Mongabay.co.id

Status Burung Liar Indonesia: Ada 18 Spesies Baru, Total 1.821 Jenis

 

 

Kabar baik datang dari dunia konservasi burung liar Indonesia. Tahun 2021 ini, dipastikan Indonesia memiliki 1.812 jenis burung, bertambah 18 jenis dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 1.794 jenis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 557 jenis berstatus dilindungi.

Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia menjelaskan, penambahan jumlah jenis burung di Indonesia karena adanya pemecahan taksonomi.

Taksonomi adalah cabang ilmu hayat yangg menelaah penamaan, perincian, dan pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan pembedaan sifatnya.

“Perkembangan pesat teknologi dan peningkatan minat masyarakat terhadap aktivitas pengamatan burung, turut berkontribusi bagi perkembangan dunia ornitologi dan konservasi,” terangnya melalui keterangan tertulis, Rabu [28/4/2021].

Bahkan menurutnya, laporan hasil pengamatan melalui observatorium sains warga seperti e-Bird berkontribusi terhadap penambahan 16 jenis ke dalam daftar burung yang tercatat di Indonesia.

“Pada 2020 misalnya, dua jenis burung yakni cendrawasih-kerah tengah [Lophorina feminine] dan perling dagu-ungu [Aplonis circumscripta] mengalami pemecahan taksonomi menjadi empat jenis berbeda. Kondisi ini menambah dua jenis baru dalam daftar burung di Indonesia.”

Cendrawasih-kerah tengah sebelumnya dikategorikan sebagai anak jenis cendrawasih kerah [Lophorina superba] dan perling dagu-ungu dari perling ungu [Aplonis metallica]. Keduanya dikategorikan sebagai jenis tersendiri karena memiliki karakteristik morfologi yang berbeda berdasarkan analisis terbaru.

Baca: Aplonis Metallica, Pernah Dengar Namanya?

 

Aplonis metallica, burung yang memiliki ekor runcing dan paruh kuat. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

 

“Dalam beberapa kasus, penambahan informasi dalam penentuan kriteria bisa memicu penurunan status keterancaman. Ini seperti yang terjadi pada kowak jepang [Gorsachius goisagi], kepudang-sungu kai [Edolisoma dispar], dan bangau sandang-lawe [Ciconia episcopus],” katanya.

Namun berbeda dengan gajahan tahiti [Numenius tahitiensis] yang mengalami penurunan keterancaman karena intensitas perburuan telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Hal yang menunjukkan adanya tanda-tanda populasi jenis tersebut mulai pulih di beberapa bagian wilayah jelajahnya.

Baca: Julang Sulawesi, Jenis Burung yang Selalu Setia pada Pasangannya

 

Empuloh janggut [Alophoixus bres]. Foto: Burung Indonesia/Muhammad Meisa

 

Kondisi yang berbeda terjadi pada burung petrel irlandia-baru [Pseudobulweria becki]. Burung yang terpantau di sekitar Laut Halmahera, sebelumnya diketahui hanya tersebar di Kepulauan Bismarck, Papua Nugini dan Pulau Solomon, kini semakin terancam nasibnya. Bahkan, sudah dikategorikan sebagai jenis Kritis [Critically Endangered/CR] oleh Badan Konservasi Dunia [IUCN].

Penyempitan habitat karena berkurangnya tutupan hutan juga menjadi masalah keberadaan burung di Indonesia. Beberapa jenis yang merasakan dampak masalah ini seperti perkici dada-merah [Trichoglossus forsteni], empuloh janggut [Alophoixus bres], empuloh pipi-kelabu [Alophoixus tephrogenys], cucak aceh [Pycnonotus snouckaerti], dan anis kembang [Geokichla interpres].

Empuloh janggut bahkan kini diperkirakan telah mengalami penurunan hingga 50% dari populasi asli di wilayah persebarannya, di Pulau Jawa dan Bali.

“Kondisi ini sekaligus menyoroti pentingnya upaya lebih serius dalam mengurangi dampak perburuan maupun penangkapan burung dari alam,” ujar Achmad Ridha.

Baca: Hilang Selama 172 Tahun, Burung Pelanduk Kalimantan Ditemukan Kembali

 

Burung pelanduk kalimantan yang ditemukan kembali setelah 172 tahun menghilang. Foto: Muhammad Rizky Fauzan

 

Ditemukan setelah ratusan tahun hilang

Kabar temuan burung yang ratusan tahun dianggap hilang juga mewarnai tahun ini. Akhir 2020 lalu misalnya, Panji Gusti Akbar, dari Kelompok Ornitologi Indonesia Birdpacker mempubliskan laporannya di Jurnal Birding Asia Vol. 34 tahun 2020 terkait penemuan burung pelanduk kalimantan [Malacocincla perspicillata] yang dianggap hilang selama 172 tahun.

Temuan fenomenal itu bermula pada 15 Oktober 2020 lalu, saat itu Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan menangkap burung yang tak mereka kenali di hutan Kalimantan.

Tak hanya itu, penemuan burung hantu rajah borneo [Otus brookii brookii] di alam liar sejak terakhir diketahui tahun 1892, alias menghilang selama 125 tahun, juga menjadi kabar utama tahun 2021 ini.

Ahli ekologi dari Smithsonian Migratory Bird Center, Andy Boyce, menyatakan penemuan burung itu di pegunungan Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia. Temuan itu dipublikasikan di The Wilson Journal of Ornithology, Senin [03/5/2021].

Selama ini diketahui ada dua subspesies burung hantu rajah di Asia Tenggara, yaitu Otus brookii brookii di Pulau Kalimantan dan Otus brookii solokensis di Sumatera.

Menurut Andy Boyce, dikutip dari Kompas.id, penemuan rajah borneo secara kebetulan terjadi pada Mei 2016 sebagai bagian dari studi 10 tahun evolusi sejarah hidup burung di Gunung Kinabalu, di tujuh plot studi pada ketinggian 1.500-1.900 meter.

Proyek ini dipimpin oleh TE Martin, ahli biologi penelitian satwa liar di Montana Cooperative Wildlife Research Unit di University of Montana.

 

 

Indonesia rumah burung liar

BirdLife International mencatat, Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 17% jumlah jenis burung di dunia, dan menempati posisi ke-4 dalam hal kekayaan jenis burung. Namun, berdasarkan endemisitasnya, Indonesia berada pada urutan ke-1 sebagai pemilik jenis burung endemis terbanyak di dunia.

Berdasarkan status keterancamannya, terdapat 179 jenis burung di Indonesia yang masuk dalam daftar jenis burung terancam punah secara global. Rinciannya, 31 jenis kategori Kritis atau satu langkah lagi menuju status kepunahan; 52 jenis dinyatakan Genting [Endangered/EN]; dan 96 jenis Rentang terhadap kepunahan [Vulnerable/VU].

Meski upaya konservasi telah banyak dilakukan, sebagian populasi jenis burung tetap mengalami kemerosotan populasi di alam. Selain deforestasi, perburuan, dan penangkapan burung dari alam menjadi faktor utama penyebab penurunan populasi tersebut.

 

 

Exit mobile version