Mongabay.co.id

Timun Laut atau Teripang? Begini Sejarah dan Cara Membedakannya

Indukan teripang pasir (Holothuria scabra) yang diambil dari alam untuk penelitian oleh Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI di Lombok Barat, NTB. Foto : BBIL LIPI

 

 

Kita pasti sering mendengar nama teripang, hewan laut yang menjadi salah satu komoditas bernilai ekonomi tinggi. Banyak nelayan di Indonesia yang menjadikankannya sebagai sumber mata pencaharian.

Selain teripang, penamaan lainnya yang sering disematkan untuk satwa ini adalah timun laut. Namun apakah timun laut dan teripang adalah hewan yang sama?

Pradina Purwati dalam Jurnal Oseana 2005 berjudul “Teripang Indonesia: Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan” menjelaskan trepang diakui sebagai kosa kata Indonesia yaitu teripang, dan dipakai sejajar dengan beche-de-mer. Dua kata ini merupakan istilah yang paling populer di pasar internasional, walaupun Jepang dan China sebagai konsumen utama memiliki istilah sendiri: iriko dan hai-som.

Di Indonesia, teripang atau trepang tidak memiliki arti khusus, paling tidak belum pernah ada yang menjelaskan apa arti teripang. Lain halnya dengan istilah timun laut atau sea cucumbers yang menggambarkan ciri kelompok hewan yang dimaksud: berbentuk seperti timun dan hidup di laut.

Menurut dia, teripang merupakan anggota timun laut, namun tidak semua jenis timun laut merupakan teripang. Di jurnal-jurnal internasional, istilah trepang atau beche-de-mer tidak pernah dipakai dalam topik-topik keanekaragaman, biologi, ekologi maupun taksonomi.

Dalam subjek-subjek ini, terminologi yang dipakai untuk menggambarkan kelompok hewan ini adalah sea cucumbers atau holothurians [disebut holothurians karena hewan ini dimasukkan dalam kelas Holothuroidea].

“Sebaliknya, tulisan-tulisan yang topiknya perikanan dan perdagangan [komoditi], terminologi trepang atau beche-de-mer-lah yang digunakan. Di Indonesia, mestinya istilah teripang dipakai untuk menunjuk jenis-jenis timun laut yang diperdagangkan saja,” tulis Purwati.

Baca: Menjaga Populasi Teripang dengan Cara Budidaya

 

Indukan teripang pasir [Holothuria scabra] yang diambil dari alam untuk penelitian oleh Balai Bio Industri Laut [BBIL] LIPI di Lombok Barat, NTB. Foto: BBIL LIPI

 

Dalam buku Pedoman Umum Identifikasi dan Monitoring Populasi Teripang [Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, 2015] disebutkan bahwa di dunia terdapat lebih dari 1.400 spesies timun laut dan sekitar 66 spesies di antaranya adalah teripang atau yang masuk dalam perdagangan.

Di Indonesia terdapat 350 spesies timun laut dan 54 spesies di antaranya adalah kelompok teripang yang diperdagangkan. Namun dari 54 spesies itu, baru 33 spesies yang sudah divalidasi penamaannya secara taksonomi.

Agar memudahkan istilah teripang dan timun laut, dapat dijelaskan bahwa teripang adalah jenis-jenis timun laut yang komersil atau masuk dalam perdagangan lokal dan internasional. Penggunaannya lebih ke konsumsi dan farmasi.

Sementara untuk spesies timun laut di Indonesia termasuk teripang, paling banyak adalah ordo Aspidochirotida. Ciri umumnya, tubuh memanjang seperti mentimun, memiliki duri lunak di hampir seluruh permukaan tubuh. Di bagian anterior terdapat mulut yang dikelilingi tentakel berjumlah 10-30, sedangkan bagian posteriornya terdapat anus.

Selain itu tubuh teripang berdaging, berbentuk silindris memanjang seperti mentimun, dan gerakannya lambat. Warna teripang juga bervariasi tergantung pada jenis dan habitatnya, seperti hitam, abu-abu, kecokelat-cokelatan, kemerah-merahan, kekuning-kuningan, dan putih berbintik.

Untuk ukuran tubuh juga berbeda, misalnya jenis Holothuria atra dapat mencapai panjang 60 cm dengan berat 2 kg. Untuk spesies Actinopyga mauritiana mencapai panjang 30 cm dengan berat 2,8 kg, serta Thelenota ananas dapat mencapai panjang 100 cm dengan berat 6 kg.

“Sedangkan jenis Holothuria scabra yang juga disebut teripang putih atau teripang pasir dapat mencapai panjang antara 25-35 cm dengar berat antara 0,5-1,5 kg.”

Baca: Eksistensi Teripang Harus Dikawal Indonesia

 

Teripang yang ditangkap nelayan Bajo di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, diolah dengan cara direbus. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Teripang dapat dijumpai pada ekosistem terumbu karang, lamun, mulai zona intertidal sampai kedalaman 40 meter. Keberadaannya dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai, mulai daerah pasang surut yang dangkal hingga perairan lebih dalam.

Teripang menyukai dasar pasir halus yang banyak ditumbuhi tanaman pelindung seperti lamun dan sejenisnya serta bebas hempasan ombak. Keberadaannya di alam juga dipengaruhi tersedianya makanan dan musim pemijahan, hal tersebut terbukti dengan banyaknya jenis teripang yang mendekati garis pantai selama musim memijah.

Teripang umumnya memijah pada perairan di lingkungan hidupnya, berlangsung 1 atau 2 bulan setiap tahunnya. Berbeda dengan yang hidup di daerah subtropis, spesis yang hidup di daerah tropis tidak mempunyai waktu atau musim pemijahan tertentu sepanjang tahun.

Biasanya memijah pada sore atau malam hari. Awalnya, teripang jantan akan melepaskan spermanya dahulu, selanjutnya teripang betina mengeluarkan sel telurnya karena rangsangan feromon yang dikeluarkan teripang jantan.

Baca juga: Menjaga Teripang di Alam dengan Teknologi Budidaya

 

Ivul Fakila membantu suaminya membersihakan teripang dari kotorannya untuk dijual ke pengepul di Desa Mojoasem, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sejarah perdagangan teripang

Dalam laporan Rencana Aksi Nasional Konservasi Teripang 2016-2020, disebutkan bahwa lembaga konservasi dunia, IUCN menempatkan beberapa spesies teripang ke dalam daftar merah. Tiga jenis masuk kategori Endangered yaitu Holothuria scabra [teripang pasir], Holothuria nobilis [teripang susun] dan Stichopus ananas/Tholeneta ananas [teripang nenas]. Satu spesies lagi masuk kategori Vulnerable yaitu Holothuria fuscogilfa.

Teripang merupakan sumber daya hayati laut ekonomis penting dan mempunyai peluang pasar cukup baik. Banyaknya permintaan pasar ekspor dengan harga tinggi telah memicu masyarakat untuk mengambil teripang besar-besaran sehingga terjadi peningkatan produksi secara nasional. Namun permasalahan timbul, populasi teripang tampak menurun dengan kepadatan relatif rendah.

Negara tujuan ekspor teripang adalah Jepang, China, Singapura, Hong Kong, Korea, Thailand, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Teripang sebagai komoditas perdagangan sebagian besar berasal dari hasil penangkapan laut. Sedangkan teknologi budidaya sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan pasar, baik dalam negeri maupun ekspor belum memberikan hasil optimal.

 

Teripang dalam habitatnya di perairan dangkal berupa ekosistem padang lamun dengan substrat pasir berlumpur. Foto: BBIL LIPI

 

Perdagangan teripang sudah berlangsung lama di Indonesia, bahkan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Pradina Purwati dalam jurnal yang sama mengatakan, beberapa catatan sejarah menunjukkan adanya perdagangan teripang lebih dari 300 tahun. Menengok abad ke-13 hingga 17, Nusantara merupakan negara maritim yang menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Sistem perkotaannya terbentuk di tepi laut seperti pesisir utara Jawa. Ini memberi kemudahan nelayan pada zaman itu untuk melakukan kontak dagang hasil laut dengan dunia internasional.

“Salah satunya adalah dengan bangsa China di abad ke-16 hingga 17 yang diduga mendorong munculnya perikanan teripang Indonesia. Wajar jika kemudian Indonesia termasuk negara pengekspor teripang tertua. Istilah trepang di pasar internasional pun berasal dari kata teripang yang digunakan oleh nelayan Indonesia,” ungkap Purwati.

Lebih lanjut dijelaskan, saat Belanda mengalahkan Makassar di Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di antara mereka yang melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan mereka kembali dengan memuat teripang. Periode ini yang kemudian menjadi perkiraan awal dimulainya industri teripang di Indonesia.

Tak hanya itu, teripang menjadi jembatan pertemuan dua budaya, yakni Aborigin di Australia dan Makassar di Indonesia. Bukti pelayaran orang Makassar ke pantai barat laut dan utara Australia banyak terdokumentasi dalam bentuk lukisan tradisional bangsa Aborigin di dinding-dinding goa.

Peninggalan sejarah yang lain adalah model kano dan penggunaan kosa kata oleh orang-orang Aborigin seperti balanda untuk menunjuk orang kulit putih. Selain itu, ditemukan juga dokumen peraturan pajak dan perizinan tahun 1882 untuk nelayan Makassar yang mengambil teripang di perairan Northern Territory.

 

 

Exit mobile version