Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial Tak Sekadar Beri Hak Kelola Hutan

Sungai yang mengalir dari hutan Nagari Sumpur Kudus,Sijunjung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia.

Sungai yang mengalir dari hutan Nagari Sumpur Kudus,Sijunjung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia.

 

 

 

 

Percepatan pemberian akses kepada masyarakat dalam mengelola hutan lewat perhutanan sosial, harus berjalan bersama dengan pendampingan maupun dukungan pengembangan usaha agar mendorong kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Begitu dikatakan Yozarwardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, saat membuka workshop perhutanan sosial kerjasama KKI Warsi, baru-baru ini.

Workshop diikuti perwakilan pemerintah kabupaten kota yang mendapatkan izin hutan kemasyarakatan serta anggota Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN).

Sumatera Barat, katanya, satu provinsi pelopor spirit keberpihakan dan ekselerasi pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat dengan bentuk hutan nagari, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, maupun rimbo larangan dan bentuk lain.

Daerah ini, katanya, telah mengalokasikan kawasan hutan negara seluas 500.000 hektar untuk perhutanan sosial. Saat ini, katanya, sekitar 228.074 hektar kawasan hutan sudah dikelola masyarakat dengan 162 unit, terdiri dari 99 hutan nagari, 50 hutan kemasyarakatan, empat HTR dan lima hutan adat serta empat Kemitraan Kehutanan.

Pertanyaan besar yang selalu muncul saat fasilitasi pada level tapak, katanya, bagaimana pengembangan pengelolaan optimal hutan sosial ini hingga bermanfaat bukan hanya secara lingkungan, juga ekonomi dan sosial budaya masyarakat.

Dia bilang, potensi sumberdaya alam di hutan sosial ini sangat beragam, mulai hasil hutan bukan kayu, potensi air untuk sumber energi, air minum, irigasi serta perikanan, potensi ekowisata, peternakan dan lain-lain.

Selain potensi sumberdaya alam, ada juga modal sosial yang terbangun seperti aturan adat, kelembagaan pengelola, kelembagaan keuangan mikro serta pengalaman dalam mengelola hasil hutan bukan kayu.

Saat ini, katanya, pada beberapa lokasi perhutanan sosial perlu dukungan fasilitas terkait pemasaran produk-produk hasil hutan bukan kayu. Dia contohkan, di Hutan Nagari Pasia Laweh dan Hutan Nagari Pagadih di Palupuh Agam perlu pembeli rotan dan manau. Ada juga gula semut produksi Hutan Kemasyarakatan Suka Menang Air Kacang Talamau, Pasaman Barat, perlu pemasaran dan masih banyak lagi seperti gaharu, madu, kemiri, sirup pala dan lain lain.

Sayangnya, potensi sumberdaya alam dan modal sosial yang luar biasa ini masih belum terkonsolidasikan, termanfaatkan dan terdukung dengan baik. Untuk itu, kata Yoza, perlu dukungan fasilitas untuk pengembangan aneka usaha produk HHBK ini.

 

Baca juga:Aturan Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Terbit

Hutan Nagari Sirukam di Kabupaten Solok. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Kelompok masyarakat pengelola hutan, katanya, juga masih ada yang perlu difasilitasi dalam meningkatkan kualitas produk serta pemasaran.

Dia nilai, pengelolaan potensi dan produk masyarakat tak optimal karena kebijakan pemerintah daerah belum sinergi. Untuk itu, langkah dan kebijakan pemerintah harus berkolaborasi.

Di beberapa kabupaten dan kota, katanya, sudah terbangun kolaborasi. “Sekarang kita ingin seluruh kabupaten, kota juga memahami tentang konsep perhutanan sosial dan konsep pemberdayaan,” katanya .

Perhatian Pemerintah Sumbar terhadap inisiatif perhutanan sosial, katanya, sangat tinggi. Perhutanan sosial, jadi kebijakan prioritas bagi pembangunan daerah provinsi.

“Sekitar 82% nagari berada dalam dan sekitar hutan. Ini mengisyaratkan masyarakat Sumbar bergantung pada hutan. Hutan dapat jadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat, atau pemanfaatan jasa lingkungan melaui pemanfaatan sumber daya hutan hingga ekonomi dapat berjalan berkelanjutan,” kata Yoza.

Pada 2021 dan 2022, Dinas Kehutanan menargetkan penambahan luasan 100.000 hektar, dengan masing-masing target tahunan 50.000 hektar.

“Perhutanan Sosial akan jadi subyek pembangunan daerah,” kata Zefnihan, Sekretaris Daerah Sijunjung.

Pemerintah Sijunjung, katanya, akan menetapkan model pengembangan database nagari di Sumpur Kudus, pengembangan usaha dan peningkatan kapasitas kelompok perhutanan sosial. Juga, pengembangan pertanian organik berbasis perhutanan sosial, kolaborasi pengelolaan Geopark Sijunjung dengan kelompok perhutanan sosial, serta pengembangan usaha masyarakat.

Rainal Daus, Koordinator Program Warsi, menyambut baik dukungan pemerintah daerah. Dia bilang, pola pendampingan dalam pengembangan inisiatif pengelolaan sumber daya alam berbasis perhutanan sosial dengan pendekatan fasilitasi intensif di lapangan.

“Warsi bersama pemerintah daerah berkegiatan di sembilan kabupaten dan satu kota, dengan 53 nagari di Sumbar.”

Warsi, katanya, menekankan pemberdayaan intensif di tingkat tapak. “Pilihan pendekatan utama Warsi adalah kolaborasi, terutama dengan para pihak yang akan mendukung upaya pengolahan hutan oleh masyarakat,” katanya.

Afri, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, dalam rapat koordinasi bersama presiden November 2020, menyatakan, tentang arahan penguatan perhutanan sosial di lapangan. Data perhutanan sosial secara nasional sekitar 4,4 juta hektar. Presiden menginstuksikan ada pendampingan untuk program ini, dan dukungan sarana dan prasarana.

Arahan presiden ini, katanya, makin menegaskan perhutanan sosial sebagai prioritas dalam pengentasan kemiskinan seperti termuat dalam RPJMN 2020-2024.

Dewi Yuliani, Direktur Perencanaan Teknis Pembangunan Desa dan Perdesaan, mengatakan, perhutanan sosial hampir semua menyasar masyarakat desa di sekitar hutan sejalan dengan arah kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) desa.

 

Baca juga:Perhutanan Sosial Dorong Reforestasi, Bukan Legalisasi Deforestasi

Para ibu di kawasan hutan Nagari Sumpur Kudus,Sijunjung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia.

 

******

Foto utama: Sungai yang mengalir dari hutan Nagari Sumpur Kudus,Sijunjung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version