Mongabay.co.id

Perlindungan Pohon di Kota Upaya Redam Krisis Iklim

Hutan mangrove di Jakarta. Pemerintah Jakarta, pada April lalu mengeluarkan aturan perlindungan dan pengelolaan pohon di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pohon merupakan aset ekologis bagi kota. Keberadaan pohon sebagai satu cara alami mengurangi dampak krisis iklim. Pada Hari Bumi, 22 April lalu, Gubernur Jakarta menerbitkan Pergub Nomor 24/2021 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pohon. Regulasi ini diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi pohon-pohon di Jakarta.

“Kebijakan ini memberikan perlindungan lebih pada pohon. Melalui skema baru, terdapat syarat diperketat terhadap pohon yang dapat ditebang, seperti pohon tua atau sakit dan penebangan hanya dapat jika pohon pengganti dengan jumlah lebih banyak selesai ditanam dan berkondisi sehat,” kata

Suzi Marsilawati, Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta.

Dia mengatakan, Pemerintah Jakarta sudah menanam 70.880 pohon sejak 2019. Rinciannya, 23.584 pohon dan 47.296 mangrove. Pemerintah provinsi pun menargetkan sampai 2022 akan menanam 200.000 pohon.

Harapannya, jadi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui penyerapan emisi, penurunan suhu, penyediaan habitat bagi biodiversitas dan penciptaan lingkungan layak huni bagi warga Jakarta.

World Resource Institute (WRI) Indonesia menyatakan, penting ada master data populasi pohon atau urban tree database (UTD) yang bisa menjadi acuan dalam perlindungan dan pengelolaan pohon. Ke depan, bisa jadi fondasi dalam mengambil kebijakan pemerintah.

“Tujuannya, penanaman pohon jadi lebih terukur, agar tidak asal tanam, jadi lebih sistematis dan efektif dengan basis sientifik,” kata Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia.

Master data pohon, katanya, akan jadi dasar hukum kuat akan keberadaan pohon sebagai aset ekologis setiap kota. Terlebih, katanya, Jakarta menjadi ibukota negara dengan pembangunan infrastruktur intensif.

Dengan pendataan spasial, katanya, Pemerintah Jakarta dan masyarakat, bisa menghitung nilai ekologis dan manfaat aset pohon di Jakarta, baik di lokasi privat maupun publik. “Juga bisa diakses terkait kandungan karbon maupun kesetaraan dengan nilai uang. Ke depan ini bisa jadi pertimbangan dalam memutakhirkan skema penggantian pohon,” kata Koni, sapaan akrabnya.

Dalam manajemen pengelolaan pohon ini, penebangan akan lebih ketat. Master data ini, akan mempermudah dalam penggantian pohon yang akan ditanam, karena setiap pohon memiliki indeks dan identitas serta kondisi kesehatan.

Penggantian pohon pun nanti perlu mempertimbangkan kesesuaian lingkungan dengan master planning. Hingga, Pemerintah Jakarta bisa tepat memilih vegetasi sesuai dengan lokasi dan meminimalkan dominasi spesies tertentu.

 

Perlindungan pohon di kota, seperti Jakarta, sangat diperlukan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Imdonesia

 

Suzi menyebutkan pohon pengganti itu tergantung dari lokasi pohon itu berada. Kalau ada di lokasi publik, maka pohon yang ditebang ganti 1:10 dengan diameter 20 cm. Pohon di lokasi privat, ganti 1:3 dengan diameter 20 cm. Begitu juga pihak lain yang melakukan pembangunan.

Koni bilang, penanaman pohon, bisa jadi upaya pengurangan emisi paling ekonomis dan efektif dibandingkan opsi lain. “Saya harapkan, kebijakan ini jadi acuan dalam melindungi pohon di Jakarta, sekaligus bisa berupaya mengurangi emisi di tataran kota.”

WRI Indonesia bersama pemerintah Pemerintah Jakarta berkolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan langkah ini.

Masyarakat, katanya, dapat ruang berperan dalam pengelolaan dan perlindungan pohon, seperti penyediaan lokasi tanam, penyediaan pohon, pemeliharaan pohon, dan pendataan pohon spasial. Juga, memberikan informasi kondisi pohon rawan tumbang, pendidikan dan penelitian, serta kepastian hukum bagi pelanggar penebangan pohon ilegal.

Menurut Suzi, pendataan dan pengawasan ini dapat dilakukan publik setelah pemerintah memiliki database. Informasi ini akan bisa diakses di distamhut.jakarta.go.id.

 

Replikasi kota lain

Ahmad Rifai, Direktur Yayasan Kota Kita menyebutkan, upaya baik ini perlu ditiru kota-kota lain dalam menjaga kelestarian ekosistem dan meningkatkan keanekaragaman hayati. Dia bilang, penting melihat paradigma kota sebagai kesatuan antara manusia, alam dan lingkungan.

“Seringkali kota tumbuh tanpa ada paru-paru yang layak,” kata Rifai. Jadi, kota-kota di Jawa, seperti Jakarta, jadi rentan terhadap krisis iklim. Dia contohkan, kenaikan muka air laut dan mangrove hilang di kawasan pesisir, serta berbagai bencana.

“Pertumbuhan kota-kota di Indonesia itu tidak dibarengi bagaimana merencanakan kawasan terbuka atau hijau. Jika infrastrktur dibangun, akan ada wilayah baru secara otomatis, industri, perumahan dan lain-lain.” Kondisi ini, akan membuat kota-kota di Indonesia rentan perubahan iklim. Dia miris minim inisiatif membangun hutan kota.

“Kesinambungan antara tiga komponen antara manusia, alam dan lingkungan di kota dapat dilihat dari peran pohon, yang memiliki fungsi ekologis dalam penanganan polusi dan habitat biodiversitas, sekaligus fungsi sosial sebagai ruang hijau bagi interaksi manusia.”

Koni mengatakan, inisiatif ini pun mulai ada di kota lain, seperti Semarang dan Pontianak. Sikap kepemimpinan dari pemerintah daerah, katanya, penting dalam merespon krisis iklim melalui komponen hijau perkotaan.

*****

Foto utama: Hutan mangrove di Jakarta. Pemerintah Jakarta, pada April lalu mengeluarkan aturan perlindungan dan pengelolaan pohon di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version