- Teripang atau Timun laut adalah biota laut yang memiliki rupa jelek, namun bernilai ekonomi tinggi. Keberadaannya hingga saat ini selalu dicari oleh berbagai negara di dunia, terutama Tiongkok yang memiliki tradisi perayaan Imlek
- Eksploitasi Teripang yang cepat ternyata memicu penangkapan besar-besaran di Indonesia, negara yang menjadi tempat populasi terbesar Teripang di dunia. Kondisi itu mengakibatkan populasi di alam menjadi turun dan terancam punah
- Untuk mengantisipasinya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berinisiatif melaksanakan penelitian sejak dua dekade terakhir. Di antaranya, adalah dengan mengembangkan Teripang untuk menjadi bahan pangan, obat-obatan, dan budi daya perikanan
- Indonesia saat ini bersiap untuk mengusulkan Teripang masuk dalam kelompok Appendix II CITES pada konferensi yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss, Agustus 2019. Dengan masuk dalam kelompok tersebut, perlindungan Teripang bisa lebih ditingkatkan
Di antara biota laut yang saat ini dikenal dunia, nama Teripang masih terdengar asing. Di Indonesia, komoditas hewan bernama Holothuroidea itu, belum disukai masyarakat. Padahal, hewan laut tersebut menjadi komoditas penting dan bernilai ekonomi tinggi.
Oleh karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berinisiatif memperkenalkan Teripang untuk dipopulerkan di masyarakat. Berbagai penelitian tentang Teripang terus dilakukan dalam 20 tahun terakhir oleh Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI.
Meski belum terkenal di Indonesia, Kepala P2O LIPI Dirhamsyah di Jakarta, pekan lalu mengatakan Teripang begitu populer luar negeri, terutama di Tiongkok, karena biota laut tersebut selalu menjadi menu utama saat hari raya Imlek sebagai perlambang harapan baru. Namun karena sulit mendapatkannya disana, maka Tiongkok menjadi pelanggan utama ekspor Teripang dari Indonesia.Tak pelak, harga jual di pasaran pun langsung melambung tinggi saat itu.
“Sampai sekarang, Indonesia adalah pemasok Teripang ke Tiongkok. Ekspor dari Indonesia dalam bentuk raw (mentah),” katanya dalam sebuah kesempatan sebelumnya kepada Mongabay-Indonesia.
baca : Teripang, Si Buruk Rupa dari Perairan Dangkal yang Bernilai Ekonomi Tinggi
Komoditas Andalan
Saat ini, terdapat 56 jenis Teripang yang telah dimanfaatkan untuk perdagangan di dalam dan luar negeri. Banyaknya permintaan dari pasar luar negeri, terutama Tiongkok, juga menjadikan hewan laut tersebut semakin turun populasinya di alam.
Sehingga Dirhamsyah sangat berharap Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES) bisa memasukkan Teripang dalam kelompok Appendiks II yang dibatasi kuota perdagangannya. “Atau (Teripang) tidak segera terancam kepunahan, ,” ucapnya.
Penetapan status tersebut, kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Cahyo Ramadi, sangatlah penting dan krusial untuk menjaga keseimbangan eksploitasi penangkapan dengan ketersediaan di alam. Sebagai lembaga otoritas ilmiah di Indonesia, LIPI akan mengusulkan perlindungan Teripang kepada CITES.
“Budi daya teripang harus berdasarkan tiga prinsip utama CITES, yaitu ketertelusuran, legalitas, dan keberlanjutan. Teripang merupakan spesies akuatik yang akan diusulkan untuk pencantuman ke dalam Apendix II CITES yang diselenggarakan pada Agustus 2019 mendatang di Jenewa, Swiss,” sebut kata .
Agar pemanfaatan Teripang tidak hanya dalam bentuk utuh saja, LIPI berinisiatif mengembangkannya olahannya melalui penelitian. Salah satunya, dikembangkan menjadi ekstrak bahan baku obat-obatan, suplemen dan sebagai alternatif sumber pangan bagi masyarakat Indonesia.
Terlebih, karena Teripang terbukti memiliki kandungan gizi yang tinggi dan itu juga bisa menjadi sumber nutrisi untuk mencegah stunting pada generasi mendatang. Untuk itu, LIPI telah melakukan penelitian budi daya Teripang di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hasil penelitian LIPI selama 20 tahun terakhir, ditemukan fakta telah terjadi pergeseran jenis tangkapan (species fighting) Teripang oleh nelayan dan juga pelaku usaha. Itu mengindikasikan Teripang jenis tertentu sudah semakin sulit ditemukan di alam.
Untuk itu, agar Teripang bisa tetap menjadi komoditas unggulan yang bisa didapatkan dengan mudah dan ketersediaan di alam juga tetap terjaga, maka Dirhamsyah menyebutkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara kontinu. Dengan penelitian, maka data-data bioekologi Teripang diharapkan akan muncul dan menjadi dasar untuk penyusunan regulasi dalam melindungi Teripang di alam.
baca juga : Meriahnya Panen Teripang Buka Sasi di Kampung Folley Raja Ampat. Begini Ceritanya
Ketahanan Pangan
Peneliti P2O LIPI Ana Setyawati menjelaskan salah satu penelitian LIPI di bidang ketahanan pangan melalui pengembangan purwarupa sediaan cair makanan kesehatan dengan menggunakan ekstrak etanol Teripang jenis Stichopus vastus. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan persentase perbandingan sebesar satu persen untuk satu liter produk.
Ana memaparkan, dari persentase yang ditetapkan tersebut, kemudian dihasilkan kadar mineral yang cukup tinggi, yaitu besi (Fe) sebesar 90,38 miligram/kilogram, kalium (K) 949,2 mg/kg, kalsium 18,2 mg/kg, dan natrium (Na) 5647,6 mg/kg. Selain itu, didapat juga hasil berupa kadar glukosamin sulfat sebesar 4,529 g/100g.
Hasil purwarupa Teripang untuk ketahanan pangan telah sesuai dengan persyaratan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, yaitu minim kadar mikroorganisme dan tidak mengandung logam berat.
Selain jenis Stichopus vastus, penelitian Teripang juga melibatkan jenis Holothuria scabra dan Stichopus noctivagus. Menurut Ana, dari uji riset yang dilakukan oleh tim peneliti, kandungan vitamin yang ada pada kedua jenis Teripang tersebut, diketahui mengandung vitamin E. Kemudian, dari uji mineral, jenis Holothuria scabra memilikinya.
“Dan sebaliknya, kandungan mineral natrium ada pada Stichopus noctivagus,” tutur Ana.
menarik dibaca : Teripang, Biota Laut Si Pencegah Kanker
Sementara, untuk penelitian budi daya Teripang, LIPI mempercayakan tugas tersebut kepada Balai Bio Industri Laut (BBIL) di Mataram, NTB dan sudah memulainya sejak 2011 atau delapan tahun lalu. Menurut Peneliti dari BBIL LIPI Muhammad Firdaus, penelitian teknologi budi daya Teripang dilakukan pada jenis Holothuria scabra atau dikenal dengan sebutan Teripang pasir.
Untuk melaksanakan riset, LIPI menggunakan teknologi pembesaran yang mencakup untuk pelaksanaan budi daya di laut dengan sistem peternakan laut (sea ranching), budi daya tambak, dan budi daya pembesaran untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan industri perikanan Teripang terhadap stok yang ada di alam.
Selama delapan tahun melaksanakan penelitian budi daya, Firdaus menyebutkan kalau BBIL sudah mampu menghasilkan 100 ribu ekor anakan setiap tahun. Dari setiap ekor anakan yang dihasilkan itu, kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), kegiatan konservasi, dan kegiatan usaha budi daya pembesaran.
Selain teknologi budi daya, Firdaus menambahkan, BBIL juga mengembangkan budi daya multhitrophic yang menggabungkan komoditas Teripang pasir, Bandeng, dan Rumput laut jenis Gracilaria sp., (ini adalah jenis rumput laut yang baru dimanfaatkan di Indonesia) di dalam satu kolam tambak. Kegiatan penelitian tersebut dimaksudkan agar Teripang pasir bisa tetap terjaga keseimbangan populasinya di alam.
“Sekaligus juga tetap bisa memenuhi kebutuhan pasar dan sekaligus mendukung kegiatan pemberdaayaan masyarakat pesisir,” tegasnya.