Mongabay.co.id

Jerat Hukum Kasus-kasus Perusahaan Sawit Duta Swakarya Indah

Kebakaran di konsesi PT BEP di Muarajambi. Foto: Yitno Supriyanto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Perusahaan sawit, PT Duta Swakarya Indah (DSI) terjerat kasus lagi. Kali ini, kasus kebakaran di kebun sawit perusahaan ini sudah masuk tuntutan di Pengadilan Negeri Siak, Riau. Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Siak Vegi Fernandez dan Maria Pricilia Silviana, menuntut DSI dan Direktur Operasional sekaligus manager kebun, Misno, masing-masing denda Rp 1 miliar, penjara satu tahun serta pidana tambahan untuk biaya pemulihan lingkungan Rp4 miliar. Tuntutan itu lebih kecil dari hukuman maksimal dalam Pasal 99 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang dipakai penuntut.

DSI dan Misno disebut lalai melindungi kebunnya. Dalam rentang waktu kurang lebih satu minggu, lahan DSI terbakar dua kali. Masing-masing pada 26 Februari dan 3 Maret 2020. Kejadian sama-sama di Blok H19, Kampung Sengkemang, Kecamatan Koto Gasib, Siak, Riau. Hanya berjarak lebih kurang 50 meter antar titik api.

Ketika menemukan lokasi, regu pemadam kebakaran dan karyawan perusahaan memadamkan api sampai larut malam. Selama beberapa hari pula mereka mendinginkan areal sampai asap tidak mengepul lagi. Pemadaman juga dibantu personil masyarakat peduli api, TNI, polri dan Dinas Damkar.

Kebakaran itu di luar dugaan. Rio Frengki Sitorus, mandor panen DSI, baru saja melepas lelah ketika pertama kali melihat kepulan asap sekitar pukul 2.00 siang. Bersama rekan, dia bergegas mencari sumber api.

Setelah menemukan titik lokasi, dia menelpon karyawan kebun dan Misno, yang kala itu berada di kantor, Pekanbaru.

Sembari menunggu peralatan, dia berupaya padamkan api seadanya dengan ranting kayu. Sebelumnya, dia tak menyangka akan terjadi kebakaran, karena setengah harian keliling kebun mengawasi anak buah memanen sawit.

Orang-orang DSI yang memberikan keterangan di persidangan mengaitkan kebakaran dengan peristiwa dua hari sebelumnya. Waktu itu, Misno memerintahkan karyawan bongkar jembatan penghubung Blok 17 dan 18 yang jadi akses masyarakat lalu-lalang.

Misno, khawatir kebiasaan masyarakat keluar-masuk kebun sambil merokok.

Gara-gara itu sempat terjadi keributan di barak kebun DSI. Delapan orang warga mencari Misno dan menuntut menyambung kembali jembatan itu. Sehari kemudian muncul titik api. Tak ada satu pun warga jadi saksi di persidangan untuk membuktikan asumsi para pekerja DSI. Lagi pula, mereka tidak lihat pelaku dan jarak cukup jauh ketika menyaksikan kepulan asap membumbung ke atas.

Kebakaran terjadi di lahan gambut. Berdasarkan keterangan Ahli Karhutla Bambang Hero Saharjo, dalam persidangan 8 Maret lalu, areal terbakar merupakan bekas hutan alam karena masih ada kayu-kayu tebangan sudah membusuk yang ikut hangus di lahap api.

 

Baca juga: Kasus Hutan Sabuai, Komisaris SBM jadi Tersangka Pembalakan Liar

Kebakaran di lahan gambut terus  terjadi, antara lain karena tanaman-tanaman tak ramah gambut  terus ‘dipaksakan’ada  di lahan gambut hingga proses  pengelolaan merusak gambut. Foto: Greenpeace

 

Meski ditumbuhi semak dan tanaman bawah, blok terbakar didominasi sawit dengan usia tanam sekitar lima tahun.

Dharlies, Direktur Utama DSI, sawit tumbuh kurang baik hingga tergolong tidak produktif. Pasca kebakaran, mereka berencana tanam ulang.

Ahli Kerusakan Tanah Basuki Wasis, dalam persidangan yang sama menambahkan, kebakaran itu juga merusak lapisan permukaan gambut dan menyebabkan kematian pada sejumlah mikroorganisme, flora-fauna dan biota lain. Akibat kebakaran juga merusak sifat-sifat tanah yang melampaui ambang batas yang dapat ditolerir.

Seperti kesalahan perusahaan lain yang pernah terjerat kasus karhutla di Riau, DSI juga tidak patuh karena enggan melengkapi sarana prasana pencegahan dan pengendalian kebakaran. Bahkan, sebagian peralatan saat memadamkan api tidak berfungsi.

Dharlies bilang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah menegur perusahaan dan meminta mereka segera melengkapi peralatan. “Sampai sekarang sedang dilengkapi,” katanya, saat beri keterangan mewakili perusahaan di PN Siak, April lalu.

Hasan Zainal, asisten sistem informasi geografis DSI, sudah memetakan areal rawan terbakar pada lahan perusahaan itu, termasuk Blok H19. Dia bilang, gambut terbuka cenderung mudah terbakar saat musim panas dan kering. Dia juga buat peta areal kerja. Hasilnya dia serahkan pada manager sebagai pertimbangan dalam buat kebijakan pengelolaan kebun.

Nyatanya, sejak awal DSI sudah tampak serampangan. Perusahaan ini tak punya rencana kerja pembukaan dan pengelolaan lahan perkebunan (RKPPLP) dan rencana kerja tahunan (RKT).

Dharlies dan Misno bahkan tidak pernah membaca dokumen lingkungan hidup perusahaan yang disahkan pada 2008. Padahal, mereka wajib mematuhi dan melindungi areal dari kebakaran.

 

Baca juga: Warga Kalteng Menang Gugat Presiden, Berikut Poin-Poin Putusan Pengadilan

Sawit, persoalan muncul dari proses perizinan sampai di lapangan.  Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Kasus IUP dan pemalsuan

DSI juga terjerat kasus IUP dan pemalsuan. Perusahaan sawit ini didirikan lewat akta notaris pada 19 April 1988 dengan perubahan terakhir 31 Januari 2018. Bergerak usaha perkebunan sawit. DSI punya izin di lahan 8.000 hektar berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP) 2009. Ia menanam mulai 2010-2016, di Estate Sengkemang 978,93 hektar, Estate Dayun 291, 44 hektar, Estate Merempan 784,07 hektar dan Estate Mempura 450,31 hektar.

Pada 2017, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri menemukan sebagian sawit di Estate Sengkemang, Kampung Sengkemang, Kecamatan Koto Gasib, Siak, ternyata ditanam di luar IUP perusahaan seluas 293 hektar. Terbagi di Estate Sengkemang I 143 hektar dan Estate Sengkemang II 150 hektar.

Menurut majelis, berdasarkan fakta sidang dari keterangan saksi dan bukti surat, sekitar 120 hektar yang jadi kelebihan tanam oleh DSI merupakan kerjasama dengan masyarakat lewat penerbitan surat tanda daftar usaha budidaya (STD-B). Selebihnya, murni perusahaan tanpa ada perjanjian kerjasama masyarakat.

Atas dasar fakta itu, Majelis Hakim PN Siak yang diketua Rozza El Afrina bersama dua anggota Risca Fajarwati dan Selo Tantular menyatakan DSI yang diwakili direkturnya, Misno, bersalah dalam budidaya perkebunan dengan luasan tertentu tanpa IUP. Majelis jatuhkan pidana denda Rp6 miliar.

Pada 21 Oktober 2019, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru justru menganulir putusan ini. Menurut mereka, benar DSI melakukan perbuatan itu tapi bukan tindak pidana. Hakim Agung kembali batalkan putusan pengadilan tingkat banding nomor 321/PID.SUS/2019/PT PBR. Majelis kembali hukum DSI Rp6 miliar.

Misno memohon peninjauan kembali atas hukum, akhir September tahun lalu. Belum ada putusan terbaru saat tulisan ini dibuat.

Selain IUP, DSI juga sempat tersandung kasus pemalsuan surat. Masalah ini menyeret komisaris perusahaan, Suratno Konadi dan Teten Effendi, Kasubdin Pengukuran Dinas Pertanahan Siak. Bahkan mantan Bupati Siak, Arwin AS juga jadi tersangka.

Berdasarkan putusan Nomor 115/Pid.B/2019/PN Siak, ia berawal dari SK pelepasan kawasan hutan 13.532 hektar buat DSI yang diterbitkan Menteri Kehutanan pada 1998. Keputusan itu mewajibkan DSI mengurus hak guna usaha (HGU) dalam waktu satu tahun.

Perintah itu tak dilaksanakan. DSI justru langsung mengurus izin lokasi pada 2003 dan 2004 ke Bagian Tata Pemerintahan, Sekretariat Daerah, Siak. Bupati Siak Arwin AS menolak menerbitkan warkah.

Alasannya, berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Siak 2002-2011, lokasi yang dimohonkan tidak sesuai peruntukan lagi. SK pelepasan kawasan hutan yang dilampirkan DSI saat ajukan permohonan juga sudah kadaluarsa.

Tak tembus di situ, setelah terjadi pergantian pengurus DSI, Direktur Utama Meryani alias Mery beri kuasa ke Suratno Konadi agar berusaha dapatkan kembali izin lokasi.

Suratno, tahu upaya sebelumnya sudah ditolak, hingga permohonan itu beralih lewat Dinas Pertanahan Siak. Padahal, dalam adiministrasi pemerintahan, belum ada peralihan kewenangan pengurusan izin lokasi dari Bagian Tata Pemerintaha ke Dinas Pertanahan.

Suratno juga lampirkan kembali SK pelepasan kawasan hutan yang sudah tak berlaku lagi serta surat dari Badan Planologi Kehutanan 2005. Berbeda dengan keputusan sebelumnya, Arwin mengabulkan permohonan itu dengan membentuk tim penyelesaian masalah lahan DSI.

Teten Effendi ada dalam tim itu. Dia bergerak dengan beberapa perangkat Dinas Pertanahan lain yang tidak termasuk dalam tim resmi. Kerja-kerja mereka di lapangan pun ditolak masyarakat karena areal itu tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat, koperasi dan hutan tanaman rakyat yang bekerjasama dengan perusahaan swasta.

Di sana, juga ada areal perencanaan untuk program pengembangan perkebunan sawit dan agrowisata yang dikelola langsung Pemkab Siak.

Teten tidak memuat penolakan masyarakat bermitra dengan DSI, dalam berita acara pemeriksaan. Laporan hasil pengecekan lahan DSI itu juga tidak ditandatangani seluruh tim resmi bahkan tidak disampaikan ke Arwin.

Arwin pernah menolak permohanan DSI. Teten berupaya mempengatuhi dengan mencomot 8.000 hektar areal yang terlanjur dikelola tadi buat DSI.

Setelah mendengar penjelasan Teten, Arwin akhirnya menerbitkan izin lokasi untuk DSI, bertarikh 8 Desember 2006. Belakangan, ketika ditunjukkan penyidik laporan Teten kala itu, Arwin mengaku salah dan khilaf.

Arwin beri beberapa catatan dalam surat izin lokasi, antara lain: DSI diminta selesaikan kepemilikan lahan oleh pihak lain lewat musyawarah, wajib mengajukan permohonan hak atas tanah bila proses perolehan tanah selesai. Kemudian, tanah yang tak dapat dikuasai dan kebun-kebun masyarakat harus dikeluarkan. Keputusan itu hanya berlaku untuk tiga tahun dan hanya diberi satu kali kesempatan perpanjangan.

DSI, lagi-lagi tidak melaksanakan perintah itu. Dia justru mohon diterbitkan IUP dengan melampirkan SK izin lokasi termasuk SK pelepasan kawasan hutan yang bermasalah sejak awal. Arwin, kembali menyambut permintaan itu dengan membentuk tim inventarisasi lahan.

Teten tetap masuk dalam tim sebagai wakil ketua dengan jabatan kala itu Plt Kadis Pertanahan. Seperti tim sebelumnya, dia juga main sendiri dan menunjuk langsung bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas tim. Sementara ketua tim tak melakukan apapun.

Teten, tetap tidak melaporkan bahwa areal yang dimohonkan masih dikuasai masyarakat dan pihak lain. Bahkan areal itu telah bersertifikat. DSI, belum ada kegiatan sama sekali di atasnya termasuk bayar ganti rugi.

Ketika Teten menduduki jabatan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dia minta Arwin tandatangani SK IUP buat DSI. Pada 2009, DSI dapatkan warkah itu. Setahun berikutnya, DSI bertahap mulai tanam sawit.

Kasus ini dilaporkan oleh seorang pemilik kebun sawit yang cukup luas di atas izin DSI. Dia kerjasama dengan perusahaan sawit lain dalam mengelola kebun. Akhir dari penegakan hukum lebih berpihak pada Suratno dan Teten.

Menurut majelis hakim yang sama dalam perkara IUP DSI sebelumnya, tuntutan penuntut umum mengenai pemalsuan surat tidak terbukti. Kata majelis, SK pelepasan kawasan hutan 1998 belum dicabut meski di dalamnya ada klausul tidak berlaku lagi dengan sendirinya.

Majelis mengutip pendapat ahli Mirza Nasution, bahwa frasa atau keputusan yang telah berakhir itu perlu dibatalkan terlebih dahulu oleh lembaga peradilan.

Upaya kasasi yang dimohonkan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Siak, Herlina Samosir pun, kandas di Mahkamah Agung. Hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Adapun Arwin AS, belum jelas kelanjutan kasusnya, meski menyandang status tersangka sejak dua tahun lalu sampai dua terdakwa lain dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau, sudah kirim surat perintah mulai penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Tinggi Riau.

Teddy Ristiawan, Dirreskrimum Polda Riau tidak menjawab pertanyaan yang dikirim Mongabay ke WhatsApp-nya. Dia juga menolak panggilan ke nomornya, Rabu 5 Mei 2021. Sedangkan Kabid Humas Polda Riau Sunarto, waktu yang sama juga tidak mengangkat panggilan dan tidak membaca pesan yang dikirim.

 

 

*****

Foto utama: Ilustrasi. Kebakaran di kebun sawit yang berada di lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version