Mongabay.co.id

Biak Numfor, Surganya Ikan Pelagis Besar

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPPNRI) 717 yang meliputi perairan laut di Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, adalah salah satu wilayah pengelolaan perikanan andalan bagi Indonesia. Wilayah perairan tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Biak Numfor selama ini.

Daerah yang secara administrasi masuk Provinsi Papua tersebut, dalam setahun mampu memproduksi perikanan hingga 144,9 ribu ton atau berkontribusi hingga 13,7 persen untuk perikanan nasional. Secara keseluruhan, potensi perikanan yang masuk Biak Numfor mencapai 1.054,7 ribu ton dalam setahun.

Angka tersebut, menjadi potensi yang sangat besar dan bisa dimanfaatkaan dengan baik untuk pengembangan sektor perikanan di kabupaten yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik tersebut. Itu kenapa, Pemerintah Indonesia tertarik untuk mengembangkan Biak Numfor, karena potensinya besar.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Safri Burhanuddin mengatakan, potensi besar yang dimiliki Biak Numfor tersebut, sangat layak untuk menjadikan daerah tersebut sebagai lumbung ikan nasional (LIN), selain Maluku.

Dengan kata lain, Biak Numfor saat ini secara resmi sudah masuk rencana pengembangan yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam upaya optimalisasi potensi perikanan yang ada di daerah tersebut. Tujuan akhirnya, diharapkan Biak Numfor bisa melaksanakan ekspor perikanan secara langsung.

baca : Pusat Ekonomi Baru di Kawasan Terluar Papua

 

Kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Biak Numfor, Papua Barat. Foto : KKP

 

Pemilihan Biak Numfor untuk bisa mengikuti Maluku yang lebih dulu ditetapkan sebagai LIN, tidak didasarkan pada pertimbangan potensi perikanan saja. Lebih dari itu, Biak Numfor memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk bisa mendukung peran sebagai LIN.

Fasilitas yang dimaksud, menurut Safri Burhanuddin, adalah infrastruktur berupa Pelabuhan Laut Biak dan Bandara Frans Kaisiepo yang memiliki landasan pacu terpanjang keempat di Indonesia. Kedua sarana tersebut nantinya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekspor produk kelautan dan perikanan.

“WPPNRI 717 ini berada di utara Provinsi Papua, kita belum fokus untuk mengembangkan hal ini,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Tanpa ada pengembangan, segala potensi perikanan yang dimiliki Biak Numfor hanya akan menjadi sekedar data saja. Padahal, ada ikan pelagis besar seperti Tuna Mata Besar (Thunnus obesus), Madidihang (Thunnus albacares), dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang potensinya sangat besar secara ekonomi.

Selain bernilai ekonomi tinggi, pengembangan potensi perikanan Biak Numfor juga harus dikembangkan, karena sampai sekarang status sumber daya ikan pelagis besar yang ada di WPPNRI dan masuk Kab Biak Numfor, masih dalam kondisi aman dan belum sampai penangkapan berlebih (overfished).

Bagi Pemerintah, segala potensi tersebut bisa mendukung pengembangan LIN yang sebelumnya sudah ditetapkan di Maluku dan Maluku Utara yang meliputi WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), dan 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur).

baca juga :  Pengelolaan Perikanan Terintegrasi Diperkenalkan di Papua Barat

 

Pengiriman perdana 17 ton ikan pelagis kecil ke Surabaya melalui Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Biak Numfor, Papua Barat, Sabtu lalu (13/3/2021). Foto : KKP

 

Menurut Safri, untuk bisa melaksanakan rencana pengembangan tersebut, pihak yang dilibatkan tidak hanya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saja. Namun juga ada Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan RI, dan Angkasa Pura.

“Dari Biak bisa langsung ke Tokyo (Jepang) dan juga bisa langsung ke Hawaii (Amerika Serikat) atau Sydney (Australia), kalau semua ini sudah jadi dengan pesawat dari Bandara Frans Kaisiepo,” kata dia.

Sebelum ada kebijakan pengembangan LIN Biak Numfor, tidak ada rute penerbangan internasional yang melintasi Bandara Fran Kaisiepo. Meskipun, pada periode 1996 hingga 1998, bandara tersebut menjadi bagian dari dua rute internasional dari Jakarta ke Amerika Serikat.

Melalui kebijakan LIN, diharapkan rute internasional bisa kembali dibuka, dengan fokus untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan. Selain itu, pengembangan LIN juga berpotensi untuk mengembangkan armada perikanan Tuna di wilayah Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC).

Adapun, armada yang digunakan untuk perikanan Tuna adalah kapal kapal berjenis purse seine dan longline berukuran 24 meter ke atas dan berpendingin. Kapal jenis tersebut mampu dijadikan sebagai peluang usaha, karena adanya potensi perikanan ikan pelagis besar yang besar.

Peluang yang besar tersebut harus dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah, meskipun harus ada perbaikan terlebih dahulu sejumlah fasilitas infrstruktur yang dibutuhkan. Terutama, infrastruktur pelabuhan dan bandara.

Untuk Pelabuhan Biak, saat ini sudah ada gudang seluas 3.800 meter yang direncanakan akan untuk dijadikan gudang beku (cold storage). Dari sisi pelabuhan, saat ini kedalamannya sudah mencapai 10-11 meter dan mampu menampung hingga 80 ribu kapal.

Sementara, walau Bandara Frans Kaisiepo memiliki landasan pacu terpanjang keempat di Indonesia, namun kondisinya saat ini memerlukan perbaikan lebih modern dan menyesuaikan dengan keadaan sekarang.

perlu dibaca : Papua Barat Dijanjikan Bisa Ekspor Langsung Produk Perikanan, Kapan Itu?

 

SKPT Biak Numfor memiliki Integrated Cold Storage (ICS) berkapasitas 200 ton dengan dua unit cold storage masing-masing berkapasitas 100 ton. Foto : KKP

 

Kendala lainnya, adalah sarana dan prasarana perikanan yang masih terbatas di Biak Numfor. Misalnya, alat penangkapan ikan (API) berupa gill net jumlahnya hanya 3.723 buah dan pancing sebanyak 2.076 buah. Koperasi dan kapal penangkap ikan sebetulnya ada, tetapi masih kurang memadai.

Selain kendala infrastruktur, saat ini jumlah produksi perikanan juga masih belum bisa maksimal. Contohnya, untuk Baby Tuna jumlahnya baru mencapai 3.078,51 kilogram, Cakalang 6.500,34 kg, Malalugis 2.225,81 kg, Deho sebanyak 3.445 kg, dan 911 kg.

Namun demikian, kendala yang masih ada tersebut tidak menghalangi kesiapan Biak Numfor untuk melaksanakan ekspor. Hal itu diungkapkan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Papua Kementerian Keuangan RI Akhmad Rofiq.

Menurut dia, kekurangsiapan fasilitas infrastruktur saat ini tidak menghentikan rencana ekspor perdana dari Biak Numfor. Bahkan, sistem logistik juga sudah disiapkan untuk menyerupai di Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang terintegrasi dengan baik.

Di atas segalanya, Pemerintah Indonesia menyadari kalau pengembangan LIN di Biak Numfor tidak boleh hanya berakhir menjadi wacana saja. Karenanya, sinkronisasi dilakukan dari sisi regulasi, terutama yang sudah ada dari Kemenhub dan KKP.

Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada kesempatan lain menyebutkan bahwa Biak Numfor memang sangat cocok untuk dijadikan LIN. Selain potensi perikanan dan fasilitas infrastruktur seperti bandara dan pelabuhan, Biak Numfor juga sudah memiliki sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT).

Hanya sayang, meski sudah dibangun sejak 2017, SKPT yang disiapkan menjadi pusat kegiatan ekonomi yang baru tersebut masih belum berhasil melaksanakan ekspor produk perikanan secara langsung dari Biak Numfor. Kendala tersebut diharapkan bisa dipecahkan setelah LIN dijalankan.

Terpisah, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Artati Widiarti mengatakan, walau masih belum bisa melaksanakan ekspor secara langsung, namun SKPT Biak Numfor sudah bisa mengirimkan hasil produknya ke pasar domestik ke Surabaya, Jawa Timur.

Sementara, menurut Direktur Usaha dan Investasi Ditjen PDSPKP KKP Catur Sarwanto, operasional SKPT Biak Numfor diharapkan bisa mendorong daerah tersebut menjadi sentra pangan dengan ikan sebagai komoditas utamanya.

Dari data yang ada, produksi perikanan tangkap Biak Numfor memang terus menunjukkan peningkatan hingga 35 persen selama periode 2016 hingga 2019. Pada 2016, produksi hasil tangkapan nelayan hanya sebesar 56.960 ton, dan kemudian naik menjadi 76.847 ton pada 2019.

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version