Mongabay.co.id

Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Gumpalan lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah mongering. Hingga kini, lumpur yang keluar sejak 29 Mei 2006 itu terus menyembur.

Gumpalan lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah mongering. Hingga kini, lumpur yang keluar sejak 29 Mei 2006 itu terus menyembur.

 

 

 

 

Pada 29 Mei 2006, lumpur menyembur dari lubang pengeboran gas milik PT. Lapindo Brantas., Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lubang pengeboran tak henti menyemburkan lumpur. Sedikit demi sedikit daerah sekitar Kecamatan Porong, mulai tergenang hingga menenggelamkan puluhan desa. Ribuan warga kehilangan ruang hidup. Hingga kini, sekiar 15 tahun sudah, lubang terus menyembur.

Erik Purnomo, warga Porong ini tak bisa menghilangkan kenangan desanya. Hingga kini, anak kedua dari lima bersaudara ini selalu datang ke lokasi situs mengenang desanya yang tenggelam.

“Hampir tiap hari. Sore sepulang kerja, saya selalu datang ke sini,” kata Erik yang bekerja sebagai tukang rongsokan itu.

Bagi Erik, peristiwa yang turut mengubur sekitar 8.000-an rumah dari belasan desa itu kerap diliputi kesedihan. Apalagi, gara-gara luberan lumpur itu, dia dan keluarga besarnya kini tercerai-berai.

Tak hanya kehidupan ribuan warga hancur buntut semburan lumpur lapindo ini, masalah lingkungan pun terjadi. Laporan terbaru menyebutkan, situs yang sejak awal kemunculan menyemburkan 180.000 meter kubik lumpur ini menyumbang emisi gas metan terbesar di muka bumi.

Kesimpulan itu terungkap dari hasil penelitian yang dimuat di jurnal scientific report, 18 Februari 2021. Dalam tulisan berjudul berjudul Relevant Methane Emission to the Atmosphere From a Geological Gas Manifestation,” Adriano Mazzini dkk.,  menyebutkan, lumpur itu menyebabkan emisi gas metan terbesar yang pernah tercatat dari satu manifestasi gas alam.

Dalam dokumen hasil penelitian yang diperoleh Mongabay, Mazzini menyebut, bila fenomena geologi itu karena tekanan fluida dari batuan sedimen bersuhu tinggi sebagai konsekuensi keberadaan gunung api magmatik di sekitar.

 

Baca juga: Kehidupan Warga Korban Lumpur Lapindo

Para korban lumpur Lapindo menyambangi pemakaman kerabat mereka saat Ramadan lalu. Area pemakaman ini menjadi satu-satunya ‘penanda’ tersisa keberadaan desa mereka yang terkubur lumpur. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Arjuno-Welirang. Kedua gunung ini berjarak sekitar 20 kilometer di selatan lumpur lapindo. Jadi, danau lumpur dengan luasan mencapai sekitar 7,5 kilometer persegi itu dianggap sebagai manifestasi permukaan dari sistem sedimen/hidrotermal hibrida.

Sebelum mempublikasikan temuan itu, Mazzini bersama tim sudah pengamatan selama 10 tahun. Penelitian dengan melibatkan sejumlah lembaga dari berbagai negara, dalam dan luar negeri antara lain, Centre for Earth Evolution and Dynamics (CEED), University of Oslo, Norwegia dan Istituto Nazionale di Geofsica de Vulcanologia, Rome, Itala. Kemudian, Faculty of Environmental Science and Engineering, Babes Bolyai University, Romania, SRON Netherlands Institute for Space Research, Earth Science Group (ESG), Utrecht, Belanda; Department of Climate, Air and Sustainability, TNO, Utrecht, Belanda; Department of Earth Sciences, Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda; dan Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS).

Penelitian Mazzini dengan mengkombinasikan pengamatan ground-based dan satelit (TROPOMI) untuk mengukur jumlah gas yang keluar dari semburan lumpur panas lapindo ke atmosfer. Hasilnya, total gas metan mencapai 100.000 ton per tahun.

“Angka ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah gas metan dari sebuah situs,” tulis Mazzini, dalam laporan yang rilis 18 Februari lalu itu.

Hasil penelitian itu, katanya, pertama, sekaligus menunjukkan perlu kajian ulang terhadap emisi metan global berdasarkan radiokarbon di inti es era pra-industri yang berkisar antara 100.000-5.400.000 ton per tahun.

Kedua, katanya, teknik (ground based dan TROPOMI) menunjukkan total keluaran gas metana (CH4) setara nilai minimum emisi geo global dengan perkiraan inti es.

Emisi gas metana dari lumpur lapindo dianggap konsisten secara proporsional dengan tingkat aliran metana yang biasa dikeluarkan sumber-sumber gas alam lain seperti gunung lumpur atau rembesan dari sistem metana besar.

Kalau semua lokasi-lokasi sumber emisi ini digabungkan secara global, diperkirakan total keluaran metana planet ini mencapai sekitar 40-50 juta ton per tahun.

Mazzini menyebut, emisi gas metan yang keluar bukan hanya dari pusat semburan lumpur juga seluruh area situs seluas lebih tujuh kilometer persegi itu termasuk dari rekahan-rekahan.

 

Baca: Tahun ke-11, Korban Lumpur Lapindo Masih Menanti Penanganan Kesehatan dan Lingkungan

Maduri, seorang korban lumpur Lapindo memilah batu bata di bekas bangunan SDN Besuki. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Perparah krisis iklim

Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) dalam periode 100 tahun. Gas ini banyak terlepas ke atmosfer oleh sumber alami dan antropogenik. Sekitar 30% metan dari fosil, seperti batubara dan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 100-145 juta ton per tahun.

Gas metan secara alami melalui manifestasi gas permukaan (rembesan, lumpur gunung berapi, microseepage difuse) di cekungan sedimen yang mengandung minyak bumi dan daerah geotermal.

Rere Cristanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, mengatakan, emisi gas metan tinggi dari situs Lapindo dipastikan berdampak terhadap lapisan ozon di atmosfer. Pada akhirnya, memperparah krisis iklim.

“Pasti berdampak. Gas metan itu akan membuat konsentrasi gas rumah kaca meningkat yang akhirnya terjadi peningkatan suhu di bumi hingga mengakibatkan aneka persoalan. Seperti musim tidak konsisten, siklus hidrometeorologi terganggu dan tentu meningkatkan kerentanan alam,” kata Rere.

Data BNPB, terjadi peningkatan kejadian bencana dari tahun ke tahun di Indonesia, termasuk Jawa Timur. Fenomena ini, kata Rere, merupakan konsekuensi perubahan iklim ekstrem. Pada akhirnya, ikut memicu peningkatan bencana hidrometeorologi.

Catatan Walhi, intensitas bencana hidrologi di Jawa Timur, cenderung mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasar data olahan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, pada 2013 dan 2014, bencana ada 233 kejadian, baik jadi 297 pada 2015.

Pada 2016 dan 2017, kembali meningkat jadi 404 dan 434 kejadian. Pada 2018, ada 455 kejadian. Pada 2018, terjadi peningkatan signifikan sekitar 620 peristiwa.

Dengan begitu, selama tujuh tahun, total bencana di provinsi ujung timur Pulau Jawa ini mencapai 2.676 kejadian.

Rinciannya, banjir 743 kejadian, longsor 514 kejadian, kekeringan 66 kejadian, kebakaran hutan 361 kejadian, dan gelombang pasang 22 kejadian. Ada juga angin kencang 970 kejadian. “Jangan terjebak pada total kejadian. Yang perlu dicermati tren meningkat bencana dari tahun ke tahun,” kata Rere.

Krisis iklim, katanya, erat kaitan dengan bencana hidrometeorologi. Mengutip laporan Organisasi Meteorologi Dunia, katanya, efek rumah kaca— istilah paling umum untuk menggambarkan atmosfer bumi— menjaga agar kondisi planet tetap hangat.

Namun, laku penduduk bumi kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup, seperti penggunaan energi tak ramah lingkungan, maupun deforestasi meningkatkan emisi karbon ke atmosfer. Kondisi ini, menyebabkan suhu makin meningkat.

Dampak berikutnya, kata Rere, suhu di muka bumi makin panas, cuaca tak menentu, pada akhirnya memicu bencana hidrometeorologi.

“Hasil penelitian Mazzini tentang Lapindo yang menghasilkan konsentrasi metana terbesar di dunia menunjukkan, situs itu ikut berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Itu pasti akan berdampak terhadap bencana hidrometerologi di Jawa Timur,” kata Rere.

Mongabay berusaha meminta tanggapan dari Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS). Sayangnya, dengan alasan tak memiliki kewenangan, instansi yang dulu bernama Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) ini enggan memberi penjelasan.

“Kalau terkait dengan infrstruktur, seperti penguatan tanggul dan sebagainya, langsung ke Pusat (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Kalau terkait konsentrasi zat kimia dalam lumpur, ke Lapindo Brantas,” kata Henky, staf PPLS, saat dihubungi melalui aplikasi percakapan belum lama ini.

 

Baca juga: Semburan Lumpur Lapindo, Bukan Hanya Persoalan Ganti Rugi

Permukiman yang kini berubah menjadi danau lumpur. Hingga kini, total luas genangan lumpur mencapai 7 kilometer persegi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama:  Gumpalan lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah mongering. Hingga kini, lumpur yang keluar sejak 29 Mei 2006 itu terus menyembur. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Exit mobile version