Mongabay.co.id

Vinsensius Tularkan Semangat Menanam Bakau di Desa Nobo

 

Seluruh dunia memperingati Hari Bumi setiap tanggal 22 April. Untuk memperingatinya, Yayasan Misool Baseftin Flores Timur menggandeng Pokmaswas Sinar Bahari Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT melakukan penanaman bakau.

Sebelum penanaman bakau di pesisir Desa Nobo, dilakukan pemungutan sampah di sepanjang pantai tersebut. Kegiatan ini diikuti juga oleh Dinas Perikanan Flores Timur, PSDKP, WCS, DLH, UPT KPH Flores Timur dan warga desa.

“Sebelum menanam bakau, kami memungut sampah plastik di pesisir pantai. Sampahnya memang tidak terlalu banyak sebab pantainya relatif  bersih dan hanya terkumpul sebanyak 2 kantong plastik besar saja,” kata Maria Yosefa Ojan, Kepala Kantor Misool Baseftin Flores Timur kepada Mongabay Indonesia di lokasi kegiatan, Sabtu (24/4/2021).

Evi sapaannya menyebutkan pihaknya mengajak Pokmaswas Sinar Bahari menanam bakau sebanyak 300 anakan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menanam bakau.

“Kami mengapresiasi semangat masyarakat dalam menanam bakau secara mandiri. Jika dilihat, hampir semua pesisir pantai di Desa Nobo minim tanaman bakau sehingga abrasi setiap tahun terus terjadi. Sejak bakau ditanam, abrasi mulai berkurang,” ujarnya.

baca : Ridwan dan Cerita di Balik Rimbun Mangrove Pantura di Ambulu

 

Anak-anak yang terlibat dalam penanaman mangrove di Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menanam Secara Swadaya

Pantai Desa Nobo sebagian besar dipenuhi bebatuan. Hamparan pasir praktis hanya sekitar 5 meter dari saja dari bibir pantai. Hanya 3 rumpun tanaman bakau terlihat di pesisir pantai desa ini dengan jarak berjauhan. Pohon bakaunya pun hanya beberapa saja yang tingginya sekitar 4 m. Sisanya dengan tinggi seragam.

Pemandangan berbeda terlihat di pesisir pantai sebelah timur Desa Nobo. Hutan mangrove mulai terbentuk. Terdapat 3 jenis bakau yang ditanam di pesisir pantai desa ini yakni jenis Sonneratia alba, Rhizophora mucronata dan Avicennia marina.

Keberadaan bakau di pesisir pantai desa ini berkat kegigihan seorang warganya bernama Vinsensius Litan Witi (50). Dirinya diberikan pemahaman dan dukungan dari Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) yang berada dibawah naungan Keuskupan Larantuka.

Sius sapannya mengakui, tahun 1995 menanam sebanyak 50 ribu pohon di perbatasan desa Nobo dan Konga. Selain bersama Yaspensel, kegiatan ini bekerjasama dengan Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur (Flotim).

“Bibitnya saya ambil di Pulau Konga lalu disemai di polybag plastik hingga tumbuh setinggi sekitar 30 sentimeter lalu ditanam. Saya belajar mengenai bakau dan penanamannya dari Yaspensel,” sebutnya.

Setelah penanaman pertama gagal tumbuh, tahun 1998 Sius kembali menanam 25 ribu pohon di pesisir pantai Desa Nobo.

Tahun 2019 dan 2020 Sius kembali tanam bakau sebanyak 3 ribu pohon menggunakan propagul. Semuanya bakau itu tumbuh dengan baik.

“Kalau disemai terlebih dahulu, setelah ditanam lebih banyak yang mati. Bila disemai maka setiap hari harus disiram dengan air laut sehingga apabila nantinya dipindah ke laut maka bakau sulit menyesuaikan diri dan sebagian besarnya mati,” ungkapnya.

baca juga : Bangun Jalan Tol di Pesisir Utara Jateng, Mangrove Direlokasi, Mungkinkah? 

 

Menanam dan mengikat bakau yang sedang ditanam di pesisir pantai Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain Sius, sang istri Magdalena Lelu Kedang pun menanam sendiri sebanyak 1.500 pohon menggunakan propagul. Keduanya pun setiap tahun selalu menanam sebanyak 300 pohon di sela-sela waktu luang mengurus kebun.

Sius mengaku mengambil propagul di Pulau Konga, sebuah pulau kecil yang berjarak sekitar 500 meter dari pesisir pantai Desa Nobo. Dia berangkat sendiri menggunakan sampan.

Ia mengaku dulunya selalu mengantar propagul ke almarhum Simon Puka di Desa Nurabelen yang biasa menanam bakau. Dalam seminggu ia mengantar 2 karung msing-masing berisi 1.000 propagul dan dibayar Rp150 ribu per karung.

“Pernah saya tenggelam dan 3 karung bakau yang saya bawa dari Pulau Konga tenggelam semua. Saya terlambat berangkat dari Pulau Konga sehingga terjebak cuaca buruk,” kenangnya.

  

Ditentang Masyarakat

Di pantai Desa Nobo hanya terdapat 2 tempat yang bakaunya tumbuh namun jumlahnya tidak banyak karena tidak tumbuh atau dirusak warga.

Banyak warga merusak tanaman bakau karena dianggap mengganggu aktifitas mereka dalam mendaratkan sampan atau perahu di pinggir pantai dan menghalangi jalan mereka saat beraktifitas menangkap ikan atau gurita (menyulo) saat malam hari.

Kegiatan Menyulo (bahasa Nagi) tersebut biasa dilakukan warga saat air laut surut di malam hari dengan menggunakan penerangan berupa lampu petromak atau senter.

“Masyarakat juga beralasan kalau bakau lebat dan menjadi hutan maka ditakutkan akan menjadi habitat buaya berkembangbiak. Ini yang membuat banyak masyarakat mencabut bakau yang saya tanam,” ucapnya.

baca juga : Menanti Bibit-bibit dari Mangrove Center untuk Hijaukan Pesisir Indonesia

 

Beberapa rumpun bakau di Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, NTT yang ditanam tumbuh subur meskipun sebagian besar dirusaki warga. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sius mengenang, dirinya pernah menangkap anak muda di desa Nobo yang tebang bakau. Tangan anak tersebut pun dilukainya dengan golok. Kepada anak muda tersebut dirinya katakan, kalau tangan terluka kita akan merasa sakit. Hal yang sama pun terjadi pada bakau yang dipotong.

“Orang tuanya pun memarahi anaknya dan mengatakan untung saja tidak dilaporkan ke polisi atau Dinas Lingkungan Hidup. Kalau dilaporkan maka bisa saja dia dan anaknya dipenjara,” ujarnya.

Sius bersyukur, sejak kejadian tersebut masyarakat di desanya tidak berani lagi merusak tanaman bakau yang ditanamnya.

Ia juga mengaku pernah mengejar nelayan asal Kabupaten Ende yang menyelam dan menangkap ikan menggunakan kompresor saat malam hari. Bersama anggota Pokmaswas, mereka mengejar nelayan dari luar daerah tersebut hingga melarikan diri.

“Saya bersama Pokmaswas mengejar mereka sebab takutnya mereka menggunakan racun ikan atau bom sehingga merusak ekosistem laut,” terangnya.

Walau mendapat kecaman masyarakat dan menganggapnya hanya membuang waktu saja bekerja tanpa mendapatkan hasil, Sius bertekad terus menanam bakau. Apalagi bakau pun ditanam di pesisir pantai pada lahan kebun miliknya.

Semangat itu pun ditularkan kepada anaknya dan anggota Pokmaswas. Prinsip dia, meski menanam bakau  tidak mendapatkan uang namun dampaknya akan terasa di kemudian hari.

“Setelah banyak bakau, kelapa yang berada di pesisir pantai yang dulunya tidak berbuah, buahnya kembali lebat. Setelah ada bakau, pesisir yang sebelumnya hanya pasir kini mulai ada lumpur dan tidak terjadi abrasi lagi,” ucapnya bangga.

baca juga : Ini Upaya Bersama Rehabilitasi Mangrove dalam Meredam Dampak Perubahan Iklim

 

Vinsensius Litan Witin, warga Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Sikka, NTT yang juga anggota Pokmaswas Sinar Bahari, saat berada di antara bakau yang ditanamnya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perlu Peraturan Desa

Setelah bakau mulai banyak tumbuh di pesisir pantai Desa Nobo dan desa sekitarnya, Sius mengharapkan adanya Peraturan Desa (Perdes) soal perlindungan laut dan bakau. Ini penting agar ada ikatan terhadap warga agar lebih menjaga ekosistem pesisir pantai dan laut.

“Saya berharap agar ada Perdes soal bakau agar masyarakat tidak mencabut dan menebang bakau yang saya tanam bersama isteri, anak dan anggota Pokmaswas Sinar Bahari,” harapnya.

Kepala Desa Nobo, Petrus Kikung Witi juga mengakui dampak positif dari bakau yang ditanam Sius dan Pokmaswas membuat abrasi pantai tidak terjadi lagi.

Dahulunya kata Petrus, setiap tahun selalu terjadi abrasi sehingga banyak pohon kelapa di pesisir pantai yang tumbang.

“Kami dari Pemerintah Desa Nobo berencana membuat Perdes soal bakau dan penyelamat laut dan akan berkoordinasi dengan Yayasan Misool Baseftin untuk penyusunan draftnya,” ungkapnya.

Menurut Petrus, Sius selalu menanam bakau setiap tahun dan merawatnya. Kadang dia menanam sendiri bersama anggota keluarganya dan kadang juga dengan anggota Pokmaswas.

Ketua Pokmaswas Sinar Bahari Mikael Kulong Kedang mengatakan sepanjang tahun 2014-2016, anggota Pokmaswas hanya 2 orang. Jumlah anggota bertambah menjadi 10 orang pada tahun 2016.

Mikael katakan, peran Pokmaswas hanya melakukan pemantauan laut apakah ada nelayan yang menangkap ikan menggunakan bahan peledak atau racun serta merusak tanaman bakau yang ditanam.

“Kami bekerja secara mandiri dan tidak mendapatkan anggaran dari Dana Desa sehingga Pokmaswas tidak ada program rutin,” ucapnya.

Mikael mengakui masyarakat Desa Nobo sudah sadar dan tidak ada lagi yang menebang bakau apalagi selalu dipantau oleh Pokmaswas. Sebelum ada sosialisasi dari Yayasan Misool Baseftin, masyarakat selalu menebang bakau.

 

Exit mobile version