Mongabay.co.id

Belajar dari Siklon Tropis Seroja. Bagaimana Antisipasinya?

Material banjir yang memenuhi pemukiman warga di bantaran kali di Kelurahan Waiwerang Kota, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Awal April 2021 Siklon Tropis Seroja melanda wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bencana Hidrometeorologi tersebut mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan yang parah di 21 kabupaten dan kota yang terdampak bencana.

BNPB menggelar Rapat  Koordinasi (Rakor) Tim Intelijen Penanggulangan Bencana (TIPB), Kamis (29/4/2021), secara tatap muka dan daring ini menghadirkan narasumber dari BMKG, PVMBG, Kementerian PUPR, Kementrian Kesehatan, BIG, LAPAN, ahli bencana dari UGM dan IPB serta BPBD seluruh Indonesia dan awak media.

Raditya Jati, Plt.Deputi Sistem dan Strategi BNPB tekankan negara Indonesia adalah negara kepulauan sehingga pastinya dalam pengamanannya pun akan sangat bervariasi. Disebutkannya berdasarkan kajian, upaya yang harus dilakukan lebih banyak.

“Kedepannya harus mengupayakan mitigasi dan pencegahan. Memperbanyak simulasi-simulasi bencana kepada masyarakat termasuk literasi kebencanaan bisa diakses secara langsung oleh masyarakat,” harapnya.

baca : Pasca Bencana Siklon Seroja, Mitigasi Bencana Harus jadi yang Utama

 

Dampak esktrem Siklon Tropis Seroja tanggal 5 sampai 12 April 2021. Sumber : BMKG

 

 

Tidak Diduga

Plh. Sekretaris BPBD Provinsi NTT, Sintus Carolus memaparkan, Siklon Tropis Seroja menyebabkan 182 jiwa meninggal dunia, 47 jiwa hilang, 184 luka-luka serta 84.876 jiwa mengungsi, dengan 63 titik penampungan pengungsi yang tersebar di 10 kabupaten kota.

Sintus memaparkan beberapa masalah yang dialami dalam proses penanganan bencana. Pertama, jangkauan akses ke daerah terisolir mengalami hambatan komunikasi maupun transportasi.

Masalah kedua, irama penetapan status tanggap darurat antara kabupaten dan kota serta provinsi. Ketiga, sifat ancaman siklon tropis bukan tunggal tapi kompleks sehingga infrastruktur menjadi masalah.

Pada bulan September 2020, BPBD NTT sudah menerima pemberitahuan dari BMKG terkait potensi adanya siklon tropis. Informasi tersebut diteruskan ke kabupaten dan kota melalui surat penegasan gubernur NTT maupun sosialisasi tanggap bencana.

Digelar sosialisasi melalui radio tanggap bencana bekerjasama dengan RRI serta dilakukan himbauan dan penegasan mengenai pencegahan dan kesiapsiagaan.

“Bulan Januari sampai Februari 2021 terjadi berbagai bencana diantaranya banjir, angin kencang dan longsor di 3 kebupaten terdampak. Kami melaksanakan koordinasi dengan kabupaten dan mengeluarkan SK Siaga Darurat melalui penetapan gubernur,” terangnya.

baca juga : Pulau dan Danau Baru Terbentuk di NTT Usai Siklon Tropis Seroja Melanda. Seperti Apa?

 

Peta situasi bencana aliran bahan rombakan atau banjir bandang di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur,Kabupaten Lembata,NTT. Sumber : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

 

Sintus katakan, badai Seroja membawa banyak jenis bencana yang tidak diperkirakan sebelumnya. BPBD telah memiliki kajian resiko terkait ancaman bencana pada beberapa wilayah.

Beberapa LSM melakukan penguatan kapasitas di masyarakat. Bahkan Pemprov NTT telah menyusun Rencana Kontingensi (Renkon) dalam menghadapi ancaman bencana.

“Ketika ancaman bencana datang dalam kompleksitas membuat kami mencari arah dalam melihat kondisi ini. Persoalan ini yang dihadapi dan menjadi pembelajaran dalam menghadapi badai siklon tropis,” ungkapnya.

Sintus mengakui, informasi  data dari BMKG selalu ada di tingkat provinsi tetapi di tingkat kabupaten, untuk mengurainya kepada masyarakat belum baik. Dia katakan desa-desa yang sudah mendapatkan penguatan kapasitas desa tangguh bencana sudah memahami.

  

Perlu Perbaikan

Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo menyebutkan, ada masyarakat yang sudah menerima informasi soal akan ada badai siklon tropis dari BMKG dan ada yang tidak.

Agus katakan masyarakat tidak membayangkan bencana terjadi sebesar itu dan menganggap seperti angin kencang biasa karena kurangnya pemahaman tentang siklon tropis.

“Sistem peringatan dini perlu konten yang mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat. Rantai komunikasi Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana harus menyentuh kesiapsiagaan masyarakat dan tindakan keselamatan yang diperlukan,” harapnya.

perlu dibaca : Waspada, Siklon Tropis Masih Mengancam Wilayah-wilayah di Indonesia

 

Geomorfologi area terdampak dan dampak banjir bandang di Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

 

Agus sarankan mereview kembali dokumen kajian resiko bencana dan penanggulangan resiko bencana. Juga perlu pengetahuan masyarakat terkait penanggulangan bencana, tim siaga bencana dan lainnya.

Desa tanggap bencana dan relawan bencana perlu diaktifkan mendukung kesiapsiagaan masyarakat. Perlu dukungan dari tingkat nasional terkait kelembagaan BPBD dari sisi SDM maupun sarana dan pra sarana.

“Posko dan komando sudah berjalan dengan baik. Cuma di kabupaten Kupang fasilitas tidak memadai dan personilnya menggunakan laptop sendiri, peta operasinya tidak dimiliki. Personil BPBD rata-rata baru menjabat, pergantian pejabat sangat cepat sehingga transfer ilmu dan teknologi sangat sulit,” ungkapnya.

Agus katakan desa tangguh bencana yang dikunjungi sangat bagus dan ada lebih dari 20 desa di NTT. Sarannya perlu edukasi, sosialisasi  dan advokasi penanggulangan bencana kepada semua pihak pentaheliks secara masif  dan kontinyu.

Miming Saepudin, Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG menjelaskan sejak tahun 2008, terdapat 10 siklon tropis yang dirilis. Secara umum, kejadian siklon di dekat Indonesia antara April hingga Mei dan November sampai Desember.

Siklon tropis Kirrily, Cempaka, Dahlia, Lili dan Seroja merupakan yang paling dekat dengan daratan. Paling signifikan berdampak pada cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi.

Menurut Miming, Siklon Tropis Seroja paling lama siklus hidupnya dan terpanjang track siklonnya yakni NTT hingga barat daya Australia.

Ia katakan, hasil rekap BMKG, kejadian siklon tropis di NTT  paling sering di bulan April. Selain Seroja, ada kejadian pada bulan April  tahun 1973, 2002 dan 2003.

Ia sarankan kewaspadaan potensi siklon tropis di wilayah selatan Indonesia antara bulan November sampai Mei. Tingkat kejadian lebih tinggi dapat terjadi pada bulan April, Mei dan November.

baca juga : Pasca Banjir Bandang di NTT, Saatnya Menanam Pohon

 

Dampak kondisi bencana di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Sumber : PVMBG

 

Plt. Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana, BNPB, Abdul Muhari memaparkan pernah terjadi Siklon Tropis Flores yang terbentuk tanggal 26 April 1973.

Siklon  tropis ini menghantam pesisir utara Flores pada 29 April 1973 dengan total korban jiwa 1.653 jiwa  dengan kerugian material Rp2,95 miliar.

“Lokasi terdampak paling parah yakni Pulau Palue, Pemana dan Parumaan. Siklon membangkitkan gelombang pasang yang menewaskan 24 orang di Ngada dan 10 orang di Maumere,” paparnya.

 

Kearifan Lokal

Peneliti Ahli Pertama LAPAN, Galdita Aruba Chulafak menerangkan berdasarkan analisis penginderaan jauh, angin Siklon Tropis Seroja banyak mengubah bentukan alam NTT, khususnya  bentuk aliran sungai dan adanya danau baru.

Galdita kemukakan Desa Nelelamadike yang berada di hilir sungai di kaki gunung api Ile Boleng masih terancam banjir lahar dingin. Material lahar dari Gunung Ile Lewotolok juga mengancam desa-desa di sekitarnya.

“Hasil analisis topografi, Desa Nele Lamadike ini berada di lereng gunung Ile Boleng dan terlihat alur sungai yang berasal dari puncak yang mengalir,” ucapnya.

Galdita katakan Gunung Ile Boleng masih aktif dan masuk di dalam daerah rawan banjir lahar. Kemungkinan material disana merupakan material vulkanik sehingga gampang terbawa air termasuk di Gunung Ile Lewotolok Lembata.

Sumaryono dari PVMBG menemukan banyak penduduk yang tinggal di daerah kipas aluvial karena sumber mata air yang melimpah di sekitar wilayah tersebut.

 

Material lumpur dan kayu yang terbawa banjir bandang di Kelurahan Waiwerang Kota, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Sementara Faisal Fathani dari UGM berpendapat, morfologi pulau di NTT yang cenderung hampir mirip satu sama lain maka bentuk mitigasi yang sama dapat diterapkan di seluruh NTT. Perlu gunakan sabo dam untuk mengurangi dampak banjir bandang.

Faisal katakan early warning system dapat diaplikasikan menggunakan pendulum dan ultrasonic sensor dengan partisipasi masyarakat. Ide ini diapresiasi oleh PUPR mengingat adanya kondisi beberapa daerah yang tidak memungkinkan untuk dilakukan relokasi.

Abdul menerangkan, debris flow biasanya terjadi di kawasan bukit batu/gunung dengan lereng yang sangat curam dan memiliki banyak sebaran batuan lava yang tidak saling terikat dengan kuat satu dengan yang lain.

Material bawaannya berupa batu atau boulder dengan karakteristik luncuran atau gelindingan sangat kencang karena massa atau berat batu dan kecuraman yang tinggi.

“Di Adonara, debris flow terjadi di Nele Lamadike. Ada batas kawasan dengan permukaan batuan lava andesit dan kawasan dibawahnya yang memiliki permukaan pasir,” jelasnya.

Abdul sebutkan banjir bandang terjadi di kawasan yang lebih rendah  dibandingkan dengan kawasan rawan debris flow. Karakteristik material bawaan biasanya pohon-pohon seperti yang terlihat di Waiwerang dan wilayah Adonara Timur.

Ditambahkannya, Ile Boleng masuk alur zona rawan bencana gunung api dan larva. Cukup lama tidak menjadi alur banjir yang rutin sehingga tidak dianggap membahayakan dan masyarakat membangun rumah di alur tersebut.

“Di alur larva ada dibuat jalan kampung dimana jalan tersebut putus saat banjir debris flow 4 April lalu,” ucapnya.

 

Alat berat sedang membersihkan material debris flow di areal terdampak Desa Nele Lamadike, Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Abdul katakan, lokasi bencana Desa Nele Lamadike, ada tebing setinggi sekitar 10 meter. Saat terjadi banjir, batuan besar menggelinding dan meluncur di tebing lalu menghantam rumah-rumah di bawahnya.

“Mau tidak mau harus dilakukan relokasi rumah yang masih ada di jalur air tersebut demi keselamatan di masa depan. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi agar masyarakat tidak membangun di wilayah alur sungai,” pesannya.

Abdul menerangkan, banjir bandang di Waiwerang karakteristik dampaknya rata-rata bagian bawah rumah hancur. Diperkirakan tinggi air mencapai 2 hingga 3 meter di hilirnya dan 9 sampai 10 meter di hulunya.

Ia merekomendasikan penetapan kawasan rawan bencana menjadi regulasi di daerah (Perka/Perkada) agar dokumen kajian risiko bencana bisa menjadi dasar penyusunan konsep pemanfaatan ruang daerah dan penyusunan RPJMD yang berbasis mitigasi bencana.

“Gali dan manfaatkan nilai-nilai kearifan lokal dalam perencanaan pemanfaatan ruang di daerah. Manfaatkan sistem peringatan dini berbasis masyarakat untuk kesiapsiagaan dalam antisipasi bencana hidrometeorologi basah,” pungkasnya.

 

Exit mobile version