Mongabay.co.id

Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

 

 

 

“Jika ada sawah, pasti ada jalan masuk,” begitu kata Basran Burhan, pada 2016. Ungkapan itu ketika dia bersama beberapa rekan mahasiswa arkeologi Unversitas Hasanuddin Makassar mengamati peta citra satelit yang menampilkan lembah kecil di tengah bentangan karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.

Lingkaran lembah itu sekitar tiga km persegi, atau seluas 17 hektar. Tempat itu bagai titik kecil dalam bentangan karst seluas 44.000 hektar. Itulah Kampung Biku, secara administratif masuk Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulsel.

Biku adalah kampung terisolir. Menjangkaunya perlu perjalanan dengan fisik baik. Kalau memulai melalui Kampung Bontoa di Pangkep, berjalan kaki sekitar dua jam. Kalau melalui Bungaeja, di Maros, jarak tempuh berkurang, sekitar 1,5 jam.

Pada, 19 April 2021, saya dan Basran memutuskan mengunjungi Kampung Biku dari Bungaeja. Saat melintasi sungai, perjalanan menanjak dan curam. Alas sepatu menempel di permukaan batuan karst yang runcing.

Perjalanan dengan hati-hati. Keringat mulai mengucur, napas mulai pendek-pendek dan degup jantung makin cepat. Kami beristirahat di pinggiran tebing.

Perjalanan ini, rasanya makin berat karena pada bulan puasa. Saya begitu semangat melihat Biku. Di sana ada lukisan agung yang tersembunyi di salah satu guanya, Leang Tedongnge, namanya.

Gua itu terletak di kaki tebing karts. Perlahan menjejak dan mempersiapkan diri hendak menyaksikan lukisan yang berusia 45.500 tahun lalu.

Pelan-pelan kami berjalan melewati pilar gua yang masih hidup dengan air menetes. Basran, menengadah hingga kepala sedikit mendongak. Cahaya lampu dari senter kepala menerangi sebuah lukisan di dinding gua, tepat di depan kami. Lukisan babi dengan dua ornamen telapak tangan di bagian atas punggung belakang. Gambar yang sungguh menakjubkan, dengan dominasi warna merah terang dan pekat.

Baca juga: Seni Ukir Purba dari Karst Maros

Lembah Biku. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Inilah lukisan babi purba itu–kemudian para arkeolog mengidentifikasi sebagai Sus celebensis–babi liar Sulawesi yang masih hidup hingga kini. Dalam gambar, babi itu ditampilkan tak bergerak dengan punggung hingga kepala berwarna merah terang, dibanding badan lukisan yang lebih pekat (merah tua).

Lukisan itu panjang 136 cm, tinggi 54 cm. Panel dinding tempat lukisan itu tepat berhadapan langsung ke mulut gua. Ketika senter kepala mati, cahaya masih menembus hingga lukisan. Tanpa bantuan penerangan, di masa lalu para pembuat lukisan mampu melakukannya.

Saat mendekati panel lukisan itu, ada banyak sisa-sisa pewarna yang tertempel di berbagai tempat. Kemungkinan panel ini dulu banyak lukisan.

“Ini lukisan semua. Itu jelas. Cuman kan sudah terkelupas. Jadi yang selamat dan utuh hanya ada satu, itupun sudah sangat baik,” kata Basran.

Saat makin mendekat di lukisan babi yang utuh, saya menemukan banyak bercak putih. Bercak, yang begitu menakutkan karena pelan-pelan dan entah berapa lama, panel itu akan terkelupas dan menghilangkan lukisan. “Kita belum tahu bagaimana menghentikan pengelupasan itu,” kata Basran.

Basran adalah kandidat doktor bidang arkeologi di Universitas Griffith Australia. Sejak kuliah dia jatuh cinta pada kajian lukisan gua. “Melukis adalah ledakan pengetahuan. Para pembuatnya butuh kemapanan pengetahuan yang baik.”

“Kenapa mereka membuat gambar telapak tangan, menggambar hewan, atau membuat goresan? Kita dihadapkan pada teka teki yang agung. Ini soal identitas manusia,” katanya.

Sejak 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, memonitoring laju kerusakan lukisan gua di beberapa titik. Dalam dua tahun ini, saya ikut menyaksikan bagaimana tim bekerja. Mereka mengukur kelembaban suhu, merekam perubahaan lukisan, hingga mengambil sampel air.

“Selama ini, kita tahu ada kerusakan pada lukisan gua. Selama ini pula kita masih terus menduga, apakah kerusakan terjadi karena debu, getaran, atau perubahaan suhu ruangan. Tidak ada yang pasti,” kata Rustan, arkeolog BPCB Sulawesi Selatan.

Untuk itu, katanya, monitoring terus menerus tanpa putus, minimal lima tahun guna memberikan informasi awal. “Saat ini belum bisa berbicara banyak. Ada gua dengan mulut teduh karena banyak pohon, terlindung dari debu, kerusakan lukisan juga tinggi. Ada gua terbuka, tapi kerusakan kecil,” katanya, seraya bilang tak ingin berspekulasi mengenai kerusakan jadi lakukan monitoring.

Baca juga: Pesona Karst Sangkulirang, dari Biota Unik sampai Cap Tangan Purba

Mulut Leang Tedongnge, di Kampung Biku. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Homo Sapiens awal di Sulawesi

Siang yang menyengat Senin itu, kami duduk di sebuah batu di mulut Leang Tedongnge. Kami istirahat sejenak setelah beberapa melihat dan mengamati panel lukisan tertua di dunia.

Apa arti temuan lukisan tertua ini bagi Basran? “Ini bukan soal tua atau tidak. Ini tentang bagaimana manusia masa lalu yang menghuni gua ini melakukannya. Ini menunjukkan, secara pengetahuan mereka sudah berkembang,” katanya.

Bagi dia, temuan lukisan dengan usia hingga 40.000 tahun itu, menjelaskan bagaimana gelombang kedatangan awal Homo Sapiens di Sulawesi. “Jika lihat dari karakter lukisan, ada dua model.”

Pertama, dominan menggunakan merah. Semua warna itu dari bahan mineral Hematit Ironstone atau oker. Oker ini adalah tanah yang ditambang dan sengaja untuk membuat lukisan. Para pembuat akan melakukan penambangan kecil, menemukan dan mengenali kualitas oker yang sesuai. Tidak semua dapat oker bisa jadi bahan baku lukisan.

Setelah itu, para pembuat akan menghaluskan–bisa dengan menumbuk. Kemudian, oker campur dengan cairan pengencer yang mungkin juga sebagai perekat.

Prosesnya, membutuhkan waktu termasuk mempersiapkan bahan dan menggambar. “Jadi, jika ada yang bilang, mereka hanya iseng melakukan kegiatan itu, saya kira itu lemah,” kata Basran.

Kedua, posisi gua tempat lukisan, berada di ketinggian. Jadi ini soal penempatan lukisan. Dia bilang, tak ada yang menjamin, lukisan di plafon-plafon gua yang tinggi untuk ritual–atau yang berhubungan dengan magis. “Khusus di Sulawesi, kita tak menemukan. Tidak ada tradisi itu yang berkembang. Di Afrika, saya pernah dengar ada gua untuk spiritual dan sampai sekarang diaksanakan. Saya kira itu ada buktinya.”

Beberapa peneliti terdahulu menganggap, gua dengan lukisan terletak di ketinggian biasa dianggap situs untuk ritual. Baginya, untuk kasus Maros-Pangkep, belum terbukti.

Meskipun di Australia, katanya, ada gua untuk kegiatan ritual hingga kini oleh Suku Aborigin. Meskipun begitu, katanya, tidak ada hubungan dengan posisi gua di ketinggian atau di dasar tebing.

Siapa sebenarnya penggambar lukisan gua ini? Dia yakin, si pembuat gambar yang sedang kami pandangi adalah Homo Sapiens awal, yang mejejakkan kaki di wilayah ini.

 

Gambaran babi kutil di Leang Tedongnge, di Kampung Biku. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Meskipun begitu Basran tak menjawab gegabah. Dia membagi periode babakan gelombang, dari karakter lukisan gua.

Periode awal, perpindahan itu mulai antara 50.000-20.000 tahun lalu. Periode kedua, antara 18.000-10.000 -an tahun lalu–meskipun pembuktian belum ditemukan di Sulawesi. Gelombang inilah yang dikenal dengan sebutan manusia pemburu dan peramu. Mereka belum mengenal teknologi bercocok tanam, seperti yang dikenalkan masyarakat rumpun bahasa austronesia (antara 5.000-4.000 tahun lalu).

Sejarawan alam, Jared Diamond dalam Guns, Germs & Steel dalam “Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia,” menuliskan, para pembuat lukisan gua ini adalah manusia Cro-Magnon untuk menyebutkan manusia modern di Eropa.

Periode ini kemudian disebut sebagai lompatan besar ke depan, yang mulai sekitar 50.000 tahun lalu. Manusia yang disebut sebagai Cro-Magnon ini telah membuat perkakas batu dan tulang, membuat panah, menemukan tali, hingga pelontar. “Diantara produk-produk Cro-Magnon yang bertahan sampai sekarang, paling dikenal adalah karya seni mereka lukisan gua yang mengesankan, patung dan alat musik,” tulis Diamond.

Diamond mencontohkan, lukisan kuda dan banteng yang sebesar aslinya di Gua Lascaux, Perancis. Dia memberikan pertanyaan yang mengesankan, apakah lompatan ini terjadi di daerah tertentu atau peristiwa itu terjadi secara bersamaan di beberapa kawasan?

Di sinilah, saya dan Basran, di Leang Tedongnge, memandangi lukisan babi kutil di langit gua. Kaki belakang, yang ditumbuhi benjolan kecil dari proses karstifikasi yang dikenal dengan istilah popcorn (karena bentuk menyerupai biji jagung) telah dicungkil dan jadi spesimen untuk menentukan petanggalan menggunakan uranium series.

Hasilnya, usia minimum mencapai 45.500 tahun lalu. Periode sama ketika ledakan pengetahuan ini terjadi di Eropa atau belahan bumi lain.

 

Gambaran lain babi kutil di Leang Tedongnge, di Kampung Biku. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Teknik gambar tertua

Di panel sama, ada lukisan babi lain. Babi itu dengan dua kepala seolah bergerak. Dua gambar dalam satu frame. Gambar babi yang berwarna merah terang seperti sedang menunduk dan bulu pada bagian kepala berdiri.

Lukisan  selanjutnya berwarna merah tua, menghadap tegak lurus ke depan dengan mulut sedikit menganga.

Gambar yang seolah bergerak itu berhadapan dengan satu individu statis. Bagian tubuh sudah terkelupas dan bagian pundak hingga kepala masih terlihat. Di bawah dagu, menggelantung penanda kecil seperti bulu.

Kalau melihat sepintas, seperti kaki kecil yang tumbuh di bawah dagu. “Oh, itu bukan kaki. Itu memang ciri khas babi liar. Ada banyak bulu, bahkan punya jambul sedikit,” kata Basran.

Sus celebensis, atau babi liar Sulawesi, biasa pula disebut babi kutil. Antara telinga dan mata ada tonjolan, hingga menyerupai kutil. Gambar-gambar babi di beberapa gua di Maros-Pangkep, memperlihatkan anatomi itu. Babi Sulawesi, adalah babi kecil dengan bobot antara 40-85 kg.

Lukisan  dalam panel di Leang Tedongnge, setidaknya menampilkan episode interaksi sosial antara tiga, dan mungkin empat individu babi. Di bagian bawah panel lukisan utama, masih ada beberapa bekas lukisan tak utuh. Beberapa potongan lukisan cap tangan, atau garis semburat sudah tak dapat dikenali.

Gambar-gambar mamalia fauna di gua prasejarah pada umumnya, berkarakter sama. Bagian tubuh seperti terarsir tanpa detil memperlihatkan individu itu jantan atau betina. Kecuali gambar Anoa di Gua Uhallie, Bonto Cani, Kabupaten Bone, yang memperlihatkan jelas masing-masing individu dengan puting susu dan ataupun penis.

 

 

****

Foto utama: Lukisan babi  kutil Sulawesi, saling berhadapan di Leang Tedongnge, di Kampung Biku. Lukisan ini diperkirakan berusia minimun 45.500 ribu tahun.  Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version