Mongabay.co.id

Pelaku Bom Ikan Masih Berkeliaran di Pulau Banyak, Kapan Ditertibkan?

Bagi nelayan kecil, hadirnya RUU Omnibus Law merupakan ancaman bagi kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Kegiatan ilegal perikanan seperti pemboman ikan, masih terjadi di Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Bahkan, aktivitas merusak itu juga terjadi dekat Pulau Bangkaru, satu-satunya pulau konservasi penyu di provinsi paling barat Indonesia itu.

Kepulauan Banyak merupakan gugusan 63 pulau, terdiri Kecamatan Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Tepatnya, di ujung sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau Banyak memiliki luas daratan sekitar 135 kilometer persegi atau 13.500 hektar.

Nelayan setempat telah mengeluh dengan pemboman ikan yang dilakukan kapal-kapal ikan dari luar itu. Mereka khawatir, cara itu tidak hanya mengancam nelayan lokal yang hanya menangkap ikan dengan cara tradisional, tetapi juga merusak ekosistem laut.

“Pihak terkait sering menyampaikan kepada nelayan lokal agar tidak menangkap ikan dengan cara merusak dan melanggar hukum seperti meracun, menggunakan peledak atau bom, dan lainnya. Namun, nelayan luar malah bebas masuk dan memasang bom untuk menangkap ikan di daerah kami,” ungkap Sulaiman, nelayan di Kecamatan Pulau Banyak, Jumat [30/4/2021].

Dia menjelaskan, kapal-kapal tersebut tidak berasal dari Provinsi Aceh, tapi Sumatera Utara. “Biasanya mereka dari Sibolga atau Nias dan kami sudah cukup kesal. Mereka sangat berani, bahkan melakukan siang hari dekat nelayan lokal yang mancing.”

Baca: Nelayan Aceh: Pemerintah Harus Tegas pada Kapal Asing Pencuri Ikan

 

Nelayan tradisional Aceh ikut aturan laut yang dikelola oleh Panglima Laot. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Darsyid, nelayan di Kecamatan Pulau Banyak Barat mengatakan, mereka juga sering mengancam nelayan lokal. “Kalau kami melapor, mereka akan mencelakai kami. Pemboman ikan juga dilakukan di sekitar Pulau Bangkaru.”

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 103/MenLHK-II/2015 tentang perubahan atas keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 865/Menhut-II/2014 Tanggal 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh, Taman Wisata Alam Laut [TWAL] Kepulauan Banyak memiliki luas sekitar 255.585,39 hektar.

Darsyid juga mengatakan, selama ini sebagian besar nelayan di Kepulauan Banyak hanya menangkap ikan dengan cara memancing atau menjaring. Sebagian lainnya menyelam, tidak ada yang merusak.

“Tapi nelayan dari luar malah menghancurkan, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.

Baca: Melihat Masa Depan Panglima Laot di Aceh

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Laporan nelayan

Pegiat lingkungan di Pulau Banyak, Reza Falevi mengatakan, pihaknya sering menerima laporan dari nelayan lokal tentang hal tersebut.

“Akibat ulah mereka, terumbu karang rusak dan ini tidak hanya berdampak kepada nelayan.”

Reza mengatakan, pemerintah sedang mendorong atau mengembangkan Kepulauan Banyak menjadi destinasi wisata. Bukan hanya untuk pelancong lokal, tapi juga wisatawan mancanegara.

“Jika terumbu karang rusak, daya tariknya berkurang. Memulihkan terumbu karang itu butuh waktu cukup lama,” sambungnya.

Baca juga: Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Kearifan lokal menjaga laut dijalankan penuh nelayan Aceh dengan tidak menggunakan bom atau pukat harimau. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Panglima Laot Aceh, Umar Bin Abdul Azis mengatakan, sebagai lembaga adat laut di Aceh, Panglima Laot akan mendukung penegakkan hukum yang dilakukan aparat.

“Ini sangat bahaya. Terumbu karang itu habitatnya berbagai jenis ikan, ketika hancur ikan sulit berkembang biak. Kehidupan nelayan lokal juga terdampak,” terang pria yang kerap disapa Umardi.

Dia menyebutkan, pemboman ikan tidak hanya melanggar hukum adat laut yang berlaku di Aceh, tapi juga melanggar hukum negara. Untuk itu, penegak hukum harus mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan.

“Nelayan juga diharapkan melapor ke pihak terkait. Persoalan ini harus diselesaikan.”

 

Pemandangan indah dan alami masih tersaji di Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Banyak, Aceh Singkil, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Umardi menambahkan, nelayan lokal Aceh sudah cukup paham dampak menangkap ikan dengan cara merusak.

“Ini keuntungan bagi kita. Banyak nelayan yang sadar sehingga ketika kami serius melakukan perlindungan laut, mereka sangat mendukung,” paparnya.

 

 

Exit mobile version