Mongabay.co.id

Mencermati Sengkarut Operasi Tambang Pasir di Sleman

Kegiatan pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lepas dari peliknya permasalahan. Tim Pansus DPRD DIY pada 7 April 2021 menyatakan terdapat temuan 44 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang tersebar di Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kulonprogo.

Sebelum munculnya temuan Tim Pansus DPRD DIY sebenarnya di berbagai tempat di Kabupaten Sleman muncul perlawanan dari masyarakat terhadap kegiatan pertambangan pasir yang mengancam keberadaan sumber air warga.

Protes warga menolak penambangan pasir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Kabupaten Sleman berlangsung sepanjang tahun 2020 hingga kini. Warga menolak penambangan pasir disebabkan telah menganggu akses air di sepanjang DAS.

Warga berupaya mempertahankan sumber air bersih di tengah kondisi ketidakhadiran pemerintah dalam memberikan akses air. Warga di beberapa titik telah melakukan protes dan audiensi dengan pemerintah.

Seperti diberitakan Harian Jogja, Paguyuban Pelestari Sumber Mata Air Hulu Kali Boyong, yang terdiri dari warga enam pedukuhan misalnya, menolak penambangan pasir sejak Juli 2020, karena dianggap menjadi ancaman bagi sumber air bersih warga.

Warga menggugat, karena penambangan pasir dilakukan tanpa ada izin operasional, meskipun perusahaan sudah mengantongi Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP).

Perlawanan lain juga muncul dilakukan oleh warga Jomboran, Sendangagung, Minggir, Sleman yang menolak penambangan pasir dengan alat berat di Sungai Progo. Warga, seperti dimuat dalam berita Sindonews.com, memiliki dua alasan melakukan penolakan penambangan pasir dengan alat berat.

Pertama, ketakutan warga terhadap berulangnya pembelokan sungai yang terjadi di utara dusun dan terancamnya sumber mata air warga.

Kedua, kekhawatiran terjadinya runtuhan tanah disebabkan operasional penambangan pasir yang dekat dengan permukiman warga. Dinas Perizinan dan Penanaman Modal (DPPM) DIY sendiri telah menerbitkan izin melalui SK No. 545/05179/PZ/2020 tentang Persetujuan Izin Penambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan Komoditas Pasir dan Batu Atas Nama PT. CMK pada 14 Juli 2020.

Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah “Mengapa protes warga dalam memperjuangkan akses atas air di sepanjang DAS belum dapat menghentikan praktik penambangan pasir yang buruk di Kabupaten Sleman?” Tulisan ini hendak mencoba untuk memberi penjelasan tentang hal ini.

                                 

Gunung Merapi dengan penggalian pasir di sekitarnya. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Dari Tambang Tradisional ke Alat Berat

Penambangan pasir di Kabupaten Sleman sebenarnya erat kaitannya dengan aktivitas Gunung Merapi. Umaya et.al., (2020) menyebut penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi dimulai pada tahun 1970-an sebagai respon dari penduduk setempat terhadap melimpahnya pasir hasil erupsi.

Kusmiyati (2019) menjelaskan bahwa proses penambangan pasir di Daerah Aliran Sungai yang berhulu di Gunung Merapi mengalami peralihan dari tambang tradisional ke penambangan dengan alat berat sejak tahun 1992.

Tambang tradisional biasanya dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri 4-5 orang biasanya keluarga untuk mengumpulkan pasir di satu titik.

Hastuti (2017) menjelaskan pada dasarnya warga paham bahwa kegiatan penambangan pasir berdampak buruk kepada kerusakan Daerah Aliran Sungai yang mengancam keberadaan sumber air mereka.

Sedangkan penambangan dengan alat berat dimulai sejak tahun 1992 seiring masuknya investor dari luar daerah. Investor tertarik dengan potensi keuntungan kegiatan tambang pasir Kawasan Gunung Merapi yang dapat mencapai Rp33.040 miliar/ tahun.

Dilema muncul disebabkan sebagian warga masih menggantungkan hidupnya dari kegiatan penambangan pasir dan sulit mencari pekerjaan lainnya. Penambangan pasir di kawasan Merapi semakin marak terjadi pasca erupsi 2010.

Pada tahun 2011, Bupati Sleman mengeluarkan SK Nomor 284 Tahun 2011 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Merapi, dengan maksud untuk menormalisasi aliran sungai dan lahan-lahan warga yang tertimbun oleh material vulkanik pasca erupsi.

Temuan Bahtiar (2015) menunjukan peraturan tersebut disalahpahami oleh berbagai pihak, yang memunculkan geliat pertambangan pasir yang tidak terkendali. Bahtiar juga menemukan penggunaan alat berat yang tidak terkendali menurunnya jumlah sumber air di sekitar Kawasan Gunung Merapi hingga 50 persen.

Hal tersebut menunjukan bahwa pada dasarnya terdapat dua masalah yang menyebabkan perjuangan warga sekitar Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Sleman untuk menjaga sumber air mereka harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi-politik tambang pasir dan penambangan dengan menggunakan alat berat yang masif.

Ilustrasi penambangan pasir. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

Kepentingan Ekonomi-Politik di Balik Tambang Pasir

Erik Swyngedouw (2004) dalam bukunya Social Power and the Urbanization of Water Flows of Power dapat membantu kita memahami siasat ekonomi-politik korporasi dan elit khususnya dalam  memahami terhambatnya perjuangan warga dalam mempertahankan akses air di sepanjang DAS Kabupaten Sleman. Berikut analisisnya:

Pertama, perusahaan berupaya menunjukan janji-janji kesejahteraan yang akan muncul dari adanya kegiatan pertambangan pasir di hadapan pemerintah.

Melansir pemberitaan krjogja.com, kasus ini tampak seperti di wilayah izin operasional tambang Kali Progo wilayah Jomboran, Kelurahan Sendangagung. PT. CMK berjanji memberikan kompensasi dampak pertambangan sebesar Rp 20.000/ritase dan kontribusi pembangunan desa sejumlah Rp 10.000/ritase seperti yang dimuat dalam pemberitaan

Janji kesejahteraan menjadi strategi humas perusahaan untuk memecah dukungan warga. Opini yang dibentuk seolah-olah hanya segelintir orang yang menolak praktik penambangan pasir dengan alat berat.

Kedua, aksi kolektif yang muncul pada dasarnya tidak pernah mendapatkan dukungan penuh disebabkan masih banyak warga yang bergantung penghidupannya dari kegiatan penambangan pasir di Sleman.

Di sisi lain, warga yang setuju dengan operasional penambangan pasir di Jomboran mengklaim perusahaan telah melakukan sosialisasi pada 22 November 2019 dan terakhir Juli 2020. Hal ini berbeda dengan yang disampaikan oleh para penolak kegiatan pertambangan.

Ketiga, potensi ekonomi dari kegiatan pertambangan pasir di DAS Kabupaten Sleman telah menyebabkan adanya persaingan di antara warga maupun elit pemerintah dengan membentuk ikatan patron-klien. Potensi tambang pasir di Kabupaten Sleman sepanjang 2011-2014 menunjukkan kecenderungan penurunan disebabkan masifnya eksploitasi.

Kenyataannya hal tersebut tidak lantas menyebabkan surutnya permintaan izin tambang di Sleman. Sebaliknya, sepanjang 2015-2018 permintaan izin meningkat, di mana pengajuan izin tertinggi paling banyak terjadi di tahun 2017.

Anehnya, mengacu data yang dikumpulkan dari Dinas PUP ESDM DIY (2021), mayoritas perusahaan tidak mencantumkan secara jelas bentuk badan hukum dan hanya mencantumkan nama pemilik usaha tambang.

Salah satu pemilik bahkan tidak mencantumkan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang yang menjadi kewajiban dari pengusaha terhadap kelestarian lingkungan dan nasib warga terdampak.

Penambangan ini kenyataannya lebih banyak dilakukan secara ilegal bahkan melibatkan elit desa seperti kasus tertangkapnya mantan kepala desa di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada 5 Desember 2019 seperti dimuat dalam pemberitaan kompas.com.

Data BPS Kabupaten Sleman 30 Desember 2016 mengkonfirmasi hal ini. Ada satu usaha tanah urug di Kecamatan Gamping. Sedang, per 14 November 2017 menunjukan bahwa ada satu usaha tambang pasir dan batu di Kecamatan Tempel. Hal tersebut menunjukan bahwa operasi tambang ilegal ini tidak teridentifikasi dengan baik oleh pemda.

 

* Anggalih Bayu Muh. Kamim, penulis adalah Peneliti Junior PolGov (Reseach Centre for Politics and Government) Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM). Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version