Mongabay.co.id

Menyiapkan Jurus Tepat untuk Mendulang Rupiah dari Perikanan

 

Potensi yang besar tak menjadikan sektor kelautan dan perikanan bisa menghasilkan kas Negara dengan jumlah yang banyak. Selama ini, sektor tersebut menjadi salah satu yang paling sedikit menghasilkan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP).

Bahkan, saat ini PNBP yang berasal dari kelautan dan perikanan jumlahnya masih berkisar di angka Rp600 miliar dan berasal dari izin penangkapan ikan. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan besarnya potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia.

Demikian kesimpulan yang diungkapkan Kepala Badan Riset Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja belum lama ini di Jakarta.

Masih rendahnya angka PNBP tersebut, bertentangan dengan program prioritas yang sudah ditetapkan oleh KKP. Salah satunya, adalah meningkatkan PNBP dari sumber daya alam perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.

Menurut Sjarief Widjaja, untuk bisa mewujudkan peningkatan PNBP, maka diperlukan perubahan cara berpikir yang ada di lingkup KKP saat ini. Jika selama ini fokus banyak dilakukan pada proses perizinan penangkapan ikan, maka untuk berikutnya itu sebaiknya harus diubah.

“Yaitu dengan menggratiskan (biaya) perizinan penangkapan ikan dan mengenakan tarif PNBP saat menurunkan hasil tangkapan setelah selesai melaut,” ucap dia.

baca : Ada Potensi Kerugian Negara Rp137 Miliar Dari Perikanan Ilegal Kapal Ikan

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dengan perubahan tersebut, maka target KKP yang ingin meraih PNBP hingga senilai Rp12 triliun pada 2024 mendatang diyakini akan bisa diwujudkan. Tetapi, untuk bisa mewujudkannya, pekerjaan berat harus dilakukan dari sekarang, dengan membuat strategi dan terobosan.

Di antara upaya yang bisa dilakukan untuk mengejar target pada 2024 nanti, adalah mengembangkan riset, salah satunya melalui rencana kolaborasi dengan salah satu badan usaha milik negara (BUMN) yang fokus pada bidang elektronika.

“Dengan teknologi tinggi, ikan hasil tangkapan bisa langsung dideteksi jumlah, jenis dan beratnya oleh peralatan canggih, sehingga dapat diketahui tarif PNBP-nya,” jelas dia.

Sjarief Widjaja menyebutkan, saat ini BRSDM KP sudah mulai merintis untuk melakukan penyusunan beragam instrumen, peralatan yang harus dipasang di kapal penangkap ikan agar bisa mendeteksi dengan baik. Jadi, kalau ikan ditangkap, bisa langsung terdeteksi secara detail datanya.

 

Teknologi Perikanan

Melalui peralatan yang dipasang, maka nantinya ikan yang ditangkap bisa diketahui jenis apa, berapa harga di pasaran, dan seberapa banyak pendapatan yang akan masuk. Dengan demikian, saat kapal mendarat di pelabuhan, maka biaya yang harus dikeluarkan juga sudah jelas.

Secara teknis, teknologi yang akan dilibatkan dalam proses di atas, adalah electronic scaling, dan pattern recognition. Setelah penggunaan keduanya, proses berikut yang dilakukan adalah mengabadikan gambar dari ikan yang sudah ditangkap melalui kamera.

“Kemudian, (akan) tahu ini ikan Kerapu, ini ikan Kakap Merah, dan seterusnya. Berapa harganya, Tuna, Tongkol, Cakalang. Riset menjadi utama di sini,” kata dia.

baca juga : Adopsi Teknologi Terkini oleh Kapal Perikanan

 

Buruh nelayan saat melakukan bongkar ikan di PPN Brondong. Pada tahun 2020 data PPN Brondong menunjukkan, jumlah tenaga kerja yang terserap kurang lebih 12.887 orang, dengan jumlah nelayan 9.641 orang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia.

 

Untuk mengembangkan teknologi yang dibutuhkan, BRSDM KP akan melaksanakan secara intens mulai 2021 hingga 2025 mendatang. Pengembangan, mencakup untuk mempersiapkan perangkat instrumen, alat ukur, monitoring, surveillance untuk kapal ikan yang sedang berada di lautan.

“Sehingga jelas kapal yang menangkap, pemiliknya siapa, kewajibannya bagaimana,” tambah dia.

Selain perikanan tangkap, pengembangan juga dilakukan pada subsektor perikanan budi daya dengan melibatkan peran riset dan teknologi. Pengembangan tersebut dilakukan, karena perikanan budi daya memiliki komoditas unggulan yang bisa menghasilkan PNBP.

Sebut saja, komoditas seperti Lobster, Udang, dan rumput laut yang potensinya masih sangat besar untuk bisa dikembangkan dan menjadi komoditas ekspor. Salah satu pengembangan yang dilakukan, adalah penggunaan teknologi tinggi pada tambak udang seluas 10 ribu hektare yang ada di Aceh Timur.

Pengembangan perikanan budi daya tersebut, juga menjadi bagian dari program prioritas KKP yang berjalan selama 2021 hingga 2024 mendatang. Tujuan akhir dari pengembangan tersebut, adalah bagaimana perikanan budi daya bisa meningkatkan komoditas ekspor dengan sangat baik.

Selain dua subsektor di atas, program prioritas yang sudah ditetapkan KKP untuk masa kerja 2021 hingga 2024, adalah pengembangan komoditas lokal unggulan, sekaligus mengembangkan kampung perikanan budi daya berbasis kearifan lokal.

Contoh kampung perikanan, adalah kampung Nia, kampung Patin, kampung Lele, kampung Gabus, dan kampung Garam. Kampung-kampung tersebut menyebar di berbagai kabupaten/kota di seluruh provisi. Misalnya, salah satunya ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.

“Ketiga prioritas tersebut didukung oleh pengembangan riset kelautan dan perikanan,” tegas dia.

baca juga : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Perhitungan Keliru

Terpisah, Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) M Zulficar Mochtar mengatakan bahwa target PNBP yang ditetapkan oleh KKP sebesar Rp12 triliun pada 2024, merupakan target yang ambisius. Hal itu, karena rencana tersebut dilakukan saat ekonomi perikanan sedang tumbuh negatif.

Kondisi tersebut bisa terjadi, karena pendataan hasil tangkapan yang belum optimal, sementara di saat yang sama biaya pungutan perikanan juga sangat banyak dan itu membebani dunia usaha kelautan dan perikanan. Di lain sisi, perhitungan PNBP juga dinilai keliru formulanya.

“Repatriasi dan pemanfaatan PNPB perikanan diharapkan dapat memberi rasa keadilan bagi pelaku usaha dan nelayan,” ungkap dia.

Kekeliruan formula PNBP tersebut, harus segera untuk dikoreksi sebelum diberlakukan oleh KKP. Hal itu diutarakan Direktur Ocean Solutions Suhana dalam sebuah webinar yang digelar belum lama ini di Jakarta. Menurut dia, KKP harus berani memperbaiki, karena bisa menyebabkan kesalahan lanjutan.

Dalam penilaian dia, formula perhitungan PNBP masih kurang pas, karena masih memasukkan nilai produksi yang didapat dari hasil penangkapan ikan oleh semua jenis kapal. Padahal, selama ini PNBP hanya dipungut pada kapal ukuran di atas 30 gros ton (GT).

Suhana memaparkan, struktur armada perikanan yang ada saat ini masih didominasi oleh kapal berukuran di bawah 30 GT. Rinciannya, kapal di atas 30 GT jumlahnya saat ini hanya mencapai 4.288 unit atau hanya mencakup satu persen saja untuk kapal di atas 30 GT dari total 571 ribu kapal perikanan yang ada sekarang.

Di sisi lain, kondisi perekonomian dari sektor kelautan dan perikanan nasional kinerjanya terus negatif dan bahkan menjadi yang terburuk setelah krisis ekonomi pada 1998. Pada 2020, pertumbuhan ekonomi perikanan hanya mencapai 0,73 persen, lebih rendah dibanding 1998 yang mencapai 1,92 persen.

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ridwan Mulyana mengatakan bahwa perhitungan nilai PNBP terus dimatangkan untuk mencapai hasil terbaik. Saat ini, pihaknya sedang menyiapkan langkah-langkah untuk implementasi PNBP setelah produksi berjalan.

Persiapan yang sedang dilakukan tersebut, mencakup konsolidasi data dan informasi untuk menetapkan target PNBP perikanan. Kemudian, melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan di pelabuhan perikanan, seperti timbangan dalam jaringan (daring), kamera pintar, kartu pintar, kamera pengawas.

“Akan segera kami install di pelabuhan perikanan untuk mendukung kebijakan PNBP ini,” tegas dia.

Diketahui, realisasi PNBP perikanan pada 2020 nilainya mencapai Rp600,4 miliar dan menjadi realisasi tertinggi sejak 2016 yang mencapai Rp357 miliar. Rinciannya, pada 2017 jumlah PNBP sebesar Rp491 miliar, 2018 sebesar 448 miliar, dan 2019 sebesar Rp521 miliar.

 

Exit mobile version