Mongabay.co.id

Pasca Bencana Siklon Seroja, Mitigasi Bencana Harus jadi yang Utama

 

Badai Siklon Tropis Seroja yang memuncak sejak 4 April 2021 dini hari telah memicu tingginya intensitas hujan, angin kencang, dan gelombang selama lebih dari tiga hari.

Badai Seroja berakibat pada terjadinya banjir bandang, banjir pesisir dan tanah longsor di sebagian besar wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

WALHI NTT menyebutkan dampak bencana semakin besar dan meluas karena lingkungan tidak lagi memiliki daya tampung dan daya dukung yang memadai.

Hal ini akibat dari perambahan dan alih fungsi hutan, pembangunan infrastuktur serta proyek investasi skala besar lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun Posko Informasi Bencana Hidrometeorologi WALHI NTT, setidaknya, 181 jiwa meninggal dunia, 47 jiwa dinyatakan hilang, dan 470.754 jiwa di 20 kabupaten/kota mengungsi.

Jika ditinjau dari jumlah korban jiwa, dampak terparah terjadi di Kabupaten Flores Timur, Lembata,  Alor dan Malaka. Sementara jika ditinjau dari luasan wilayah terdampak, Kabupaten Malaka dan Sumba Timur merupakan wilayah dengan dampak bencana yang paling luas.

“Bencana iklim ini juga memberikan dampak yang luar biasa terutama pada  pulau-pulau kecil yaitu Pulau Adonara, Lomblen, Alor dan Pantar,” sebut Dominikus Karangora, Kordinator Desk Bencana WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Jumat (23/4/2021).

baca : Pasca Banjir Bandang di NTT, Saatnya Menanam Pohon

 

Alat berat sedang melakukan pencarian korban dan pembersihan material banjir bandang di Desa Nele Lamadike, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, NTT .Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dom sapaannya menyebutkan berdasarkan data yang dihimpun WALHI NTT, jumlah korban meninggal di empat pulau ini mencapai 174 jiwa dan korban hilang mencapai 37 jiwa. Sebaran bencana di empat pulau kecil ini terjadi di 25 desa/kelurahan.

Luasnya sebaran dampak bencana, membuat Pemda mengalami kesulitan dalam  melakukan penanggulangan bencana sehingga menimbulkan dampak bencana lanjutan bagi masyarakat penyintas.

Dia mencontohkan, di Kabupaten Malaka, terdapat wilayah yang masih sulit mengakses air bersih sehingga muncul kasus penyakit kulit. Selain itu, hingga kini masih ditemukan masyarakat penyintas yang kekurangan pangan karena rusaknya lahan pertanian.

Dom menyebutkan, hal ini terjadi akibat ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan upaya mitigasi (pengurangan resiko) yang seharusnya dilakukan sejak jauh-jauh hari.

“BMKG telah memberikan peringatan dini, bahkan sejak Februari 2021. Ketidakmampuan Pemda NTT membaca potensi bencana terlihat jelas dari tidak dilakukannya upaya mitigasi bencana,” tuturnya.

Dom menegaskan, pemerintah seharusnya menyadari ketidakmampuannya sejak awal. Namun alih-alih melakukan kajian mendalam, Pemda  justru mengeluarkan berbagai kebijakan berkaitan dengan investasi yang kemudian berkontribusi besar terhadap rusaknya wilayah-wilayah penyangga.

“Padahal jika evaluasi lingkungan dilakukan, keuntungan investasi tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang mengorbankan ratusan ribu jiwa masyarakat NTT,” sesalnya.

baca juga : Waspada, Siklon Tropis Masih Mengancam Wilayah-wilayah di Indonesia

 

Material banjir yang memenuhi pemukiman warga di bantaran kali di Kelurahan Waiwerang Kota, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Minim Mitigasi Bencana

NTT merupakan provinsi dengan mayoritas pulau-pulau kecil dan berada di lintasan garis khatulistiwa serta sebagian wilayahnya berada di jalur ring of fire.

WALHI NTT menekankan, kondisi ini sudah semestinya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah untuk lebih waspada terhadap bencana iklim yang akan terjadi, baik bencana hidrologi maupun hidrometeorologi.

“Ruang gerak masyarakat di pulau-pulau kecil untuk mengevakuasi diri secara mandiri pada saat terjadi bencana maupun relokasi pasca bencana sangat terbatas,” sebut Dom.

Dom katakan, masyarakat kesulitan menghindari gunung berapi, terancam banjir pesisir serta longsor karena NTT terdiri dari pulau-pulau kecil sehingga tidak ada wilayah yang aman dari bencana.

Mitigasi bencana itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.64/2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai aturan pelaksanaan pasal 59 ayat (4) Undang-Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Kebijakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik di atas kertas, namun lemah dalam pelaksanaan oleh pemerintah daerah. Misalnya, mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ungkapnya.

menarik dibaca : Pulau dan Danau Baru Terbentuk di NTT Usai Siklon Tropis Seroja Melanda. Seperti Apa?

 

Perumahan di bantaran kali di Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT yang mengalami kerusakan akibat banjir bandang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Dom menyesalkan saat pariwisata menjadi prioritas pembangunan, pemerintah maupun swasta semakin sering membabat kawasan penyangga di wilayah pesisir untuk kepentingan pembangunan destinasi wisata.

Menurut WALHI NTT, pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kerap tidak didahului dengan izin lingkungan atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang secara teknis mencakup analisis resiko-resiko yang mendasari upaya mitigasi bencana.

Hal serupa terjadi pada investasi di sektor pertambangan dan perkebunan monokultur yang banyak membabat hutan.

“WALHI NTT menilai kebijakan mitigasi bencana di NTT, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sangat minim. Misalnya, kegiatan struktur atau fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana banjir, banjir pesisir, gempa bumi, longsor dan tsunami,” ucapnya.

Dom menyesalkan penyediaan sistem peringatan dini hanya ada pada gunung berapi dan gelombang ekstrem sedangkan jenis bencana lainnya tidak ada.  Sistem peringatan dini bahkan kerap diabaikan jika bertabrakan dengan kepentingan iklim investasi skala besar.

“Kawasan penyangga sebagai kawasan yang melindungi manusia dari ancaman bencana juga turut dirusak untuk kepentingan ekonomi tanpa mengukur potensi dampak yang terjadi,” ujarnya.

perlu dibaca :  Banjir jadi Langganan, Walhi: Bencana Ekologis Perlu Penanganan Serius dan Terintegrasi

 

Perumahan di bantaran kali di Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT yang mengalami kerusakan akibat banjir bandang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Lakukan Relokasi

Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli kepada Mongabay Indonesia di Waiwerang, ibukota Kecamatan Adonara Timur, Selasa (6/4/2021) mengatakan aktifitas penebangan pohon di wilayah pegunungan juga turut memberi andil terhadap banjir bandang yang terjadi.

Menurut Agus sapaannya, bertambahnya jumlah penduduk membuat masyarakat membuka hutan untuk kebun di lereng-lereng gunung, sehingga pepohonan di wilayah pengunungan berkurang.

Selain itu, warga juga membangun rumah di bantaran kali yang seharusnya tidak dilakukan. Saat terjadi banjir, air akan meluap sehingga rumah-rumah di bantaran kali rentan terkena dampak.

“Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan masyarakat membuka lahan pertanian hingga ke daerah lereng gunung. Penebangan pohon pun dilakukan sehingga wilayah hutan sebagai daerah tangkapan air berkurang,” sebutnya.

Direktur Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YYPS) Larantuka, Melky Koli Baran menyesalkan minimnya mitigasi bencana oleh pemerintah. Selain itu diperparah dengan pembangunan pemukiman di kawasan rawan bencana. Padahal banyak desa di Pulau Adonara wilayahnya masuk kawasan rawan bencana.

“Dalam peta resiko bencana yang dibuat YPPS dan BPBD Flores Timur, perkampungan di Adonara banyak yang masuk kawasan resiko bencana, sehingga penting dilakukan pengaturan tata ruang,” terangnya.

Sedangkan Carolus Winfridus Keupung, Direktur Wahana Tani Mandiri mengatakan warga perlu direlokasi dari wilayah rawan bencana. Juga perlu penyadartahuan dan kemampuan mendeteksi ancaman bencana, serta pengaktifan peringatan dini bencana.

“Semua ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi kemampuan pemerintah terhadap upaya penanggulangan bencana yang benar. Kemampuan pemerintah tidak hanya pada soal pemahaman tetapi kepekaan terhadap kondisi dan mampu melakukan manajemen bencana yang benar,” sarannya.

baca juga : Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri Rawan Bencana

 

Warga masih mencari korban secara manual di bekas reruntuhan banjir bandang di Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : Kor Sakeng/Posko Barakat Lembata

 

Presiden Jokowi saat meninjau lokasi banjir bandang di Kabupaten Lembata dan Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, meminta agar pemerintah daerah menyediakan lahan untuk merelokasi warga.

Jokowi mengaku telah berbicara dengan bupati dan Gubernur NTT agar segera menyiapkan lahan untuk relokasi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun telah diperintahkan untuk segera membangun rumah di lokasi relokasi.

“Lokasi yang ada sekarang ini akan kita relokasi yang nanti segera ditetapkan oleh bupati dan gubernur. Kementerian PUPR siap untuk membangun rumahnya secepat-cepatnya,” tuturnya.

 

Keselamatan Lingkungan

Menyikapi permasalahan yang terjadi, WALHI NTT merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan investasi di NTT yang tidak ramah lingkungan, baik di sektor periwisata, pertambangan, maupun perkebunan monokultur.

Menurut WALHI NTT, investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan berdampak pada munculnya bencana yang merugikan masyarakat.

“Investasi yang dilakukan di NTT harus mengedepankan keselamatan lingkungan maupun ruang hidup masyarakat. Aktivitas pertambangan galian C yang masuk dalam kawasan hutan lindungharus dihentikan,” tegas Dominikus.

Dom berharap pemerintah memperbaiki kawasan penyangga yang telah rusak akibat faktor alam maupun non alam. Pemerintah juga diminta merevisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang disesuaikan dengan peta rawan bencana NTT.

Melaksanakan upaya-upaya mitigasi yang bersifat kultural yang partisipatif serta mitigasi struktural sesuai PP No.64/2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” harapnya.

 

 

Exit mobile version