Mongabay.co.id

Mengulik Pengetahuan Pengobatan Tradisional di Segitiga Wallacea

 

Nusantara memiliki beragam khazanah budaya yang diwariskan turun temurun, termasuk dalam hal praktik pengobatan. Tradisi pengobatan yang dilakukan oleh seorang penyembuh yang oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan disebut sanro atau sando masih eksis hingga saat ini bersaing dengan pengobatan modern. Hal yang sama juga bisa ditemukan di daerah yang berada di sepanjang wilayah garis Wallacea di wilayah timur Indonesia.

Tanaman-tanaman yang dianggap memiliki khasiat tersendiri juga masih bertahan digunakan hingga saat ini, dan semakin dicari seiring dengan merebaknya pandemi COVID-19. Meskipun informasi terkait hal ini terkendala kebijakan global yang melarang penyebaran informasi di luar otoritas kesehatan nasional dan dunia.

Praktik pengobatan yang kerap disebut sebagai pengobatan tradisional ini dihimpun dalam buku berjudul ‘Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores hingga Teluk Cendrawasih’, yang ditulis dan terbitkan oleh Makassar Binealle, yang didukung oleh Goethe Institute.

Terdapat 15 kisah ditulis terkait praktik pengobatan tradisional di sejumlah daerah di Sulsel, NTT dan Papua. Ada cerita tentang tanaman Tina’ di Toraja yang biasa digunakan untuk persalinan, daun Naba Nure sebagai daun ‘pemanggil darah’ di Nabire. Lalu ada juga tentang daun Wituye sebagai obat penghilang letih yang biasa digunakan oleh masyarakat pesisir di Papua, serta beragam cerita lainnya.

Seluruh cerita ini ditulis dengan gaya naratif, mengisahkan bagaimana para penulis menyusuri hingga pelosok di mana praktik-praktik pengobatan tradisional beserta tanaman yang biasa digunakan.

baca : Wallacea Adalah Sepenggal Surga di Bumi

Editor buku Anwar Jimpe Rahman mengatakan kehadiran buku ini sebagai respons atas pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Anwar Jimpe Rahman, Direktur Makassar Biennale yang juga merupakan editor buku ini, lahirnya buku ini didasari oleh kegamangan terkait pada adanya monopoli definisi obat dan pengobatan oleh otoritas kesehatan modern, apalagi terkait pandemi COVID-19. Padahal masyarakat juga memiliki definisi tersendiri, pengetahuan yang diterima sebagai warisan turun temurun.

“Definisi obat hanya dimiliki oleh satu pihak, ini menurut saya tidak adil, sehingga buku ini untuk melawan definisi itu. Semoga tulisan-tulisan di buku ini bisa direspons oleh ilmu pengetahuan formal, karena yang informal sudah melakukan itu,” katanya dalam sebuah diskusi di Aula Prof. Syukur Abdullah Fisip Universitas Hasanuddin, Rabu (7/4/2021).

Menurut Anwar, siasat pengobatan tradisional ini, yang seluruhnya merupakan resep yang turun temurun digunakan oleh keluarga, menjadi jalan keluar untuk mengatasi masalah akses masyarakat ke pengobatan modern yang tak merata, tak terjangkau dan seringkali belum ditemukan obatnya, seperti halnya wabah corona yang terjadi saat ini.

“Jauh sebelum hadirnya metode pengobatan modern yang transaksional dan diselenggarakan negara, cara macam inilah yang tersedia dan diupayakan warga di sekitaran mereka, dengan mengandalkan tumbuhan yang ditanam sendiri atau mempercayakan kesembuhan ke sanro atau dukun,” katanya.

 

Budaya Asia Tenggara

Menurut Agussalim Burhanuddin, pakar Hubungan Internasional dari Unhas, pengobatan tradisional sudah berlangsung sudah sangat lama dan Asia Tenggara merupakan daerah yang memiliki khazanah dan kekayaan budaya yang sangat kaya dengan pengobatan tradisional.

“Kalau kita sekarang melihat bahwa pengobatan tradisional ini dipinggirkan dan disebut sebagai pengobatan alternatif, karena saat ini pengobatan didominasi oleh pengobatan medis ala barat atau farmakologi,” katanya.

Padahal, menurutnya, pengobatan tradisional ini juga adalah sains, karena dalam praktiknya memiliki metode dan evidence. Bedanya dengan pengobatan modern adalah karakter pengobatan ini yang mengedepankan pada keyakinan atau belief.

“Kau tidak akan sembuh kalau tidak percaya, sehingga instrumen belief ini menjadi satu bagian dan tidak ada di dunia medis. Ini ciri kuat pengobatan tradisional.”

baca juga : Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

 

Pengobatan menggunakan daun Naba Rure (Daun Waru) untuk mengeluarkan ‘darah kotor’ di Nabire Papua. Foto: Fauzan Al Ayyubi

 

Asia Tenggara memiliki kekayaan tentang pengobatan tradisional dinilai karena faktor alam, yang memiliki hutan hujan dan lautan yang luas.

Dicontohkan pada budaya nelayan pencari teripang yang dilakukan sejak abad ke-16, dimana nelayan-nelayan Bugis berlayar dari Arafura sampai ke Australia Utara yang disebut Marege’ untuk mencari teripang. Teripang ini tidak dimakan namun dijual ke pedagang China yang digunakan sebagai obat kuat.

“Ini menunjukkan bahwa pengetahuan itu ada pada waktu itu, lalu kemudian kekayaan hayati di darat juga memberi dukungan yang kuat pada kekayaan pengetahuan manusia di Asia Tengara tentang pengobatan tradisional.”

Praktik pengobatan tradisional ini sudah lama berlangsung, sejak ribuan tahun lalu, ketika manusia masih hidup secara nomaden atau berpindah-pindah, berburu dan meramu.

“Kata meramu ini memberi pengetahuan bahwa mereka mengumpulkan bahan-bahan sekitar. Sebelum manusia hidup sattle dan hidup secara agraris, mereka hidup dengan mengumpulkan makanan dari hutan, sungai dan sebagainya. Pengetahuan dan pengalaman ini membuat manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan sebuah sistem pengobatan, mereka tahu fungsi-fungsi tanaman untuk pengobatan.”

Ketika manusia menetap dan hidup sebagai masyarakat agraris, lanjutnya, pengetahuan ini tidak hilang dan bahkan malah bertambah, karena kemudian diketahui bahwa ternyata ada sejumlah tanaman yang bisa dibudidayakan.

“Bukan hanya diambil dari hutan namun ditumbuhkan, dimana manusia mendomestikasikan tanaman dan hewan, atau sebaliknya, seperti dikatakan Yuval Harari bahwa manusia yang didomestikasi oleh hewan dan tanaman.”

Pada masa setelahnya datanglah agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam yang kemudian menambah khazanah dalam pengetahuan tradisional, sehingga lahirlah penggabungan nilai-nilai dari yang sudah ada dengan nilai-nilai agama ini

“Maka lahirlah jampi-jampi, mantra-mantra dan sebagainya dengan menggunakan sistem yang sudah mereka impor, dalam hal ini terjadi proses sinkretisme.”

Masih bertahannya pengobatan tradisional ini di tengah masifnya pengobatan modern, menurut Agussalim, disebabkan oleh sejumlah alasan. Pertama, karena berbiaya murah, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.

Alasan kedua, alasan risiko, dimana pasien tidak berani mengambil risiko menggunakan pengobatan modern untuk penyakit yang berisiko tinggi, seperti sakit jantung yang harus ditangani menggunakan operasi bedah dan pemasangan cincin.

Alasan ketiga terkait kualitas hidup, dimana mereka tidak ingin menggunakan obat-obatan kimiawi, dan memilih obat-obatan berbahan organik atau herbal.

 “Pengobatan tradisional ini sebenarnya telah mendapat pengakuan WHO, dan bahkan pengetahuan dan teknik pengobatan tradisional ini sudah mengalami komersialisasi dan bahkan diekspor atau telah mengalami internasionalisasi.”

baca juga : Berkah Wallacea yang Belum Terpancar di Buano

 

Obat-obat tradisional diminati selain murah juga mudah diperoleh di dapur atau pekarangan rumah. Foto: Wilda Yanti Salam

 

Sumbangan bagi Pengetahuan

Menurut Tasrifin Tahara, antropolog dari Unhas, proses penulisan buku ini dalam antropologi disebut emik, tentang bagaimana peneliti mendengar, melihat dan mendokumentasikan apa-apa yang dilakukan masyarakat, komunitas-komunitas, terkait praktik pengobatan jenis-jenis penyakit tertentu.

Ia membandingkan penulisan buku ini seperti yang dilakukan oleh Kruyt (Albertus Christian Kruyt) tahun 1901 tentang masyarakat suku Padoe di Luwu Timur yang kemudian mendasari penemuan nikel di Soroako.

“Tulisan Kruyt yang awalnya hanya menulis etnografi tentang suku Padoe, akhirnya orang menemukan adanya nikel karena dalam narasinya dia menulis kejadian-kejadian alam dan respons manusia lingkungan diterjemahkan oleh orang geologi adanya potensi nikel di daerah tersebut.”

Sama halnya yang dilakukan Kruyt, Tasrifin menilai penulisan buku ini sebagai sebuah sumbangan pengetahuan dan pengalaman di lapangan berkenaan dengan respons masyarakat atau komunitas tertentu terhadap jenis-jenis penyakit dan bagaimana mereka memilih pranata-pranata yang berhubungan dengan pengobatan penyakit tertentu.

“Buku ini seperti puzzle, yang bisa menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain. Dari keilmuan farmasi misalnya, setelah mendapat informasi di buku ini bisa melakukan riset lanjutan terkait khasiat tanaman yang dimaksud,” katanya.

 

Exit mobile version