Mongabay.co.id

Film Pulau Plastik, Pembuktian Dampak Plastik Sesungguhnya

 

Jika sudah pernah menonton serial dokumenter Pulau Plastik yang ditayangkan bak layar tancap di Bali sebelum pandemi COVID-19, apa hal baru yang ditawarkan film versi bioskop berjudul sama ini?

Film Pulau Plastik mulai tayang di bioskop memanfaatkan momentum peringatan Hari Bumi pada 22 April 2021. Premier atau penayangan perdana di Denpasar, dan akan berlanjut sampai 25 April. Sedangkan di kota lain mulai ditayangkan 26 April, misalnya di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung, dan lainnya secara terbatas.

Sejumlah kota itu adalah sebagian dari kota-kota yang dilalui truk sampah yang ditumpangi Gede Robi yang melakukan perjalanan menemukan fakta-fakta sampah plastik dari rumahnya di Ubud, Bali sampai mengikuti Pawai Bebas Plastik pada Juli 2019 lalu di Jakarta.

Apa saja fakta yang terungkap di film ini?

Salah satunya adalah adegan pembuka dan penutup yang akan menjawab apakah kantong plastik yang mengklaim ramah lingkungan bisa terurai selama enam bulan dalam laut?

Hal lain adalah, benarkah manusia sudah terpapar mikroplastik, remahan plastik yang harus dicek dengan mikroskop ini? Salah satu sampel dari 100 kotoran manusia yang diteliti adalah milik Robi sendiri.

baca : Menggugah Perubahan Perilaku dengan Serial Pulau Plastik

 

Salah satu syuting serial episode perdana. Foto: arsip Pulau Plastik/Mongabay Indonesia

 

Vokalis band Navicula itu berpetualang bersama truk berisi tumpukan kantong sampah hasil pungut di beberapa kota tak sendiri. Selain bersama sopir yang terpapar soal misi sampah plastik, ada dua bintang lainnya yakni Prigi Arisandi dan Tiza Mafira. Dua aktivis lingkungan dengan gaya kampanyenya masing-masing.

Dengan gaya santai dan celetukan spontan, Prigi memberi warna film ini. Dimulai ketika ia orasi dengan berani tapi santai di depan kantor perwakilan Amerika Serikat di Surabaya untuk menolak impor sampah kertas berisi plastik.

Prigi, pendiri Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) ini mendapat penghargaan prestisius bidang lingkungan Goldman Prize 2011. Ia konsisten mengadvokasi sungai, tempat main masa kecilnya yang berubah drastis dari indah menjadi beracun karena limbah domestik dan industri. Sejumlah kampanye Ecoton yang populer adalah selamatkan sungai di Surabaya dari limbah daur ulang pabrik, popok, dan WC umum.

Markas Ecoton menjadi perjumpaan Robi untuk menelusuri dan membuktikan kontaminasi mikroplastik pada ikan, tambak garam, dan tubuh manusia.

Film ini juga berganti adegan ke sosok Tiza Mafira yang terkenal dengan komunitasnya, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Misalnya dengan strategi rampok kresek di tempat umum. Ia menawarkan kantong kain untuk mengambik kresek yang dibawa warga.

Film ini membawa pesan sederhana, berusaha menggedor kesadaran akan bahaya plastik sekali pakai. Sutradara film ini, Dandhy D. Laksono dan Rahung Nasution, tidak membawa ramuan film dokumenter mereka biasanya. Misalnya lantang menyebut nama-nama pejabat atau pengusaha yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan.

baca juga : Empat Serial Pulau Plastik Dirilis di Sungai Badung

 

Poster film Pulau Plastik di antara film lain di Level21 Denpasar, ditayangkan terbatas di sejumlah kota di Denpasar, pulau Jawa, Makassar, dan Palembang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari serial jadi film

Pulau Plastik dikerjakan tim cukup besar karena melibatkan banyak pihak. Awalnya diniatkan sebagai kampanye kolaboratif dalam menangani isu plastik sekali pakai di Bali dan sekitarnya. Kolaborasi Kopernik, Watchdoc, Akarumput, dan dukungan sponsor lainnya.

Kemudian diadopsi Visinema Pictures, dan film versi bioskop ini berubah menjadi kampanye nasional dengan perjalanan lintas Pulau Bali-Jawa serta penyampaian data-data nasional serta global terkait ancaman sampah plastik. Visinema telah memproduksi 13 film layar lebar, di antaranya Cahaya Dari Timur Beta Maluku, Filosofi Kopi, Surat Dari Praha, Keluarga Cemara, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, dan lainnya.

Film ini terasa ringan ditonton karena menggabungkan ide aktivisme dan musik. Ada beberapa cuplikan konser Navicula, band besutan Gede Robi di film ini dan lagu-lagu dangdut populer.

 

Road to Film Pulau Plastik

Tim film menghelat sejumlah diskusi publik di Bali untuk membuka diskusi terkait sampah plastik yang diisi para tokoh utama dan sutradaranya. Dimulai dari dialog bersama pembuat film, bazar tanpa plastik sekali pakai, dan konser Navicula di Kebon Vintage. Kemudian diskusi bertajuk Kebijakan VS Kebajikan: Implementasi Regulasi Pelarangan Plastik Sekali Pakai di Taman Baca Kesiman.

Dialog lain adalah tentang bisnis ramah bumi di Rumah Sanur dan merekam aksi ramah bumi di gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar.

Hingga 2020, terdapat dua provinsi dan 29 kabupaten dan kota yang telah menerapkan larangan kantong plastik di Indonesia. Pemerintah Indonesia dinilai berani menetapkan target pengurangan dan penanganan sampah yang terhitung ambisius, yaitu 30% pengurangan sampah dan 70% penanganan sampah.

Provinsi Bali melalui Peraturan Gubernur pada akhir 2018 mengesahkan regulasi untuk pelarangan beberapa jenis plastik sekali pakai seperti kantong belanja plastik, sedotan plastik, dan wadah styrofoam. Namun sayangnya, implementasi regulasi itu di beberapa daerah masih menjadi pekerjaan rumah. Beberapa penyebab adalah rendahnya tingkat kesadaran warga dan produsen, belum tersedianya infrastruktur yang memadai seperti pengangkutan sampah, serta penegakan hukum.

Gede Robi membuka diskusi dengan makin masifnya sampah plastik selama pandemi walau pergerakan manusia lebih terbatas. Salah satunya sampah dari belanja online yang dikemas dengan banyak plastik sekali pakai. Sementara kemampuan mengolah dan menangani sampah plastik sangat terbatas.

“Apa yang akan kita hadapi, penimbunan sampah, TPA sudah tidak muat, adakah yang mau di dekat rumahnya jadi TPA?” tanyanya.

baca juga : Cara Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen

 

Serial menjadi film setelah diadopsi Visinema Pictures untuk menjadi bagian dari sedikit dokumenter Indonesia yang tayang di bioskop. Foto: arsip Pulau Plastik

 

Wacana daur ulang sebagai solusi penanganan sampah menurutnya tidak mungkin karena sedikit sampah plastik yang bisa didaur ulang. Apakah warga mau mengelola sampahnya sendiri? Hal yang realistis menurutnya adalah pengurangan produksi sampah dengan cara sederhana. Misalnya menolak sedotan, kantong kresek saat belanja, dan memilah sampah. Cara Robi lainnya adalah membuat film dokumenter Pulau Plastik ini.

Di sisi lain, ia mengakui kebijakan progresif masih lemah diimpelementasikan. Karena itu, ia berharap untuk mencegah dampak lebih besar, warga ikut mengurangi produksi sampahnya. “Itikad bagus, penegakan tak serius. Suarakan terus, harus masyarakat dan desa adat yang anggap serius,” ajak Robi.

Prigi Arisandi dari Ecoton mengatakan ada ketidakselarasan kebijakan dengan kondisi lapangan saat pemerintah Indonesia memberikan green line, istilah di bea cukai untuk memudahkan masuknya impor sampah kertas yang dibutuhkan industri daur ulang kertas di dalam negeri. Sayangnya, ia membuktikan dalam tumpukan impor limbah kertas ini, ada sampah plastik di dalamnya.

Penerapan UU tentang pengelolaan sampah menurutnya harus simultan dan selaras dengan kebijakan lain. Termasuk meminta tanggung jawab produsen untuk ikut menangani sampah dari kemasannya.

Warga juga menurutnya bisa menggugat negara atau industri seperti lima perempuan yang menggugat sejumlah perusahaan produsen yang kemasan produknya selalu mendominasi hasil brand audit setelah bersih-bersih di Sungai Brantas, Jawa Timur. “Saat ini proses kasasi, di tingkat pertama mereka kalah,” cerita Prigi.

Gugatan publik ini menurutnya penting untuk menunjukkan keseriusan warga selain mendorong anggaran pengelolaan sampah yang cukup dan kebijakan lainnya. “Kita perlu menabuh genderang agar mereka ikut menari,” Prigi menganalogikan gerakan advokasi ini.

Ia memaparkan, Indonesia masih lemah dalam penyiapan infrastruktur karena rata-rata baru 30-40% kota yang terlayani pengangkutan sampah, kecuali Surabaya sudah sekitar 80%. Akhirnya sampah terbuang sembarangan, terfragmentasi jadi mikroplastik, dan mencemari lingkungan dan manusia.

baca juga : Sampah Plastik Indonesia Nyasar sampai ke Pantai Phuket Thailand. Kok Bisa?

 

Salah satu fenomena tahunan, terdamparnya sampah laut ke pesisir di kawasan wisata selatan Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Chika dari Yayasan Bumi Sasmaya membagi pengalamannya mendampingi pengelolaan sampah di desa. Menurutnya warga lebih takut pada peraturan desa adat, karena itu keseriusan desa-desa menangani sampahnya sangat penting.

Windu dari Waterbom juga menyadari perlu waktu lama untuk mengubah kesadaran. Ia menyontohkan lima tahun untuk menerapkan prinsip pengelolaan sampah yang baik di unit kerjanya.

 

Riset-riset Sampah Plastik

Sejumlah peneliti yang memeriksa mikroplastik pada ikan, kotoran manusia, dioksin, dan lainnya menjadi bagian dari misi penelusuran film ini. Data-data jumlah sampah plastik, kresek, sedotan, dan lainnya.

Saat menonton film itu, bisa jadi pemirsa langsung mengutuk tabiat sendiri yang begitu mudah mengonsumsi plastik sekali pakai. Apakah bisa mengubah perilaku?

Pertanyaan ini akan bergelayut setiap saat. Apalagi ketika akses plastik sekali pakai begitu mudah dan sampah di rumah masih terangkut. Setidaknya tanda tanya itu sudah hadir untuk mengurangi musibah sampah plastik.

Seperti halnya ketiga tokoh film Pulau Plastik itu, Robi, Prigi dan Tiza yang gigih untuk memastikan masa depan lebih baik bagi anak-anak mereka. Generasi mendatang di bumi ini

 

Exit mobile version