Mongabay.co.id

Kasus Pembalakan Liar Tinggi, Ini Kata Para Penegak Hukum

Pembalakan liar yang terus berlangsung di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kasus pembalakan liar merupakan kejahatan paling tinggi yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam lima tahun belakangan ini. Kasus ini, dinilai tak hanya kasus kehutanan dan lingkungan hidup juga kejahatan finansial.

Data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, KLHK periode 2015-2021, memperlihatkan, pembalakann liar jadi kasus paling tinggi dibandingkan kejahatan lain, seperti, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, pencemaran, serta tumbuhan dan satwa liar.

Ada 497 kasus selama periode 2015-2020. Pada 2020, paling tinggi mencapai 124 kasus, 104 (2019), 94 (2018), 66 (2017), 66 (2016) dan 43 (2015). Sejak Januari-April 2021, sebanyak 20 kasus pembalakan liar di sejumlah wilayah.

“Hasil operasi kayu 2018-2020 sudah diamankan 418 kontainer atau 7.239 meter kubik kayu dari Papua, sebagian kecil Maluku,” kata Yazid Nurguda, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK dalam diskusi ‘Mampukah Sistem Peradilan Indonesia Menghukum Para Mafia Kayu’, pada penghujung April lalu.

Ada tiga aturan dasar kewenangan penyidikan pembalakan liar oleh KLHK, yakni, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Secara umum, UU Cipta Kerja itu menerapkan ultimum remedium, sanksi pidana sebagai sanksi terakhir sebelum sanksi administrasi.

Menurut Yazid, khusus kejahatan bidang kehutanan baik pembalakan liar atau perambahan hutan yang berdampak pada lingkungan bisa langsung kena hukum pidana.

“Berbeda dengan UU Lingkungan Hidup, UU Cipta Kerja, tidak spesifik mengubah norma penegakan hukum pidana terkait penyidikan terhadap delik pembalakan liar. Subyek hukum dalam pembalakan liar yang kami tangani ada perseorangan, korporasi, dan kelompok masyarakat.”

Brigjen Pol. Pipit Rismanto, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri mengatakan, pembalakan liar merupakan kejahatan luar biasa, tak hanya pada kejahatan lingkungan juga terhadap kekayaan negara.

Selama ini, hukuman pada kejahatan lingkungan yang menimbulkan kerugian kekayaan negara. Pasalnya, negara perlu mengeluarkan biaya untuk memperbaiki lingkungan hidup. “Belum lagi, berapa kerugian negara saat ada bencana.”

Berdasarkan data Bareskrim Polri, ada 272 kasus pada 2020, 74 (2019), 74 (2018), 575 (2017) dan 507 (2016) kasus pembakalan liar yang ditangani.

”Vonis-vonis sebelumnya juga tak memberikan efek jera dan modus saat ini adalah dokumen yang diduplikasi.”

 

Baca juga: Kasus Hutan Sabuai, Komisaris SBM jadi Tersangka Pembalakan Liar

Kayu yang ditebang di hutan TNGL. Perambahan dan pembalakan liar merupakan ancaman utama kelestarian TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kejahatan finansial

R.Narendra Jatna, asisten khusus Jaksa Agung, Kejaksaan Agung mengatakan, perlu penyeragaman kasus pembalakan liar menjadi kejahatan finansial. “Saya merasa pembalakan liar ini lebih dekat dengan kejahatan finansial,” katanya.

Kayu, katanya, perlu dianggap sebagai komoditas hingga perlakuan terhadap kasus ini harus berbeda dibandingkan kejahatan biasa. Dengan begitu, dapat menelusuri pada kejahatan korporasi dan kejahatan terorganisir.

Menurut Narenda, kalau mau memberantas mafia kayu perlu mengubah perspektif terlebih dahulu dengan kayu sebagai komoditas.

Dia bilang, kendala penanganan kasus ini, katanya, karena banyak peradilan khusus di Indonesia. “Bisa saja dalam kasus pembalakan liar ada suap kepada pejabat yang bisa digolongkan sebagai tindak pidana korupsi atau penggelapan pajak.”

Kalau sudah bersifat pengadilan khusus, katanya, membuat seluruh kasus pembalakan liar tak bisa sidang bersamaan. Padahal, dalam sudut pandang jaksa sangat mungkin mengakumulasi kasus bersama-sama.

Dia melihat, UU Kehutanan dalam kasus pembalakan liar sebatas kejahatan administrative penal law atau kejahatan bersifat domestik dan hanya menggunakan UU di Indonesia. “Padahal, untuk menjangkau mafia di luar Indonesia sangat sulit. Agar berlaku baik kejahatan dalam dan luar negeri, harus masuk dalam kejahatan pencucian uang.”

Begitu juga, penyidikan berbeda dalam satu kasus pembalakan liar yang mempersulit upaya penuntutan. “Perlu kita pikirkan bersama tentang para penyidik tak terintegrasi dalam menangani kasus pembalakan liar,” katanya.

Selaras dengan Narendra, Edi Wibowo, asisten Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung menyebutkan, penerapan tindak pidana pencucian uang dalam perkara lingkungan dan kehutanan selama itu didakwakan dalam surat dakwaan.

Dalam penanganan kasus pembalakan liar, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 1/2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan.

Isinya, berupa imbuan kepada hakim agar pelaku pembalakan liar yang terbukti bersalah dapat hukuman berat setimpal sifat tindak pidana.

“Kami sudah memberikan imbauan keras dari MA kepada hakim seluruh Indonesia. Saat ini, banyak perkara sudah mengikuti imbauan ini.”

Selain itu, ada penegasan dalam Pasal 78 ayat 5 UU Kehutanan, bahwa semua hasil hutan dari kejahatan dan pelanggaran atau alat-alat angkut dirampas untuk negara.

Budi Saiful Haris, analisis senior Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan, kejahatan kehutanan sebagai kejahatan finansial jadi langkah strategis. “Saat UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) seringkali bisa diungkap mata rantai supply demand, dan memberikan gambaran bagaimana penanganan komprehensif dan proporsional.”

Pendekatan financial intelligence, katanya, sebagai alat mengungkap kejahatan lain, pengembangan kasus dalam mengungkap peran berbagai aktor kejahatan dan aktor lain yang belum terindentifikasi di lapangan.

 

Baca: Komitmen Menjaga Leuser Sebagai Situs Warisan Dunia Harus Dibuktikan

Petugas Gakkum KLHK Maluku dan Papua sedang meninjau Lokasi Pembalakan liar CV SBM di Hutan Sabuai-1

 

 

****

Foto utama: Pembalakan liar yang terus berlangsung di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version