Mongabay.co.id

Hutan Wisata Pendidikan Itu Bernama Geosite Bukit Penyabung

 

Baca sebelumnya: Geopark Gunung Permisan Bangka dan Jejak Manusia Austronesia

**

Bukit Penyabung merupakan geosite yang berada di Kabupaten Bangka Barat. Selama ratusan tahun, hutan di bukit ini tetap terjaga. Sebab selain sebagai sumber air, bukit ini bagi masyarakat dari Suku Jiereng, salah satu suku tertua di Pulau Bangka, merupakan sumber obat-obatan. Juga, sebagai lokasi sedekah bumi yang dilakukan masyarakat Suku Jiereng yang menetap di beberapa desa di Bangka Barat.

Miya [58], dukun obat dari Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, maupun masyarakat Jiereng lainnya mengumpulkan obat-obatan dari sejumlah tanaman di bukit yang tingginya sekitar 370 meter itu: daun, kulit, maupun akar pohon.

“Jika hutan ini habis, sulitlah kami mendapatkan bahan obat-obatan. Bahkan, guna menangkal virus corona, kami mengonsumsi sejumlah daunan dan akar dari tanaman di sini. Misalnya, daun sungkai dan akar pohon bajakah,” ujarnya, Jumat [30/4/2021].

Beberapa jenis tanaman yang diambil sebagai obat adalah medang sang [obat sakit perut], akar cepenak [obat malaria], akar candek [obat disentri], daun kendu atau keramunting [obat diare], buah jenetri [obat keram dan memperlancar peredaran darah], bunga pelepang putih [obat terhindar digigit lintah], dan keladi kerak ditambah akar bakeng [obat untuk anak-anak agar tumbuh sehat atau tidak kerdil].

Ada juga buah demem [dikonsumsi satu biji setiap tahun agar terhindar sakit], daun jelutuk [obat darah tinggi], daun sembung [obat sesudah melahirkan atau luka dalam], daun seruk [obat luka], serta akar pasak bumi [obat nyeri atau kelelahan].

“Di sini juga masih ditemukan kayu tas, yang digunakan untuk mengusir binatang buas, serta warga juga sering mendapatkan madu pahit,” kata Masliadi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pelangas, kepada Mongabay Indonesia.

Di hutan Bukit Penyabung juga terdapat beragam jenis satwa, seperti mentilin atau tarsius bangka, trenggiling, binturong, ular, beragam jenis burung, serta tupai.

“Bukit ini kaya akan tanaman dan satwa liar,” ujarnya. .

Ada juga hewan yang digunakan sebagai obat. “Cacing tanah [Pheretima sp.] untuk obat penyakit tifus,” lanjut Miya.

 

Pohon ara terbesar yang terdapat di kawasan hutan Bukit Penyabung, Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Penelitian Yola Nazelia Nukraheni, Budi Afriyansyah, dan Muhammad Ihsan dari Universitas Bangka Belitung berjudul “Ethnozoologi Masyarakat Suku Jerieng dalam Memanfaatkan Hewan Sebagai Obat Tradisional yang Halal” menunjukkan masyarakat Suku Jerieng memanfaatkan hewan untuk menyembuhkan 16 penyakit.

Di antaranya asma, menggunakan kelupit atau kalajengking [Heterometrus spinifes], tifus menggunakan cacing tanah [Pheretima sp.], batuk menggunakan lebah madu [Apis dorsata], sakit gigi menggunakan kecoa tanah [Blatella sp.], darah tinggi menggunakan semut rang-rang [Oeceophylla sp.], dan bekas operasi dengan mengonsumsi ikan gabus [Channa striata].

 

Pohon pasak bumi, bagian akarnya dimanfaatkan Suku Jerieng sebagai obat sakit tulang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mandiri pangan

Suku Jerieng adalah Suku Melayu tua di Pulau Bangka. Suku ini awalnya hidup di sekitar Sungai Jerieng. Namun dalam perkembangannya, menyebar di beberapa wilayah atau desa di Bangka Barat, khususnya pada 13 desa di Kecamatan Teritip, seperti Desa Pelangas, Desa Kundi, Berang, Ibul, Mayang, Air Nyatoh, dan Pangek.

Meskipun “tanah tua” Suku Jerieng berada di Dusun Peradong, Desa Kundi, tapi Desa Pelangas dianggap sebagai desa sacral. “Sebab, ada Bukit Penyabung ini,” kata Masliadi.

Suku Jerieng merupakan suku yang memiliki tradisi pangan yang baik. Mereka menanam kelapa, lada, pisang, padi, umbi-umbian, durian, nangka, cempedak, manggis, dan sayuran.

 

Akar bajakah yang terdapat di kawasan hutan Bukit Penyabung, Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Arieska Camelia, Budi Afriyansyah, dan Lina Juairiah dari Universitas Bangka Belitung melakukan penelitian terkait kemandirian pangan Suku Jerieng dengan judul “Studi Etnobotani Tanaman Pangan Suku Jerieng di Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat.”

“Semua kebutuhan pangan tersedia. Jarang sekali warga membeli beras, buah atau sayuran, sebab mereka menanam sendiri,” kata Muhammad Abdurrachman, Direktur Bumdesma [Badan Usaha Milik Desa] Masyarakat Jerieng Gemilang Bersaudara, kepada Mongabay Indonesia.

“Setiap tahun, buah durian dan cempedak melimpah, banyak dibeli agen dari Palembang. Persoalannya, harga jualnya terkadang rendah jika produksi melimpah. Bahkan, manggis yang dihasilkan, terkadang nyaris tidak ada harga saat dijual karena begitu banyak,” katanya.

Terkait hal tersebut, kami berencana melahirkan produk turunan dari hasil buahan tersebut. Misalnya lempok durian dan cempedak. Sementara manggis, akan kami manfaatkan kulitnya. “Persoalannya, saat ini kami tengah mencari pasar atau penampung,” lanjut Abdurrachman, yang juga pengurus Kelompok Sadar Wisata Desa Pelangas.

 

Daun Ketapang yang dimanfaatkan Suku Jerieng untuk mengobati kurap dan gatal-gatal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ardianeka, Kasi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan KPHP Rambat Menduyung Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan ada potensi pangan yang dikembangkan masyarakat Suku Jerieng dan masyarakat lainnya di Bangka Barat, yakni lengkir [Tacca leontopetaloides].

Lengkir banyak ditanam masyarakat Bangka di pesisir. Tanaman ini juga ditemukan di Afrika Barat, Asia Tenggara, Autralia, serta kepulauan di Pasifik.

Dalam masyarakat Bangka, lengkir dibikin tepung yang kemudian dijadikan makanan. “Yang masih bertahan adalah kue basah dan kering. Misalnya kue rintak, ongol-ongol, dan rangai.”

Lengkir dipanen setiap enam bulan. “Selama ini didapatkan dari tanaman liar. Kalau sudah dibudidayakan, mungkin dapat menjadi sumber pangan baru,” jelasnya.

 

Kayu tas yang digunakan Suku Jerieng sebagai penangkal hewan buas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Wisata pendidikan

Hutan Bukit Penyabung luasnya sekitar 97 hektar. Sekitar 90,2 hektar dijadikan lokasi perhutanan sosial dengan skema hutan tanaman rakyat [HTR] yang ditetapkan pemerintah pada 2017.

“Awalnya kami bingung mengelola. Sebab, keinginan kami bukan menanam kayu tetapi ingin menyelamatkan hutan di Bukit Penyabung,” kata Masliadi.

Setelah diskusi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya KPHP Rambat Menduyung, akhirnya kami mengembangkan wisata geopark dengan nama Geosite Bukit Penyabung, yang dikelola Kelompok Sadar Wisata Desa Pelangas.

“Namun karena wabah virus corona kami belum dapat mempromosikannya sebagai kunjungan wisata,” kata Masliadi.

Bukit ini merupakan hamparan batu granit, yang di selanya ditumbuhi sejumlah pohon. Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, jenis pohon yang paling dominan adalah pohon ara, gaharu, beragam medang, dan meranti. Ditemukan enam pohon ara dengan ukuran antara 3-10 pelukan tangan orang dewasa.

 

Relung yang terbentuk karena tumpukan batuan granit di Geosite Bukit Penyabung, Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ardianeka, yang juga geologis, menjelaskan Bukit Penyabung merupakan salah satu geosite dari geopark Bangka Barat. Geopark Bangka Barat yakni diabas Penyabung di Jerangkat Ketap Parit Tiga, kemudian metasedimen Bembang, Gunung Menumbing. “Salah satu pendukung geosite adalah Bukit Penyabung di Desa Pelangas,” katanya.

Diabas adalah batuan mafik, holokristalin, dan subvulkanik yang setara dengan basalt vulkanik atau gabro plutonik. Sementara metasedimen merupakan jenis batuan metamorf, yang terbentuk melalui pengendapan dan pemadatan sedimen, lalu terkubur di bawah batuan, mengalami tekanan dan suhu tinggi sehingga kembali mengkristal.

Menariknya, diabas adalah batuan yang seharusnya tidak mungkin muncul di Pulau Bangka, karena cuma berada di daerah vulkanologi. Sementara, Pulau Bangka terbentuk lewat proses intrusi, maka Pulau Bangka bersifat asam, sementara diabas bersifat basa.

“Di Pulau Bangka, diabas itu hanya di Jerangkat, Bangka Barat, yang kita sebut diabas Penyabung,” katanya.

 

Bebatuan besar di Bukit Penyambung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ardianeka menjelaskan usia granit di Pulau Bangka sekitar 215 juta tahun. Prosesnya terbentuknya Pulau Bangka itu dapat dilihat dari batuan yang ada di Jerangkat.

Adakah diabas di Bukit Penyabung di Desa Pelangas? “Di Desa Pelangas belum ditemukan source diabasnya, maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Tapi kalau di Jerangkat sudah ditemukan diabas, yang satu-satunya di Pulau Bangka,” jelasnya.

Jadi, lanjut Ardianeka, Bukit Penyabung, serta geosite lainnya di Bangka Barat, sangat cocok dijadikan objek wisata pendidikan. “Selain belajar tentang geologi, juga memahami kekayaan flora dan fauna, serta tradisi masyarakatnya,” katanya.

Sukirman, Bupati Bangka Barat mengatakan, pihaknya akan mengembangkan potensi geopark yang ada di Kabupaten Bangka Barat. Sebab, merupakan potensi yang baik sebagai objek wisata pendidikan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [28/4/2021].

“Selain itu juga dapat mendorong pengembangan ekonomi berkelanjutan. Alam terjaga, masyarakat makmur,” ujarnya.

Sukirman juga berkeinginan mengembangkan lengkir, tanaman khas [pangan] masyarakat di pesisir Bangka Barat. “Ini merupakan potensi pangan lokal sebagai pendukung ketahanan pangan, dan mungkin menjadi sumber ekonomi baru,” paparnya.

 

 

Exit mobile version