Mongabay.co.id

Menyoal Izin Tambang Emas di Trenggalek [2]

Daerah di Trenggalek yang akan menjadi sasaran tambang emas. Foto: Widya Andriana

Daerah di Trenggalek yang akan menjadi sasaran tambang emas. Foto: Widya Andriana

 

 

 

 

Awal Maret lalu, perwakilan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), dipimpin Max Sialipan, selaku site manager perusahaan mendatangi Balai Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, Trenggalek, Jawa Timur. Mereka mau menyampaikan izin operasi produksi tambang emas sudah keluar dari Gubernur Jawa Timur.

“Datang, menyampaikan kalau izin eksploitasi sudah dikantongi,” kata Purwadi, Kepala Desa Karangrejo, kepada Mongabay. Meskipun begitu, katanya, sejauh ini, belum ada tanda-tanda kegiatan eksploitasi.

Atas rencana eksploitasi pertambangan emas ini, berbagai kalangan dari warga sampai organisasi masyarakat sipil menolak. Termasuk juga M Nur Arifin, Bupati Trenggalek sampai Emil Elistianto Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, yang asal Trenggalek dan pernah jadi bupati di daerah ini.

M Nur Arifin, Bupati Trenggalek mengaku tak tahu menahu perihal penerbitan izin produksi. Dia bilang, kendati izin operasi produksi telah dikantongi, bukan berarti SMN bisa leluasa menambang.

“Bagi saya, meski izin produksi itu sudah keluar, bukan berarti otomatis visible dilaksanakan. Ilustrasinya, SMN ini punya SIM (surat izin mengemudi), tetapi kalau kendaraan nggak ada, jalannya nggak bisa dilewati, mau apa?” katanya.

Dia bilang, banyak wilayah tambang SMN bersinggungan dengan zona terlarang. Dia sebutkan, hutan lindung, kawasan karst, maupun permukiman penduduk.

Gus Ipin, biasa dia disapa, juga mempertanyakan klaim dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang menyebut SMN mendapat dukungan masyarakat.

Emil Elistianto Dardak, Wakil Gubernur Jatim, menyatakan hal senada. Dia tak mengetahui bagaimana izin itu muncul. Sebaliknya, dia justru menuding ada upaya-upaya yang berusaha mengarahkan seolah-seolah seluruh izin SMN, baik eksplorasi maupun produksi terbit melalui tangannya.

 

Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Pemukiman warga yang bakal terdampak kalau rambang emas sampai beroperasi di Trenggalek. Foto: Widya Andriana

 

Izin eksplorasi SMN, katanya, sudah terbit sebelum dia menjabat sebagai Bupati Trenggalek. “Sebelum saya jadi bupati, izin eksplorasi itu sejak 2005. Bupati sebelum saya yang menerbitkan,” katanya kala dihubungi melalui sambungan seluler, Maret lalu.

Kala itu, katanya, izin eksplorasi mencapai 17. 586 hektar. Ia meliputi sembilan kecamatan dari 14 kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Yakni, Kecamatan Munjungan, Dongko, Watulimo, Kampak, Suruh, Pule, Tugu, Karangan, dan Trenggalek.

Pada 2007, tepat masa izin eksplorasi tahap pertama berakhir, SMN melakukan perpanjangan, sekaligus menambah luasan jadi 30.044 hektar. Izin pun diberikan Bupati Trenggalek kala itu, sesuai nomor SK: 188.45/466/425.012/2007, tertanggal 14 Desember 2007. Setahun berikutnya, luasan eksplorasi berubah jadi 29.969 hektar.

Menyusul adanya perubahan kewenangan perizinan pertambangan, seiring pemberlakuan UU Minerba Nomor 23/2014, dari semula di tangan pemerintah kabupaten ke provinsi, eksplorasi sempat setop. Namun, pada 2015, SMN mengajukan perpanjangan izin eksplorasi selama tiga tahun (2015-2018), sebelum akhirnya izin operasi produksi terbit pada Juni 2019.

Semula, baik Emil maupun Gus Ipin tak keberatan dengan SMN. Bahkan, keduanya juga ikut terlibat dalam sosialisasi kepada masyarakat menjelang eksplorasi.

Terkait perubahan sikap ini, dua politisi itu masing-masing punya pandangan. Bupati Trengalek mengatakan, keputusan mendukung kegiatan eksplorasi kala itu semata untuk mengetahui kandungan mineral di Trenggalek.

Kalau akhirnya lanjut ke tahapan produksi, dia menolak.

Ada beberapa hal yang membuat dia sepakat menolak rencana itu. Pertama, tak sesuai dengan substansi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kini dalam tahap revisi. Pada Perda yang sudah dibahas dan proses di provinsi itu dinyatakan bila di kawasan itu masuk zona esensial karst seluas 58. ribu hektar lebih. Yang masuk kawasan lindung seluas 4.000 hektar lebih.

Kedua, penerbitan izin produksi dia nilai janggal. Karena pada beberapa titik, eksplorasi SMN belum tuntas lantaran ditentang warga. Sebut saja di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo dan Sumberbening, Kecamatan Dongko. Meskipun begitu, dua lokasi ini malah ikut masuk dalam peta izin operasi produksi.

Selain itu, pasca eksplorasi gagal pada 2018, Gus Ipin tak pernah tahu bagaimana progresnya. “Tahu-tahu izin produksi terbit,” katanya.

Emil mengatakan hal serupa. Menurut mantan Bupati Trenggalek ini, pada prinsipnya tidak anti tambang. Gejolak penolakan warga dan sejumlah elemen mengindikasikan ada ketidakberesan dalam kegiatan itu. “Karena itu, saya pun mendukung keputusan bupati dan warga Trenggalek yang menolak rencana produksi SMN,” katanya.

Sejak awal, dia meminta semua tahapan yang berkaitan dengan eksploitasi emas Trenggalek secara transparan. Tujuannya agar semua pihak dapat mengetahui dan menimbang untung rugi kegiatan ini. Karena itu, kalau akhirnya izin produksi itu tetap terbit meski ada penolakan di lapangan, dia tak tahu menahu.

 

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

opografi Kabupaten Trenggalek didominasi wilayah pegunungan. Tampak area persawahan di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek dengan latar pegunungan. Foto: Widya Andriana

 

Sebelumnya, dia dan SMN sebenarnya bersepakat saling berkoordinasi. Kenyataan, komitmen itu tidak dijalankan SMN. Terbukti, sampai pasca eksplorasi, dia tak pernah mendapat laporan progress apalagi bertemu.

Emil kecewa dengan sikap perusahaan. “Bagaimanapun juga, saya ini mantan Bupati Trenggalek. Saya tahu betul bagaimana masyarakat disana. Wong KTP saya saat ini juga masih Trenggalek,” katanya, seraya mengulang tak tahu menahu izin produksi operasi bisa terbit. Dia bilang, izin produksi operasi jadi kewenangan dinas terkait sepenuhnya.

Dia nyatakan tak tahu menahu perihal izin produksi SMN terbit. Merujuk rangkaian tahapan proses perizinan sebelum operasi produksi terbit, seluruh dokumen ditembuskan kepada Bupati Trenggalek., seperti surat penetapan kelayakan lingkungan hidup studi amdal tambang emas dan mineral pengikutnya Kabupaten Trenggalek, pada 19 September 2018. Begitu juga izin lingkungan yang terbit 29 September 2018., sama-sama ditembuskan kepada Bupati Trenggalek kala itu dijabat Emil.

Memang, Emil tercatat sempat mengajukan cuti saat proses pemilihan Gubernur Jatim yang dihelat 24 Juni 2018. Yang bersangkutan kembali menjabat sebagai bupati hingga dilantik sebagai Wakil Gubernur Jatim pada 22 Februari 2019 atau empat bulan sebelum izin operasi produksi terbit.

 

Belum serahkan jaminan reklamasi

Walau sudah keluar izin operasi produksi tetapi perusahaan belum menyerahkan dana jaminan reklamasi. Habib Sholehuddin, Plt. Kepala Bagian Ekonomi Trenggalek, mengatakan, kendati sudah mengantongi izin produksi, SMN belum bisa aktivitas di lokasi karena seluruh kewajiban perusahaan belum terpenuhi, seperti jaminan reklamasi dan pasca tambang.

“Ada surat edaran dari Kementerian ESDM. Jadi, secara administratif, selama kewajiban itu belum dipenuhi, perusahaan belum diperkenankan beraktivitas karena jaminan reklamasi dan pasca tambang belum dibayar,” katanya.

 

Nelayan di Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek diliputi keresahan menyusul rencana penambangan emas oleh PT. SMN. Mereka khawatir rencana tersebut berdampak pada ekosistem laut. Foto: Widya Andriana

 

Pemerintah Jatim pun keluarkan rilis soal itu. Pemprov menyebut, jaminan reklamasi dan pasca tambang harus dibayar SMN mencapai US$939.221,15. Karena itu, dokumen izin yang terbit belum juga diambil perusahaan. Dengan begitu, perusahaan belum memiliki hak untuk eksploitasi.

“Perusahaan hingga kini belum memenuhi kewajiban. Hingga saat ini perusahaan dilarang operasi produksi,” tulis Pemprov Jatim dalam keterangan tertulis yang didapat Mongabay.

Rilis itu menyebut, penerbitan izin operasi produksi SMN berdasarkan hasil kajian teknis Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

Hasil kajian yang meliputi aspek administrasi, teknis, uji lingkungan, amdal, serta kinerja perusahaan itulah, akhirnya izin keluar sesuai SK Nomor: P2T/57/15.02/VI/2019, tertanggal 24 Juni 2019. Dalam surat itu, izin produksi mencapai 12.813, 41 hektar.

 

Siapa pemilik perusahaan?

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencurigai ada ‘permainan’ terkait terbit izin produksi SMN ini. Selain proses sarat kejanggalan, status clean and clear (CnC) oleh KESDM pada perusahaan ini juga layak dipertanyakan. Sebab, SMN memiliki reputasi tidak baik.

Menurut Merah, pada 2012, SMN sempat terlibat konflik dengan warga yang menolak rencana penambangan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kala itu, dua warga kehilangan nyawa saat protes. Bahkan, belakangan, terungkap izin yang dikantongi SMN malah palsu.

Secara administrasi, katanya, perusahaan ini juga dinilai tak layak. Pasalnya, alamat perusahaan, sebagaimana tertera pada dokumen tak sesuai karena saat ditelusuri, alamat tercatat sebagai kantor perusahaan lain. Jadi, SMN bisa dikatakan sebagai sebagai perusahaan abal-abal. Karena itu, Merah pun mendesak status CNC perusahaan ini dicabut.

Kalau menelusuri data perusahaan dari Ditjen Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), perusahaan ini tercatat di akta notaris Ida Fidiyanthi pada 4 Juli 2004. Tepat setahun sebelum perusahaan ini mendapat izin eksplorasi pada 2005.

Pada dokumen itu, perusahaan ini tercatat memiliki modal dasar Rp2 miliar dengan modal ditempatkan Rp500 juta. Jumlah ini setara 50.000 lembar saham (per lembar Rp10.000) atau sekitar 25% dari modal dasar.

Masih menurut dokumen sama, perusahaan tercatat beberapa kali mengalami perubahan struktur kepengurusan. Awal berdiri, ada empat pihak tertulis sebagai pengurus dan pemegang saham perusahaan. Keempatnya, Siti Roosida, kala itu menjabat sebagai komisaris. Kemudian, Alwi Wikrama, selaku direktur, Gunadi Salam Faiman selaku direktur utama dan PT Sumber Abadi Nusantara (SAN).

Pemegang saham SMN yakni SAN mayoritas sebanyak 49.950 lembar saham atau Rp499, 950 juta dan Gunadi Salam Faiman dengan lima lembar saham senilai Rp50.000.

Sejak berdiri, perusahaan yang bergerak di bidang eskplorasi-eksploitasi emas, perak ini tercatat mengalami beberapa kali perubahan struktur pengurus. Alwi Wikrama yang menjabat sebagai komisaris hingga pasca eksplorasi di Trenggalek mengalami pergantian. Siti Roosida pun tak lagi menjabat.

Dalam data terbaru yang disahkan per 31 Agustus 2020, Alwi digantikan Harry Wiharja sebagai komisaris. Gunadi Salam, dan SAN, tak ada perubahan.

Sesuai dokumen perseroan, perusahaan ini beralamat di Komplek Ruko Golden Adrid I Blok A Nomor 8 Jl. Letjend Sutopo, BSD City, Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan. Namun alamat tertera itu tak sesuai.

Mengutip reportase TV swasta ini, lokasi sebagaimana alamat tertera, tercatat sebagai Kantor Perhimpunan Ahli Geologi. Seorang karyawan mengaku tak tahu menahu keberadan SMN yang tertulis di alamat itu.

Ada yang menarik dengan SAN. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan ini ternyata juga dimiliki orang sama yakni Gunadi Salam Faiman dan Alwi Wikrama. Pada perusahaan itu, keduanya menjabat sebagai direktur dan komisaris.

Dalam dokumen yang didapat, SAN beralamatkan di Jalan Tanjung Mas Raya Blok B1 No 43 Lt. 3 Rt 002/01 Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Setali tiga uang, seperti halnya SMN, kantor perusahaan sesuai alamat ini juga tak ada. Saat ditelusuri, alamat sebagaimana tertera dalam dokumen malah milik PT. Magma Energi Indonesia (MEI).

 

Rencana penambangan emas oleg PT. SMN khawatir mengganggu ekosistem karst yang banyak bertebaran di Kabupaten Trenggalek. Tampak salah satu pegunungan karst di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Foto: Widya Andriana

 

Temuan lain, SMN bukanlah pemain tunggal terkait rencana pertambangan di Trenggalek. Hasil penelusuran Mongabay mendapat beberapa korporasi nasional-transnasional terlibat dalam proyek ini.

Salah satunya, perusahaan pertambangan asal Australia, Arc Exploration. Ltd., kini berganti nama menjadi Cyprium Metal. Ltd. Berdasar dokumen yang dipublikasikan di laman resmi mereka, perusahaan ini jont venture dengan SMN dengan skema kepemilikan 95:5.

George Tahija, salah satu orang terkaya di Indonesia, yang sebelumnya masuk dalam jajaran komisaris Freeport sempat jadi direktur Arc Exploration, tepat ketika proses eksplorasi proyek Trenggalek  berlangsung.

Pada 2014, George Tahija juga pemilik sejumlah perusahaan di bawah bendera ANJ Grup ini mengundurkan diri.

Perusahaan ini juga sempat mendapat dukungan dari Anglo American Plc., sebuah perusahaan pertambangan multinasional yang berkantor di London, Inggris. Perusahaan yang disebut-sebut sebagai produsen platinum terbesar di dunia ini selama dua tahun membiayai proses eksplorasi di Trenggalek.

Menyusul kemudian, PT. Danusa Tambang Nusantara (Danusa) ikut bergabung dalam pembiayaan eksplorasi Trenggalek. Dalam dokumen perusahaan tertanggal 29 September 2015, nilai investasi yang dikucurkan satu grup Astra ini mencapai US$1,5 juta setara Rp21 miliar (kurs Rp14.000) untuk jangka waktu selama 30 bulan.

Di tengah kesepakatan dengan Danusa, ArcExploration secara mengejutkan melakukan divestasi saham SMN pada Oktober 2018 kepada PT. Indonusa Mining. Ternyata, Indonusa Mining adalah anak perusahaan ArcExploration, yang berkedudukan di Tangerang.

Dalam laporannya, alasan divestasi itu karena perusahaan ingin lebih fokus pada proyek tambang emas baru di Kanada. Trenggalek bukanlah satu-satunya prospek wilayah yang sempat digarap Arc Exploration. Sejumlah lokasi potensial di Indonesia juga masuk peta garapan perusahaan ini, seperti Papua, Sulawesi Tenggara, Cibaleung dan Bima. Di Bima, bahkan sempat menuai protes hingga menyebabkan dua warga tewas.

Mongabay berusaha meminta penjelasan Max Sialipan, Site Manager SMN tetapi dua nomor tetepon genggam Max tak aktif. Kantor perwakilan SMN di Karangan, Trenggalek, juga sudah tutup. (Bersambung)

 

*****

Foto utama:  Daerah di Trenggalek yang akan menjadi sasaran tambang emas. Foto: Widya Andriana

 

Exit mobile version