Mongabay.co.id

Daya Rusak Tambang Emas Kala Beroperasi di Kawasan Karst Trenggalek [3]

Kawasan karst Trenggalek, yang jadi incaran perusahaan tambang, salah satu tambang emas. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Kawasan karst Trenggalek, yang jadi incaran perusahaan tambang, salah satu tambang emas. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, sebagian wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan dengan sekitar 60% berupakan kawasan hutan. Daerah ini juga memiliki hamparan kawasan karst cukup luas. Rencana eksploitasi tambang emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), membuat para pihak resah. Kalangan organisasi masyarakat sipil mengingatkan, daya rusak mengerikan bakal muncul kala pertambangan emas mengeksploitasi kawasan karst Trenggalek. Mereka pun meminta pemerintah mengevaluasi dan cabut izin tambang itu.

Mukti Satiti, dari Masyarakat Spaleologi Jawa Timur mengatakan, ada banyak alasan mengapa rencana tambang emas di Trenggalek harus ditolak. Salah satu, sebagian wilayah konsesi tepat berada di zona ‘terlarang’ karena masuk peta perlindungan kawasan karst.

“Kenapa sampai ada perlindungan kawasan karst, karena menghancurkan sama halnya menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri,” katanya.

Berdasar penelusurannya, ada beberapa lokasi di Trenggalek yang masuk kawasan karst, termasuk Kecamatan Kampak yang jadi daerah tapak pertama akan digali. “Itu bisa kami buktikan dengan temuan fosil kerang. Disana, kami menemukan banyak fosil-fosil kerang yang menyatu di bebatuan,” katanya.

Kawasan ini, katanya, memiliki fungsi penting dalam menjaga daya dukung lingkungan sekitar, seperti sumber air dan biota lain.

Merujuk Laporan Kinerja Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2018, luas kawasan karst di Trenggalek mencapai 53.000 hektar lebih.

Sekitar 10.800 hektar antara lain oleh pemkab jadi kawasan lindung, sesuai Perda 15/2012 tentang RTRW 2012-2032) Trenggalek.

Secara topografi, Trenggalek adalah pegunungan. Sekitar 28.378 hektar punya kemiringan lebih 40%. Saking curamnya, 11 dari 14 kecamatan sebagai zona rawan longsor, termasuk Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak, yang masuk dalam peta konsesi perusahaan tambang emas, SMN.

Kawasan karst Trenggelek terjadi dari apitan gaya tektonik dua lempeng yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Jadi, pada bagian selatan jadi pegunungan dengan sisi terluar berselimut batuan karbonat yang terkarstifikasi jadi kawasan karst.

 

Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Kawasan hutan yang pernah dieksplorasi PT SMN. Foto: Widya Andriana

 

Secara geologi, kawasan karst pegunungan bagian selatan Trenggalek tersusun dari batuan induk dengan jenis batuan Miosenne limestone dan jenis tanah menditeran. Ia tersebar hampir di semua kecamatan , seperti Dongko, Bendungan, Gandusari, Kampak, Karangan, Munjungan, Panggul, Pogalan, Pule, Suruh, Trenggalek, Tugu dan Watulimo.

Wilayah karst Trenggalek, secara hidrologis merupakan ekosistem cadangan air tanah untuk air baku bagi kehidupan masyarakat, perairan pertanian dan perkebunan sekitar.

Beberapa gua teridentifikasi di Trenggalek, antara lain, Gua Kalimati, Maling Guno, Ngerit, Lowo dan Gua Panggang.

Sebagai tempat menyimpan air, kata Mukti, ekosistem karst sangat peka dan rentan kerusakan. Mukti tidak bisa membayangkan bila kawasan itu kemudian ditambang.

Walaupun ada proses reklamasi, dia memastikan tidak akan mampu mengembalikan kondisi seperti sedia kala.

Pada wilayah karst, katanya, biasa banyak lubang yang berfungsi mengalirkan air dari permukaan (eksokarst) ke dalam rekahan-rekahan bebatuan dalam tanah (endokarst).

Bila kemudian rusak, otomatis air pasti akan melimpas, tak ada air tersimpan. Yang terjadi, kesulitan air saat kemarau dan rawan banjir ketika musim penghujan.

Satwa yang teridentifikasi BPEE pada daerah sekitar gua di Trenggalek ada beberapa jenis kelelawar seperti Chaerephon plicata dan Rousettus. Chaerephon plicata dikenal sebagai pemakan serangga dan pengendali hama dan penyakit pada tanaman pangan (padi dan palawija). Sedangkan pemakan buah dari famili Pteropodidae banyak diwakili beberapa spesies seperti Rousettus amplexicaudatus dan Eonycteris spelaea.

Kedua spesies itu juga ditemukan di sekitar dan dalam goa, kemungkian juga bersarang di dalamnya. Mereka ini merupakan agen pemencar biji dan pollinator dengan daya jelajah luas.

Mukti, bilang, kawasan karst banyak memiliki rongga atau gua-gua dengan beragam satwa, dalam satu kawasan bisa ratusan. Selain berfungsi menyimpan air, katanya, gua-gua itulah jadi habitat ragam makhluk hidup, seperti kelelawar.

 

Baca juga: Menyoal Izin Tambang Emas di Trenggalek [2]

Topografi Kabupaten Trenggalek didominasi wilayah pegunungan. Tampak area persawahan di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek dengan latar pegunungan. Foto: Widya Andriana

 

Hewan ini, katanya, berfungsi sebagai pemencar biji-bijian alias menyebarkan benih secara alami. Ia juga berperan sebagai pollinator dalam proses penyerbukan tanaman. Bahkan, pengendali hama tanaman alami.

“Daerah permukaan memang terkadang terlihat tandus atau kering. Di dalamnya, terdapat banyak rongga tempat berhuni aneka satwa. Itulah kenapa banyak gua-gua di kawasan karst. Atau, masyarakat umum menyebutnya pegunungan kapur.”

Dari penelusuran lapangan BPEE, paling sedikit ada sekitar 145 spesies tumbuhan yang mampu tumbuh pada wilayah ekosistem karst. Sekitar 70 spesies berupa pohon, sisanya pohon berukuran kecil, perdu semak, pemanjat, herba dan tumbuhan berumpun.

Secara aturan, kawasan karst sejatinya memiliki perlindungan cukup. Pada Peraturan daerah (Perda) tentang rencana tata ruang wilayah 2012-2032, Pemkab Trenggalek menetapkan 10.684 hektar sebagai kawasan lindung geologi karst. Ia meliputi, Kecamatan Panggul, Watulimo, Dongko, Kampak, Gandusari, Karangan, Munjungan, Suruh, Tugu, hingga Bendungan.

Penetapan kawasan lindung karst itu pun diamini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam laporan hasil inventarisasi ekosistem karst Trenggalek tahun 2017, KLHK menetapkan wilayah Trenggalek sebagai kawasan ekosistem karst mencapai 58.000 hektar lebih.

Hasil inventarisasi itu, katanya, bahkan telah disosialisasikan kepada sejumlah pihak. Bahkan, setahun kemudian, ada penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Bupati Trenggalek dan KLHK., pada 4 Desember 2018.

 

 

 Perjalanan investasi

Tambang emas masuk Trenggalek, ternyata bukan cerita baru. Izin operasi produksi SMN memang per 24 Juni 2019, tetapi eksplorasi di kabupaten ini sudah berlangsung 19 tahun silam.

Berdasar dokuman analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diperoleh Mongabay, SMN mulai eksplorasi 28 Desember 2005. Sesuai Surat Keputusan Bupati Trenggalek Nomor 702/2005, tentang pemberian izin kuasa pertambangan (KP) tertanggal 28 Desember 2005 dengan luas 17.586 hektar.

Dua tahun kemudian, SMN mendapat izin berdasarkan Keputusan Bupati Trenggalek bernomor 188.45/466/425.012/2007 tertanggal 14 Desember 2007 seluas 30.044 hektar.

Kemudian, terbit UU Pertambangan Mineral dan Batubara 2009, izin SMN disesuaikan jadi izin usaha pertambangan (IUP). Ia sesuai Surat Keputusan Bupati Trenggalek Nomor 188.45/715/425.013/2009. Surat ini menyebutkan soal persetujuan IUP eksplorasi emas tertanggal 2 November 2009 seluas 30.004 hektar.

Lalu, keluar SK Nomor 188.45/963/406.004/2012 tertanggal 3 Desember 2012 tentang perubahan luas wilayah IUP jadi 29.969 hektar.

Kemudian, ada perpanjangan IUP lewat Keputusan Bupati Trenggalek tertanggal 28 Mei 2013, masa berlaku sampai 2 November 2016.

Ada UU tentang Pemerintah Daerah No 23/2015, maka kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan dari bupati ke gubernur. SMN pun lanjut eksplorasi emas dmp berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur tertanggal 22 Maret 2016 seluas 29.969 hektar.

Masa eksplorasi, SMN sudah menyusun dokumen pengelolaan lingkungan hidup dan telah mendapatkan rekomendasi tertanggal 31 Agustus 2012. SMN dinilai layak lingkungan untuk eksplorasi emas pada areal seluas 29.969 hektar, sesuai masa izin IUP.

Pada 2016, karena ada perubahan kewenangan juga mengubah masa berlaku IUP eksplorasi sampai 2 November 2018. Rekomendasi keluar, terhadap kegiatan eksplorasi meliputi sembilan kecamatan. Yakni, Kecamatan Munjungan, Watulimo, Kampak, Suruh, Pule, Tugu, Karangan, Dongko dan Gandusari.

Bupati Trengggalek pun menerbitkan izin lingkungan eksplorasi emas dmp sesuai keputusan tertanggal 29 Agustus 2016.

SMN pun bukanlah pihak yang pertama kali eksplorasi di Trenggalek. Menurut dokumen sama, jauh sebelum itu, sudah ada PT Aneka Tambang (Antam), perusahaan negara.

Dari hasil pemetaan geologi, prospeksi geokimia sungai, dan pemboran pandu (scout drilling), Antam menjumpai ada beberapa anomali geokimia dari sampel sedimen sungai. Bahkan, pemetaan pendahuluan (reconnaissance) oleh perusahaan pelat merah ini juga berhasil mengidentifikasi mineralisasi emas di wilayah Sentul–Buluroto, dua lokasi prospek garapan SMN.

 

Rencana penambangan emas oleg PT. SMN dikhawatirkan mengganggu ekosistem karst yang banyak bertebaran di Kabupaten Trenggalek. Tampak salah satu pegunungan karst di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Foto: Widya Andriana

 

Cadangan produksi bijih sekitar 813.539 ton. SMN juga memperhitungkan penambangan terbuka (open pit) selama empat tahun dengan masa ramp up tahun pertama 75% dari total kapasitas produksi maksimal.

SMN memperkirakan, total produksi per tahun 270.000 ton bijih. Bahkan, dalam 2021, SMN menargetkan ada produksi 30.000 ton bijih (ore).

Untuk prospek Sentul- Buluroto berada di Desa Karagrejo dan Ngadimulyo, sama-sama Kecamatan Kampak. Lokasi ini terdiri dari tiga blok penambangan, yaitu Blok Buluroto Selatan, Sentul Barat, dan Sentul Timur.

Sesuai dokumen perencanaan SMN, total lahan untuk penambangan pertama ini 357, 790 hektar. Atau, sekitar 2,79% dari IUP produksi seluas 12.833,57 hektar. Luasan itu untuk penambangan dan sarana prasarana pendukung.

Dalam dokumen amdal itu, SMN menyatakan, kendati tak terlalu besar tetapi, potensi cadangan cukup secara ekonomis. Terlebih lagi, terdapat beberapa potensi tambahan sumber daya yang telah teridentifikasi.

“Tambahan sumberdaya yang sudah teridentifikasi berada di sebelah Utara Sentul-Buluroto. Sudah cukup banyak singkapan vein dengan dimensi berkisar -15 m dengan panjang searah jurus berkisar 1,5 km,” tulis SMN dalam dokumen perencanaannya.

Purwadi, Kepala Desa Karangrejo, mengatakan, produksi SMN molor lebih karena kondisi perusahaan tengah kesulitan modal. “Investornya nggak ada. Jadi, menunggu investor.”

Perwakilan SMN, katanya, sempat mendatangi balai desa, awal Maret lalu. Perusahaan menyampaikan izin produksi sudah keluar. Dari pembicaraan dengan SMN, perusahaan masih menunggu investor guna memulai aktivitas penambangan di Blok Sentul.

“Izin memang sudah ada. Untuk menambang, tidak mungkin SMN yang melakukan karena tidak ada uangnya.”

Mongabay berusaha meminta penjelasan Max Sialipan, Site Manager SMN, yang datang ke balai desa,  tetapi dua nomor tetepon genggam Max tak aktif. Kantor perwakilan SMN di Karangan, Trenggalek, juga sudah tutup.

 

Daya rusak tinggi, batalkan izin

Bukan hanya ‘tak bermodal’, perusahaan juga belum setor jaminan reklamasi. Situasi itu memunculkan dugaan bila perusahaan hanya broker atau perusahaan cangkang sebagai pencari wilayah konsesi tambang.

“Artinya, secara kelembagaan juga tidak jelas. Dari sisi kepemilikan saham itu juga tidak sehat, karena perusahaan-perusahaan yang dibentuk oleh orang-orang itu aja. Dengan manipulasi penyertaan saham yang tidak jelas,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Dia juga mempertanyaan soal pemberian status cear and clean kepada perusahaan ini oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Sebelum memberikan status CnC, kementerian seharusnya meneliti kondisi keuangan perusahaan, administrasi, jejak pajak, hingga kewajiban-kewajiban lain.

 

 

“Memiliki sejumlah izin, tapi untuk dijual ke perusahaan lain. Izin-izin dipakai sebagai jaminan pinjaman bank atau di pasar uang untuk mendapat kucuran dana. Itu permainan kotor dalam bisnis pertambangan.”

Merah mendesak, bupati membuat surat resmi kepada Pemprov Jatim agar membatalkan izin SMN. Kalau tidak, katanya, akan membahayakan kelangsungan makhluk hidup di sekitar.

“Bupati yang sekarang bisa meminta mengkaji ulang. Kalau dipaksakan jelas sangat berbahaya. Dari luasan saja itu patut dipersoalkan. Belum lagi penolakan-penolakan dari warga sekitar,” kata Merah.

Selain persoalan regulasi, dia juga menjelaskan daya rusak dari penambangan ini. Berbeda dengan pertambangan non logam, katanya, tambang emas memiliki daya rusak sangat tinggi. Belum lagi penggunaan sianida dan mercuri dalam proses pengolahan emas nanti, sangat mungkin terpapar kemana-mana.

“Penambang pasti akan menggunakan dua racun kimia itu untuk memisahkan emas dengan material lain. Setelah itu akan dibawa kemana? Ya pasti dibuang ke sungai-sungai. IPAL (instalasi pengelolahan air dan limbah) hanya mampu menangkap sebagian. Sisanya, pasti lepas, meresap ke tanah,” katanya.

Dia bilang, bagi yang pro tambang, akan berdalih sudah ada kajian amdal untuk memproteksi kemungkinan-kemungkinan dampak kerusakan dari penambangan. Dalam banyak kasus, katanya, dokumen itu tak ubahnya formalitas belaka. Kerusakan dan pencemaran tetap terjadi.

Sebagaimana disebutkan pada dokumen amdal, katanya, hanya akan meminimalisasi dampak bukan menghilangkan. “Itu pun jika diawasi. Belum ada ceritanya penambangan emas bebas pencemaran. Kandungan sianida dan merkuri pasti akan masuk ke tanah.”

Daya rusak penambangan emas, katanya, sudah mulai dari tahap awal. Seperti dokumen amdal yang didapat Mongabay, proses penambangan dengan metode open pit. Kegiatan ini, kata Merah, akan diawali pembersihan lahan di lokasi tapak.

Kalau lahan berupa kawasan hutan, maka, pembersihan dengan menebangi pohon. Atau kalau lokasi itu berupa permukiman, akan ada penggusuran.

Kalau sudah begitu, katanya, ekosistem akan rusak. Ragam flora dan fauna bakal hilang, termasuklah sumber air sekitar.

“Lama-lama pasti akan tergusur sendiri. Mana ada warga bisa tahan dengan operasi pertambangan. Mereka pasti akan terusir, baik langsung atau tidak. Kalau tidak begitu, pasti terjadi konflik,” kata Merah.

Begitu pembersihan lahan selesai, lanjut dengan peledakan dengan dinamit atau TNT. Kerusakan kembali berlanjut saat proses penggalian. Perubahan struktur tanah dan bebatuan dampak penggalian akan memunculkan air asam.

Materi yang sudah bercampur dengan residu dari bahan peledak itu akan terlarut ke dalam tanah. Atau bahkan terbawa air ke sungai saat hujan.

“Ini kan karst ya, kawasan yang biasa menyimpan air. Itulah pangkal atau hulu dari sungai-sungai. Kalau di hulu rusak, hilir sampai perairan laut juga akan ikut rusak karena sungai-sungai itu muaranya ke laut.”

Setelah itu, penambangan mulai dengan peledak. Pada tahap ini, kerusakan kedua kembali terjadi. Suara bising, getaran hingga residu sisa ledakan berupa bahan kimia berbahaya dipastikan terpapar kemana-mana. Termasuk, air asam meningkat sebagai dampak perubahan struktur tanah. Dengan posisi lokasi di ketinggian, materi berbahaya dan mengandung air asam itu akhirnya masuk ke sungai hingga terbawa ke laut.

“Pada setiap penambangan emas, itu pasti akan ada run off, air yang keluar dari tempat pengolahan limbah. Ini yang biasa masuk ke tanah dan mengalir juga ke sungai. Air yang sudah mengandung logam-logam berat itu terbawa ke laut. Bisa dibayangkan, ikan-ikan juga pasti akan mati atau pergi,” katanya.

Proses peledakan pun, katanya, akan mengakibatkan struktur tanah berubah yang akhirnya menghasilkan air asam. Dalam waktu sama, kadar kandungan logam-logam pada air akan mengalami peningkatan. Berikutnya, air jadi lebih keruh dan menciptakan sedimentasi di badan-badan sungai.

Begitu juga pada tahap pengangkutan. Menurut Merah, penambangan membutuhkan akses jalan memadai. Dengan begitu, akan ada pembukaan jalan. Akhirnya, lalu lalang kendaraan melintas mengeluarkan partikel debu. Dengan begitu, logam-logam berat terpapar ke manusia melalui udara.

Tahap terakhir dari operasi tambang emas, katanya, adalah pengolahan. Oleh penambang, bijih emas akan direndam ke kolam yang bercampur cairan sianida atau mercuri. “Setelah itu, baru sisa biji emas yang tidak terpakai, pasti akan menjadi timbunan limbah karena belum ada teknologinya untuk mengolahnya,” katanya.

Rere Cristanto, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, mengatakan hal senada. Pertambangan terbuka di Trenggalek, bakal lebih banyak mendatangkan kerugian ketimbang manfaat. Terlebih, katanya, topografi Trenggalek didominasi perbukitan dan pegunungan. Belum lagi sebagian wilayah konsesi di hutan lindung dan karst.

Andang Bachtiar, Ketua Dewan Pengawas Ikatan Ahli Geologi, mengatakan, mengingat peran penting karst, selayaknya kawasan itu dilindungi. Jadi, sebelum penambangan, harus dipastikan status wilayah itu. “Sangat penting melindungi karst. Tidak bisa serta merta ditambang.”

Begitu juga dikatakan M. Izzuddin Zakky, Ketua GP. Ansor Trenggalek. Dia mendesak, pemerintah tidak melanjutkan rencana penambangan emas itu. Dia menilai, tambang emas SMN hanya akan mendatangkan kesengsaraan ketimbang manfaat.

Menurut Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana UPN Yogyakarta, semua penambangan dipastikan menimbulkan risiko.

Persoalannya, tidak semua perhitungan detil risiko tuntas dilakukan. Misal, potensi risiko gangguan, kerusakan hingga kehilangan sumber penghidupan warga karena pertambangan.

Eko mengatakan, ketika manfaat bagi orang lain diukur dan dihitung, begitu juga risiko bagi warga wajib masuk hitungan. Jadi, katanya, wajib menghitung semua risiko atas penghidupan warga dan minta jaminan pada penambang.

“Dampak minimal yang akan hadir sudah ditulis pada amdal. Tetapi, siapa yang menjamin pengelolaan lingkungan dengan baik? Siapa juga yang harus bertanggung jawab terhadap dampak negatif, tambahan dan ikutan atau turunan dari kegiatan pertambangan?” (Bersambung)

 

 

*****

Foto utama:Kawasan karst Trenggalek, yang jadi incaran perusahaan tambang, salah satu tambang emas. Foto: Widya Andriana

Exit mobile version