Mongabay.co.id

Lahan di Sumenep Terkapling-kapling dari Tambak Udang sampai Tambang Fosfat

 

 

 

 

Pantai Lombang, Sumenep, Madura, sempat jadi primadona. Sayangnya, kini tidak lagi ramai. Bukan hanya karena pandemi, tetapi air tak lagi jernih, udara tak lagi segar. Limbah tambak udang mengalir begitu saja di bibir pantai, kadang menimbulkan bau tak sedap.

Rofiqi, warga Desa Legung Barat, mengingat masa kecil kala bermain di pantai bersama teman-temannya. Jajaran cemara udang menambah indah suasa pantai. Dulu, pemandangan indah dan air bersih serta tak ada bau tak sedap.

Sejak ada banyak tambak udang di bibir pantai, bahkan tepat di tempat wisata Pantai Lombang, kini dia berpikir dua kali untuk pergi ke pantai berpasir putih itu.

Bahkan, dia dan temannya pernah saling tuduh siapa yang kentut saat berada di sana karena tiba-tiba tercium bau menyengat. Bau menyengat sudah tercium sejak masuk pintu gerbang menuju tempat wisata.

Dulu, kata Rofiqi, akses menuju ke sana kurang baik namun terbayar ketika sampai ke bibir pantai; air nan jernih. Angin sayup-sayup, dan lambaian cemara yang asri.

Dia tidak ingin Pantai Lombang yang jadi salah satu ikon Sumenep itu tercedarai oleh limbah tambak udang, air tercemar.

Nelayan sekitar Lombang yang biasa menangkap udang-udang kecil atau ikan-ikan kecil di pantai mengeluh karena area tangkapan mereka terganggu. Mereka juga khawatir kalau ke depan tidak bisa menangkap ikan lagi.

“Jadi, mereka terganggu dengan ada tambak. Tambak itu merusak perekonomian warga sekitar. Itu jelas,” katanya, belum lama ini.

Tambak-tambak itu ada yang milik perusahaan, ada pula punya perorangan.

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Sumenep 2019, ada tambak udang seluas 117.888 M2 (11, 87 hektar) di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang. Ada sekitar 108,2 hektar tambak udang di Sumenep, baik masih mengajukan izin atau sudah berizin.

A. Dardiri Zubairi, pegiat agraria dari Barisan Ajaga Tana Na’ Poto (Batan), mengatakan, penguasaan lahan di pesisir ini adalah teknik makan bubur, lahan dikuasai dari pinggir lalu merangsek ke tengah.

Menurut dia, masalah eksploitasi lahan ini mulai masif tatkala sudah pengesahan Peraturan Daerah Sumenep Nomor 12/2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sumenep 2013–2033.

Dalam perda itu, Pasal 36, ayat (4), huruf a, menyatakan, budidaya bandeng dan udang pada areal tambak dengan luas sekitar 1.723 hektar. Ia meliputi Kecamatan Kalianget, Saronggi, Gapura, Giligenting dan Dungkek.

Pada 2016, terjadi pembelian lahan besar-besaran oleh pengusaha dengan harga fantastis.

 

Bentang karst di Sumenep, Madura. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Pertambangan

Selain itu, di Sumenep juga ada rencana pertambangan, salah satu fosfat. Pemerintah Sumenep akan merevisi Perda RTRW, diajukan sejak 2018. Dia nilai, revisi tidak transparan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kata Dardiri, banjir mulai melanda Sumenep. Bencana ini, dia nilai ada hubungan dengan eksploitasi lahan berlebihan, seperti galian C di kawasan karts yang merupakan tempat menyimpan air.

Yayak Nur Wahyudi, Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Sumenep mengakui, dalam kasus tambak, pemerintah lemah pengawasan sejak izin operasional. Ke depan, katanya, mereka akan memformulasikan lebih baik lagi dalam revisi Perda RTRW.

Dia bilang, Raperda RTRW masih ada di Pemerintah Jawa Timur dengan target selesai Mei. Kemudian akan naik ke kementerian selama tiga bulan, baru balik ke DPRD Sumenep dan mulai pembahasan.

Yayak menepis anggapan revisi perda karena mau ada investor masuk tetapi membenarkan akan ada pemanfaatan fosfat. “Itu tidak benar sama sekali. Dalam forum ini saya sampaikan seperti itu,” katanya dalam Webinar “Sumenep di Tengah Deposit Fosfat” pada 10 Februari.

Namun, dalam draf revisi Perda RTRW itu, titik lokasi pertambangan fosfat akan ditambah dari delapan titik jadi 18 titik.

Soal batuan karst di Sumenep, terancam kalau ditambang, dia bilang ada cara atau desain mengatasi itu dengan membuatkan waduk. Waduk ini, katanya, sekaligus mengairi sawah. Di bagian waduk bisa didesain dengan mengambil karst bagian pinggir. Pada bagian tengah jadi waduk supaya bisa menangkap air hujan.

Penambahan area pertambangan ini, kata Yayak, supaya proses ekonomi bergerak, ada transaksi pasar di Sumenep.

“Jadi, tidak serta merta fokus kepada PAD (pendapatan asli daerah), tetapi bagaimana proses ekonomi bergerak, otomatis nanti di sisi PAD itu ada.”

Bagi Yayak, semua yang bisa menunjang proses tata kehidupan masyarakat harus coba tersaji di RTRW.

“Ini loh ada potensi, gimana cara mengelolanya, apa yang harus dilakukan ketika harus dikelola, di mana yang boleh, di mana yang tidak. Itulah yang kemudian, kita coba gambarkan lebih dengan review RTRW ini.”

Apa yang Yayak sebutkan cara eksploitasi karst dengan tetap ‘aman’ dengan bikin embung buat air mendapat respon dari ahli karst. “Embung itu bukan untuk menyimpan air tetapi untuk menampung air,” kata Petrasa Wacana, Koordinator Kampanye, Advokasi dan Konservasi Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI).

Dia bilang, secara teori memang benar air hujan nanti bisa tertampung di embung atau waduk,bila debit air melebihi batas embung, akan meluap dan berpotensi jadi bencana, seperti banjir.

Embung, katanya, hanya bisa menampung air, tidak bisa menyimpan air dalam tanah secara alami sebagaimana dalam batuan karst. Karst memiliki mata air permanen.

Kawasan karts, katanya, selalu terlihat kering, gersang, namun itu sebenarnya kuncinya. Epikarst—batuan seluas 5-30 meter di bagian atas batuan karst—berfungsi menyimpan jeda air di rekahan atau lekukan-lekukan batuan. Hal itu buat mengontrol proses karstifikasi, proses hidrologi. Yang perlu diperhatikan, kata Petrasa, adalah cadangan ekosistem dan air karst.

 

Pengerukan lahan di Desa Badur, Batuputih, buat dibangun tambak udang. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Bicara soal pertambangan fosfat, katanya, fosfat ini hasil kotoran-kotoran kelelawar. Goa banyak jadi hunian kelelawar. Secara ekologis, kelelawar berfungsi sebagai pengontrol hama dan serangga.

“Karena kelelawar itu bisa memakan tujuh kali melebihi tubuhnya .”

Bila terbang malam, kelelawar bisa makan serangga dalam jelajah 40 km. Selain sebagai pengontrol hama, kelelawar juga berfungsi membantu proses penyerbukan. Ia membawa biji-biji buah yang dimakan dan buang di mana-mana.

Dia heran juga kala negara lain mulai menutup tambang-tambang di kawasan karst, Indonesia, malah sebaliknya. Di Tiongkok, misal, mulai sudah tutup 726 pabrik semen sejak 2010 demi melindungi karst mereka dan menjaga pasokan air. Selain itu juga menekan pelepasan emisi.

 

 

Kawal RTRW

Irwan Hayat, anggota Komisi II DPRD Sumenep, mengatakan, dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan berjuang mengawal revisi Perda RTRW ini. Terutama, katanya, terkait pertambangan karena berhubungan erat dengan pertanian yang jadi fokus komisi ini. Irwan khawatir tambang bakal mengancam pertanian di Sumenep.

Pertambangan, katanya, selalu menyisakan masalah.“Kalau kita tetap berkomitmen pada prinsipnya setiap kebijakan itu harus memberikan kemaslahatan kepada masyarakat, publik secara utuh.”

Dia akan mengawal raperda ini. Dewan terbuka terhadap berbagai masukan dari masyarakat.

Nanti, katanya, tak hanya fokus pada persoalan tambang namun menyeluruh ke berbagai bidang lain seperti pada grand desain pemetaan kawasan seperti kawasan industri, pertanian, lindung, dan lain-lain.

Dia bilang, paradigma kebijakan pembangunan berbasis sumber daya alam selalu bersifat eksploitatif dan jangka pendek. Berbeda kalau berbasis sumber daya manusia, akan terjadi inovasi dan memaksimalkan daya pikir.

“PAD memang harus didapatkan, namun eksploitasi alam bukanlah cara satu-satunya. Aparat gunakan logika meningkatkan PAD selalu bicara eksplotasi alam, sebenarnya dia miskin referensi.”

Dia mempertanyakan, sesungguhnya tambang fosfat untuk siapa? “Berapa persen yang peruntukan untuk rakyat?” Dia yakin, laba lebih banyak masuk ke pengusaha.

 

Massa yang berkumpul saat istighasah kubro sekaligus menolak eksploitasi lahan. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Aksi warga

Zubairi Hasyim, Ketua Lakpesdam MWC Nahdlatul Ulama, Kecamatan Pragaan, mulai sosialisasi kepada masyarakat lewat perkumpulan-perkumpulan kecil tentang bahaya tambang bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

Perkara pertambangan, katanya, bukanlah perkara main-main karena menyangkut anak-cucu kelak.

Pada Oktober 2019, ada sekitar 1.000 nahdliyin aksi. Gerakan yang dinahkodai empat Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC-NU) ini dilaksanakan di Desa Badur, Kecamatan Batu Putih, bertajuk “Istoghasah Kubro.”

Mereka berdoa mengharapkan pertolongan sang pencipta di lokasi tambak udang yang tengah dibangun. Mereka sekaligus mendeklarasikan penolakan eksploitasi lahan jadi tambak udang dan ditandatangani empat cabang kepengurusan NU di Sumenep.

Hatim Al-Asham, Rais MWCNU Batuputih, mengimbau, masyarakat hati-hati dalam menjual tanah, meskipun diiming-imingi supaya bisa naik haji.

Dia mengingatkan, jual beli, seperti al-Qur’an dan celurit, sejatinya sah menurut hukum Islam tetapi kalau barang untuk mendatangkan kemudaratan bagi masyarakat, maka hukumnya haram.

Iskandar Dzulkarnain, Doktor Sosiologi Pedesaan Universitas Trunojoyo Madura (UTM), mengatakan, gerakan-gerakan agraria di Sumenep masuk ruang lingkup jaringan keagamaan.

Dia bilang, jika ada industri seperti tambang di Sumenep, akan terjadi jebakan agraria. Hal itu sudah terjadi di Pegaraman. Warga yang awalnya petani dan nelayan dipaksa jadi buruh, lambat laun keahlian mereka melaut dan bertani hilang.

Padahal, katanya, mereka tidak punya keahlian dalam industri itu jadi tak mungkin jadi tenaga ahli.

Tenaga ahli dari orang-orang luar daerah. Mereka ini, katanya, akan membuat komunitas baru di Sumenep. Karena mereka butuh makan, tempat tinggal, hiburan ala orang kota, masyarakat pedesaan akan jadi semi urban. Pedesaan tetapi karakter warga kota.

Berhubung mereka bukan penduduk asli, ketika alam rusak, industri pertambangan selesai, katanya, mereka tinggal kembali lagi ke daerah asal. Sedangkan penduduk lokal akan mendapatkan kerusakan dampak tambang. Mau garap pertanian pun sudah tidak bisa. Di saat itulah, masyarakat hanya tinggal menunggu kematian.

Belum lagi potensi konflik akan terjadi, sejak pembebasan lahan sampai pengoperasian tambang.

Biasa terjadi, katanya perampasan lahan, adu domba antar masyarakat, antar saudara, atau antar golongan, hanya demi memuluskan jalan pengusaha mengeksploitasi. Ketika konflik sudah terjadi, katanya, akan terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi.

“Pengambilan lahan itu tidak mengatasnamakan perusahaan tapi mengatasnamakan warga lokal.”

Untuk melawan ini, kata Iskandar, masyarakat harus satu suara dalam menolak pertambangan. Dia bilang, galakkan gerakan-gerakan kultural keagamaan, tidak mengharap sepenuhnya pada langkah politis praktis. Politik praktis, katanya, cenderung abu-abu dan cepat berubah.

 

Proses pembuatan tambak udang. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Daya rusak

Siti Maimunah, peneliti Sajogyo Institute mengatakan, pola-pola oligarki dalam mengeksploitasi lahan selalu sama di berbagai daerah. Ada elit yang bermain dari tingkat pusat sampai lokal, pebisnis yang merangkap sebagai politisi menetapkan kebijakan berimplikasi kepada rakyat. Mereka, katanya, hanya mementingkan kepentingan diri atau kelompok, mulai dari UU sampai RTRW pun bisa diubah.

“Skalanya Indonesia. Ini sudah kronis,” kata kandidat PhD di Universitas Passau, Jerman ini.

Untuk skala lebih ecil, kata Mai, para oligark melempar narasi ke masyarakat bahwa di daerah itu bila terbangun tambang akan ada deposit tinggi. Masyarakat pun mendapat suguhan fantasi kesejahteraan.

Padahal, katanya, banyak bukti bila sudah ada tambang, tanah maupun mereka terbongkar. Pada akhirnya, tanah mereka tidak balik, rusak, dan terjadi konflik sosial berkepanjangan karena masyarakat sengaja dipecah belah.

Dia bilang, ada level-level di mana pejabat publik mengambil keuntungan dari fantasi hidup sejahtera ini. Ada pula broker yang ingin mendapatkan keuntungan dalam konteks tanah.

“Jadi, lapis-lapis itu terjadi baik dalam skala kebijakan, skala nasional, skala provinsi, skala lokal, sesuai kapasitas masing-masing. Juga skala memecah belah rakyat dengan memberikan informasi tidak tepat.”

Masyarakat, katanya, harus aktif mendapatkan informasi tepat. Mereka bisa belajar dari daerah-daerah lain yang sudah rusak dan berkonflik sejak ada tambang.

“Jangan mau ditipu bayangan kesejahteraan akan ada tambang fosfat di situ.”

Imajinasi tentang tanah gersang yang sering disematkan pada lahan-lahan di Madura, kata Mai, harus dikoreksi. Air dan tanah, katanya, merupakan kebutuhan utama masyarakat. Pemerintah tanpa melakukan apapun, masyarakat sudah mendapatkan air.

Di bawah tanah gersang yang merupakan batuan karst itulah, katanya, air tersimpan. Meskipun terlihat gersang bagian atas tetapi bagian bawah berlangsung proses hidrologi.

“Bayangkan jika kebutuhan utama itu dibongkar? Pertambangan itu rakus air. “

Dia bilang, daya rusak karena tambang tidak bisa diprediksi, salah satu kerusakan ekosistem karst. Belum lagi, polusi udara, dan debu yang akan mengganggu sistem pernapasan manusia. “Ujung-ujungnya rakyat yang harus membayar ongkos kerusakan itu.”

Kerusakan alam, katanya, tidak bisa pulih kembali. Pembentukan sebuah kawasan fosfat perlu 1. 800 tahun. Dia contohkan tambang di Florida, Amerika Serikat, yang perlu setidaknya 100 tahun untuk menutup lubang dan menghilangkan racun supaya tidak sampai ke sumber air publik.

Itupun, katanya hasil evaluasi mereka setelah proses reklamasi selama 30 tahun, ditambah 100 untuk restorasi. “Tidak pernah ada tambang bisa me-recovery wilayah itu sebenarnya. Apakah Madura akan jadi korban lagi para elit yang memperlakukan tanah air sebagai alam murah?”

Kalau pertambangan masuk ke Madura, kata Mai, pertama, berarti menempatkan alam begitu murah. Karst yang tercipta ribuan tahun jadi komoditas dagang dan harus rusak karena RTRW.

Kedua, orang-orang Madura ikut agenda para elit pusat, atau penguasa yang meletakkan sumber daya alam, ruang hidup, untuk memenuhi ongkos politik. Ini model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, Madura akan membiarkan diperas oleh sistem politik yang oligarki, segala keputusan elit yang berkelindan antara politisi dan pebisnis.

Madura, kata Mai, harus meletakkan dalam konteks lokal juga global, seperti isu krisis iklim. Kalau Madura sudah krisis air karena tambang, maka berpotensi kena dampak perubahan iklim, misal banjir dan angin.

“Para pejabat itu, yang sekarang mau ngasih izin itu, mereka mau tidak [kalau] [di]suruh bertanggung jawab, misal, atau bahkan keturunannya suruh bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu di masa depan.”

 

 

*****

Foto utama: Kawasan karst yang sudah terksploitasi untuk galian C. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version