Mongabay.co.id

Was-was Abu Batubara Kala Tak Lagi Masuk Limbah Berbahaya

 

 

 

 

 

 

Warga yang hidup di depan pembangkit listrik tenaga uang (PLTU), paling merasakan dampak, antara lain dari debu batubara (fly ash and bootom ash/FABA). Aturan pemerintah yang mengeluarkan limbah FABA dari kategori bahan berbahaya dan beracun ( B3) bikin warga makin khawatir.

Novikafa, warga Cilacap, Jawa Tengah tinggal di sekitar PLTU Cilacap meminta pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 22/2021. Turunan UU Cipta Kerja ini mengeluarkan limbah debu batubara dari daftar B3.

Selama ini abu batubara PLTU ditumpuk di kolam limbah berjarak 50 meter dari pemukinan warga, tanpa penutup dan pengamanan ketat. Dampaknya, limbah terpapar ke tanah, air dan udara.

“Banyak anak kecil menderita sesak napas,” kata Novi dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

PLTU Cilacap, dikenal juga dengan PLTU Karangkandri berada di antara dua desa, Slarang dan Karangkandri di Kesugihan, Cilacap, Jawa Barat. Empat unit masing-masing dengan kapasitas 2×300 mw, 1×660 mw dan 1×1.000 mw.

Pada 2016-2018, belum ada kolam penampung abu limbah PLTU (ash yard). Warga yang tak tahu limbah ini termasuk B3, mengambil ‘pasir’ limbah untuk jadi campuran bahan bangunan.

“Tak ada sosialisasi soal ash yard. Anak-anak bebas saja masuk,” kata Danang Kurnia Awami, pendamping warga dari LBH Yogyakarta.

Tak heran kalau kemudian angka infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) cukup tinggi di daerah ini. Data Puskesmas Kesugihan yang dihimpun LBH Yogyakarta, angka ISPA di Desa Slarang pada 2016 dan 2017 masing-masing, 10.481 dan 8.861 kasus. Hingga Juni 2018 juga sudah ada 3.360 kasus.

Sampel 10 anak yang dapatkan LBH di Desa Winong, masih sekitar PLTU, menunjukkanmereka terkena bronchitis dan ISPA. Menurut dokter diduga karena bermukim dekat PLTU.

Masyarakat melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Komnas HAM. KLHK sempat mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah daerah memberikan sanksi administrasi kepala PLTU. Masalahnya, masyarakat hingga kini tak pernah tahu sanksi apa yang diberikan pemerintah daerah ke PLTU.

Hal serupa terjadi di Desa Sijantang, Sawahlunto, Sumatera Barat. Warga sekitar PLTU Ombilin yang beroperasi sejak 1996 hidup berdampingan dengan 220.000-an ton limbah abu PLTU setiap tahun.

PLTU berkapasitas 220 mw ini diprediski menghasilkan 5,5 juta ton abu selama 25 tahun masa operasi.

Abu PLTU, dengan gerbang berjarak sekitar 50 meter dari pemukiman warga, ditumpuk dan ditutup dengan terpal yang kini sudah rusak.

“Saat ada angin, abu beterbangan ke rumah warga, saat hujan merembes kemana-mana. Jika terbawa air masuk ke dalam daerah aliran sungai,” kata Indira Suryani, pendamping warga dari LBH Padang.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

 

Di Sawahlunto, FABA untuk menimbun lubang tambang batubara yang tak direklamasi pasca tambang. Di wilayah padat penduduk ini, timbunan FABA berada dekat fasilitas SD, TK, Puskesmas dan kantor desa.

Indira mengatakan, pada 2017 tercatat 1.435 penduduk di Sijantang. Sejak 2011, masyarakat terpapar abu batubara karena filter PLTU rusak. Angka ISPA tinggi juga tercatat di desa ini.

Tahun 2018, PLTU pernah pengecekan kesehatan siswa ke sekolah negeri di sekitar PLTU, namun tak pernah mengumumkan hasil kepada orangtua.

 

Pengawasan minim

Studi terbaru koalisi masyarakat yang tergabung dalam #Bersihkan Indonesia menunjukkan, timbunan abu batubara terus meningkat namun dengan pengawasan minim.

Data Kementerian ESDM pada 2019 tercatat, 9,7 juta ton abu PLTU batubara dan diperkirakan akan naik 13,5 juta ton pada 2028.

Data PLN, 75% dari total limbah abu PLTU ini tak dimanfaatkan maupun ditimbun. Kurang dari 5% dimanfaatkan dan cuma 25% ditimbun.

“Pertanyaannya 75% ini kemana? Bisa jadi nangkring di tempat pembuangan sementara atau dikelola pihak ketiga,” kata Margaretha Quina, penulis laporan.

Masalahnya, hanya 2,9 juta ton FABA berada di bawah pengawasan KLHK. Kondisi ini, mengindikasikan tak semua timbulan FABA terawasi KLHK. Ada perbedaan data cukup signifikan antara KESDM dan KLHK. Data KLHK, hanya sepertiga data KESDM.

Dari timbulan yang diawasi KLHK pun tak ada data hasil pengukuran air tanah, peta kontaminasi, evaluasi hasil uji toksisitas, selain dari 19 PLTU. Juga tidak ada studi penilaian risiko dan analisis biaya manfaat termasuk biaya kesehatan dan kontaminasi lingkungan yang dipublikasikan.

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Maryani memperlihatkan tangannya penuh debu batubara. Padahal itu di dalam rumah. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

KLHK, kata Quina, mestinya punya kajian dan data mengapa limbah ini aman untuk keluar dari daftar limbah B3. Tambahan lagi, tak ada kasus pelanggaran pengelolaan FABA, seperti yang terjadi di Cilacap dan Sawahlunto yang jadi fokus penanganan Kementerian Kesehatan dan Polri.

Berbagai studi dari negara lain menunjukkan, bahaya kontaminasi dari berbagai paparan FABA.

Di Amerika Serikat, 91% laporan pemantauan air tanah menunjukkan hasil yang melampaui standar keamanan air minum. Ada 24 kasus kontaminasi sumur pribadi akibat abu PLTU. Juga tanaman dan pakan ternak yang menyerap logam berat dari FABA seperti gandum, wortel, selada, stroberi, semangka, dan rumput.

Di India, dari 27 lokasi uji, ditemukan unsur kelumit, arsenik, juga melebihi standar keamanan air minum. Di Tiongkok, lebih dari 90% kubis diuji juga melebihi kadar mineral timbal yang diizinkan, serta ditemukan kontaminasi merkuri pada beras.

Untuk Indonesia, menurut Quina, informasi soal keamanan pangan sangat terbatas.

Sejak 1994, Indonesia mengatur FABA sebagai limbah B3. Terbit PP No 22/2021 menambah risiko. “Patut diduga pengaturan ini berhasil mencegah bencana industrial akibat batubara hingga hari ini seperti yang terjadi di Amerika Serikat, India dan Australia,” katanya.

Beberapa hal yang dihapus PP ini yakni soal batas waktu maksimum penyimpanan sementara, ketelusuran abu terutama dalam pengangkutan, seluruh ketentuan pengangkutan, persyaratan tingkat radioaktivitas abu yang dapat dimanfaatkan. Ia juga menghapus detil persyaratan pembuangan akhir, termasuk persyaratan penempatan dan pelapisan fasilitas, persyaratan pengujian rona awal air tanah dan pemantauan berkala. Juga, persyaratan transparansi perizinan dan partisipasi publik, juga kejelasan pertanggungjawaban pelanggaran.

Sebelumnya diatur, penyimpanan FABA di TPS maksimal satu tahun. Ia mesti ditutup baik dan tak boleh berada di kawasan rawan bencana. Saat ini, syarat ini hilang dan pertanggungjawaban perusahaan hanya dicantolkan dalam persetujuan lingkungan.

Terkait pemanfaatan, PP ini juga mempermudah semua jenis pengelolaan baik pemanfaatan maupun penimbunan akhir.

Konsekuensinya, aturan ini mengirimkan sinyal kepada pengelola abu untuk menggunakan metode pembuangan paling murah dan paling berisiko.

“PP 21 tidak membedakan pemanfaatan yang aman dan berisiko yang harus dihindari. “

Menurut studi ini, paling aman adalah pemanfataan terenkapsulasi, walaupun masih berisiko.

Dalam aturan ini juga tidak ada pembedaan jelas kapan pengelola harus membuang di tempat penimbunan akhir dan kapan bisa membuang di lubang tambang. Tidak ada larangan membuang dengan metode penimbunan paling berbahaya, yakni penimbunan permukaan.

Yang terbaik, adalah tempat penimbunan akhir kering, berlapis dengan rekayasa teknis. “Penimbunan di lubang tambang berisiko tinggi dan penimbunan permukaan paling berbahaya.”

Tidak ada larangan penimbunan permukaan, sangat berisiko kalau bercampur air hingga unsur beracun dalam abu menjadi lebih beracun dan risiko pelindian lebih besar.

Rekomendasi utama laporan ini yakni meminimalkan timbulan abu dengan transisi ke energi terbarukan. KLHK, presiden maupun Kementerian Kesehatan perlu transparansi data semua hasil uji toksisisitas abu, pemantauan air tanah peta kontaminasi abu, kajian dampak kesehatan dan lingkungan di lokasi kontaminasi FABA.

KLHK juga perlu mengidentifikasi lokasi terkontaminasi abu, membuat mekanisme pertanggungjawaban pencemar membayar.

“Dengan hilangnya kemampuan KLHK untuk ketelusuran abu ini, ini risiko besar untuk publik,” kata Quina.

Untuk itu, pemerintah perlu mengatur kembali FABA sebagai limbah B3, dan analisis risiko dan biaya manfaat yang mencakup biaya kesehatan.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Batubara baru dipindahkan dari kapal ke tongkang kemudian dikirim ke PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan?

Sebelumnya, hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) KESDM menyebutkan, FABA efektif sebagai pembenah tanah atau pupuk.

Peneliti Puslitbang tekMIRA Wulandari Surono menyatakan, produk hasil pemanfaatan FABA wajib memenuhi persyaratan standar produk yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian.

Dengan kata lain, meskipun keluar dari daftar limbah B3 harus tetap diolah atau dan tak boleh dibiarkan begitu saja.

“Harus dikelola untuk dimanfaatkan,” kata Wulandari.

Penerapan FABA lebih tepat untuk lahan kering masam dan lahan gambut karena lahan ini memiliki komposisi buruk.

Di samping mampu memperbaiki pH (tingkat keasaman) tanah dan insektisida, FABA mampu memperbaiki tekstur tanah, aerasi, perkolasi dan kemampuan menahan air (WHC) di area kelola, menurunkan bulk density (kapadatan) tanah, dan konsumsi material tanah lain.

FABA mengandung hampir semua unsur hara yang dibutuhkan tanaman kecuali unsur C (karbon) dan N (nitrogen).

Wulandari mengatakan, hasil penelitian menujukkan potensi FABA sebagai pembenah tanah merupakan bukti FABA layak dipandang sebagai sumber daya yang menyimpan potensi dalam memperbaiki lahan non produktif.

“Meski begitu harus ada penelitian lebih spesifik mengingat kualitas tidak sama hingga butuh karakterisasi sendiri disesuaikan kebutuhan lahan yang dikelola,” katanya.

KESDM juga sedang menyusun standar prosedur operasi (SOP) pemanfaatan FABA. Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan KESDM mengatakan, SOP pengelolaan FABA ini bisa jadi acuan bagi seluruh kegiatan PLTU dalam mengelola FABA.

Rida menyebut, dalam draf rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030, penambahan pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan mencapai 41 GW. Dari jumlah ini, PLTU masih mendominasi sekitar 36% atau 14-15 GW.

“Dengan FABA keluar dari limbah B3, akan makin terbuka luas pemanfaatan FABA.”

Mengutip data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) tahun 2020 menyatakan, penggunaan beton dengan campuran FABA secara ekonomi dapat menurunkan biaya dibandingkan untuk membuat beton konvensional.

Hal ini, kata Rida, memberikan efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur Rp4,3 triliun sampai tahun 2028, dan berpotensi menyerap tenaga kerja pada usaha kecil dan mikro.

Menurut peneliti Nexus 3 Foundation, Yuyun Ismawati Dwierga, hanya FABA jenis tertentu yang bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Saat jadi campuran beton pun, kata Yuyun, hanya 10% FABA bisa digunakan. Yang jelas, katanya, penelitian menunjukkan limbah B3 dari sektor besi dan baja mengandung dioxin.

“Di Indonesia ini belum ada monitoring. Tak ada informasi bukan berarti tak ada masalah,” kata Yuyun.

Saat negara lain, tak memasukkan FABA dalam daftar limbah B3, namun mereka punya UU Udara Bersih yang mengharuskan semua industri penghasil limbah B3 melaporkan, mengukur dan berusaha keras mengurangi timbulan limbah. Sanksi pun berat.

Pemanfaatan FABA ini juga dinilai Jalal, pendiri Lingkar Studi Tanggung Jawab Perusahaan (CSRI) tak sesuai ide dasar ekonomi sirkular, yakni nol sampah dan tak menghasilkan emisi.

“Ini cuma untuk terus melanggengkan energi fosil. Dicocokin ceritanya sama ekonomi sirkular,” katanya.

Exit mobile version