat ketimbang manfaat. Sumber-sumber air terancam, juga bisa menghilangkan sumber pencarian warga dari perkebunan.

 

Baca juga: Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan

Kawasan Pantai Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek dipotret dari ketinggian. Warga dari petani, nelayan dan berbagai kalangan khawatir rencana penambangan oleh PT. SMN akan berdampak pada ekosistem . Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Hidup dari bertani

Masyarakat di sana banyak mengandalkan hidup dari pertanian maupun perkebunan. Mereka bertani atau berkebun beragam dari kopi, cengkih, manggis, sampai tanaman rempah, kapulaga dan lain-lain. Sebagian warga juga nelayan.

Rahmah, petani yang mengandalkan pendapatan dari menanam kepulaga di lahan milik Perhutani. Harga kapulaga sampai Rp35.000-Rp50.000 per kg. Dari bertani ini cukup menghidupi keluarganya. Dia tak mau ada tambang.

Purwadi, Kepala Desa Karangrejo, mengakui peningkatan penolakan warga paska terbit IUP operasi produksi SMN. Dia tak dalam posisi mendukung atau menolak rencana eksploitasi emas itu. Dia semata mengikuti kehendak masyarakat bawah.

“Kalau masyarakat mendukung, saya ikut. Kalau tidak menghendaki, ya kami tolak.”

Purwadi mengklaim, dari beberapakali sosialisasi, sebagian besar mayarakat Karangrejo mendukung penambangan. Dia bilang tambang bisa membuka lapangan pekerjaan dan menggerakkan ekonomi desa.

Dia bilang, pada masa eksplorasi sebagian warga mereka beruntung dengan ikut terlibat seperti jadi penjaga alat berat atau yang lain.

Sukadi, warga yang pernah ikut jaga alat saat eksplorasi mengatakan, hampir tiga bulan menjaga alat-alat berat dengan upah Rp100.000 kalau siang hari, Rp150.000 saat malam.

Kendati demikian, hati kecil Sukadi tetap berkeberatan bila hutan-hutan di sekitar ditebang jadi penambangan emas. Dia khawatir, kegiatan itu berdampak lebih besar seperti longsor dan banjir. Terlebih, wilayah sana tercatat sebagai daerah rawan bencana.

Kekhawatiran Sukadi cukup masuk akal. Berdasar kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan, Kecamatan Kampak, lokasi tapak galian pertama, memiliki topografi cukup curam dengan kemiringan sampai 40%. Sebagian wilayah berupa lereng pegunungan seperti Ngadimulyo, Karangrejo, Bogoran, hingga Timahan.

 

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

 

Data BPS, kecamatan ini dilewati sembilan aliran sungai, yakni Kali Ngerit, Jurang, Ngelo, Tambak, Pesu, Tulang, Kampak, Duren Lulang dan Kali Tawing. Tawing merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Kampak. Sungai yang berhulu di sekitar Ngadimulyo ini ini memiliki panjang sembilan kilometer, bagian DAS Ngrowo yang bermuara di Samudera Hindia.

Dengan topografi 428 meter di atas permukaan laut, Ngadimulyo masuk dalam peta rawan bencana. Banjir besar pernah terjadi pada 2016 karena luapan Kali Tawing dengan sembilan desa sepanjang DAS terendam air bah.

Warga juga khawatir kehadiran tambang emas justru membuat kehidupan warga tak lagi harmoni. Hidup dalam pusaran konflik antara pro tambang. “Dimana-mana pasti ada konflik itu. Baik antara warga dengan perusahaan, atau warga dengan warga sendiri,” kata Marvin, petani Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo.

Dia termasuk petani yang getol menolak rencana penambangan emas SMN. Kebetulan, Desa Dukuh termasuk sembilan lokasi prospek SMN. Saat proses eksplorasi, dia dan warga menolak mentah-mentah dan mengusir alat berat perusahaan.

Marvin dan sebagian warga besar warga menolak rencana penambangan SMN karena selain berpotensi melahirkan konflik baru di Trenggalek, juga akan menimbulkan kesengsaraan kepada warga. Mereka bisa kehilangan lahan pertanian.

Mereka sudah tenang dengan hidup saat ini. Penghasilan dari cengkih, kopi, dan ragam produk perkebunan lain cukup memenuhi keperluan hidup.

Marvin punya 30 pohon manggis dengan rata-rata produksi sampai satu kuintal setiap pohon saban tahun. Dengan harga Rp10.000 perkg, dalam setahun, dari manggis saja bisa hasilkan sekitar Rp30 juta.

Belum dari kapulaga, jual basah Rp35.000-Rp50.000 perkg. Data BPS, produktivitas petani kapulaga 10-11 ton per hektar.

“Masyarakat kami, rata-rata petani. Mereka sudah merasa cukup dari bertani. Kalau lahan ditambang, mereka hidup dari apa?”

Marvin juga khawatir, pertambangan SMN merusak potensi alam. Berdasar data BPS, secara topografi, Desa Dukuh berada pada posisi tertinggi dibanding daerah lain. Bahkan, seluruh wilayah desa ini berupa pegunungan.

Dengan ketinggian 451-573 mdpl, desa ini dialiri dua sungai yakni Kuning dan Karangtuwo. Keduanya terhubung ke sungai besar sebelum bermuara di Pantai Prigi, Kecamatan Watulimo.

Desa ini seluas sekitar 157 Km persegi atau 522 hektar dengan penduduk sekitar 4.370 jiwa, mayoritas sebagai petani.

Merujuk data BPS Trengalek, Watulimo memiliki kawasan hutan cukup luas, 7.895 jektar hutan negara, 4.040 hektar perkebunan dan tegalan, dan 1.319 hektar hutan rakyat.

Produksi pertanian desa ini, kelapa 1.390 ton, cengkih 81 ton (kering), kopi 56, 15 ton per tahun.

Sebagian warga menjadi nelayan. Mereka juga ikut menolak. Mahmud, sekretaris nakhoda perahu di Pelabuhan Prigi menolak rencana penambangan. Dia khawatir, tambang mengontaminasi perairan laut.

“Kami paham betul bagaimana pengoperasian tambang emas itu. Itu nggak ada untung bagi kami,” katanya pertengahan Maret lalu.

 

Kawasan hutan di Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek yang masuk dalam peta izin produksi PT. SMN. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selain merusak lingkungan, tambang akan menimbulkan ancaman pencemaran terlebih kalau ada kebocoran dari bahan kimia yang mereka pakai untuk proses emas.

Penolakan juga datang dari kelompok pegiat lingkungan Trenggalek, Sima Swatantra Indonesia (SSI), Papang Wida Kristian. Wida, sapaannya mengatakan, penerbitan izin produksi tambang emas berlawanan dengan status lahan sebagai kawasan karst.

Sebagai kawasan esensial yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam, katanya, tidak layak pemerintah mengeluarkan izin produksi bagi SMN. Merujuk dokumen perencanaan perusahaan, kegiatan penambangan dengan cara open pit (lubang terbuka).

 

 

DPRD abu-abu?

Di tengah deras arus penolakan termasuk oleh Bupati Trenggalek, sikap abu-abu justru datang dari wakil rakyat.

Pranoto, Ketua Komisi II DPRD Trenggalek, diwawancari seusai rapat dengar pendapat terkait pertambangan justru menyebut bila izin produksi SMN masih sebatas isu.

“Sampai saat ini kami belum menerima suratnya. Belum dapat tembusan. Kami belum tahu. Sementara ini ya itu masih sebatas isu,” katanya. Jawaban sama dia lontarkan saat Mongabay menunjukkan izin operasi SMN yang dipublikasikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Surat itu kan Anda yang pegang. Kami belum terima, jadi masih isu. Kami tidak mau berandai-andai.” (Bersambung)

 

 

****

Foto utama:Persawahan di Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek dengan latar belakang pegunungan. Desa ini menjadi lokasi pertama yang akan ditambang. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version