Mongabay.co.id

Dorong Pemenuhan Hak Petani dalam Sistem Pangan Berkelanjutan

Sagu, salah satu sumber pangan lokal yang banyak tumbuh di daerah-daerah di nusantara ini, seperti Riau, Papua, Maluku dan lain-lain. Tanaman sagu, antara lain yang cocok di lahan gambut. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hidup petani dan orang yang bekerja di pedesaan hingga kini masih tak menentu. Hak-hak asasi mereka masih terabaikan, antara lain, perampasan lahan tani terjadi di mana-mana bahkan petani kerap menghadapi kriminalisasi. Deklarasi tentang hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants/UNDROP) sudah ada sejak Desember 2018. Sayangnya, di Indonesia, instrumen pemenuhan HAM ini belum teradopsi dengan optimal hingga kedaulatan pangan masih tertatih. Berbagai kalangan mendorong, pemerintah mengadopsi UNDROP dalam kebijakan guna mewujudkan sistem pangan berkelanjutan.

Serikat Petani Indonesia, sebagai salah satu penggagas instrumen ini sejak 2001 mendorong agar UNDROP bisa terimplementasi dalam kebijakan sistem pangan berkelanjutan di Indonesia. Tujuannya, guna peningkatan kesejahteraan bagi petani atau nelayan, maupun konsumen.

Zubaidah, Ketua Dewan Pengurus WIlayah Sumatera Utara SPI mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini belum menyelesaikan masalah di tingkat tapak yang berkaitan erat dengan kesejahteraan petani. Berbagai masalah itu, katanya, seperti, penyelesaian ketimpangan struktur kepemilikan lahan, penyelesaian konflik agraria, menghentikan perampasan lahan dan kriminalisasi petani.

“Pemerintah harus segera mengadopsi UNDROP dan mensinkronisasi dengan kbijaan maupun peraturan UU terkait agraria, pertanian dan pedesaan di Indonesia,” katanya dalam seminar daring FIAN Indonesia bersama SPI, belum lama ini.

Berdasarkan data Global Multidimensional Poverty Index 2015-2018, kesenjangan kemiskinan multidimensi antara kota dan desa di Indonesia, berkisar antara 10,71-17,23%. Kesenjangan cukup tinggi ini, kata Zubaidah, karena reforma agraria dan hak asasi petani belum berjalan.

“Tanah jadi faktor produksi penting bagi petani.”

Di Indonesia, katanya, masih banyak petani gurem atau hampir 59% rumah tangga tani memiliki kurang dari 0,5 hektar.

Lahan sawah pun tercatat terus menurun setiap tahun, pada 2009 mencapai 8,1 juta hektar, lalu 2018, luas tinggal 7.105.145 hektar, kini ada kenaikan sekitar 300.000 hektar jadi 7.463.948 hektar. “Konversi juga disebabkan perampasan lahan oleh pemerintah sendiri, dan ketidakberpihakan pada petani.”

Hironimus Pala, Direktur Yayasan Tananua Flores mengatakan, komitmen pemerintah sangat rendah pada upaya perlindungan petani. Petani sebagai penyangga pangan, katanya, seringkali terpinggirkan.

Dia sebutkan, masih banyak petani alami kriminalisasi, program reforma agraria tidak tepat sasaran dan tidak mengakomodir petani serta ada kebijakan impor saat petani panen raya.

“Petani harus dilihat sebagai jantung dari sistem pangan. Pangan tidak hanya dilihat sebagai pemenuhan akan lapar, tapi perlu dilihat pada sosial dan budaya.”

 

Baca juga: Ulat Sagu, Kuliner dari Kampung Yoboi

Padi lokal Seko, dengan rasa enak. Benih lokal ini bakal terancam kala benih impor masuk terlebih membawa penyakit berbahaya. Foto: Eko Rusdianto

 

Selain itu, kata Hironimus juga anggota dewan FIAN Indonesia ini, perlu kerja sama atau kolaborasi dari aktor-aktor yang bergerak di sektor pertanian dan bukan, seperti konsumen, guna mewujudkan pemenuhan hak petani dan membangun sistem pangan berkelanjutan.

UNDROP, katanya, sebagai transformasi sistem pangan dengan penekanan pada kedaulatan dan pemenuhan gizi. Tranformasi itu, katanya, terkait dengan para aktor dari mulai penanaman, pengolahan, distribusi, konsumsi sampai pengolahan limbah.

Bicara hak petani, tak lepas dari nelayan tradisional. Dani Setiawan, DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebutkan, penting pengarusutamaan instrumen ini dalam amanat konstitusi. Perlu ada juga, kebijakan-kebijakan perikanan berkelanjutan yang berpihak pada nelayan kecil.

“Tentu ada kewajiban negara, peran aktif negara penting dalam upaya membuat regulasi yang berpihak pada petani dan nelayan, mensejahterakan pelaku di sektor pertanian dan perikanan, terutama petani dan nelayan,” katanya.

Di Indonesia, kata Dani, petani yang bekerja demi pemenuhan kedaulatan pangan seringkali bertentangan dalam pembangunan. “Paradigma investasi dan pembangun seringkali mencabut hak atas pangan, hak petani dan hak asasi manusia.”

Dani  pun mendorong, Pemerintah Indonesia segera mengadopsi UNDROP dalam pemenuhan hak atas pangan dan gizi bagi produsen maupun konsumen.

Dani juga menyoroti peran perempuan dalam sistem pangan di Indonesia yang masih sering terpinggirkan dan belum mendapatkan perlindungan.

Padahal, katanya, perempuan petani maupun nelayan banyak terlibat dalam penangkapan, budidaya, pemasaran ikan bagi masyarakat pesisir. “Perempuan biasa tak mendapatkan akses cukup pada alat produksi dan pembiayaan.”

Jarot Indarto, analis Kebijakan Bappenas mengatakan, sudah melibatkan partisipasi petani dalam pembuatan kebijakan pertanian dan pangan di Bappenas. Meski diakui saat ini, Indonesia memiliki tantangan terhadap konsumsi dan keberlanjutan sumber daya pertanian.

 

Baca juga: Menjaga Sagu, Harapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua

Buah pisang, bergizi sekaligus sumber kerbohidrat . Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia katakan ada lima fokus sistem pangan nasional yang diusung pemerintah, pertama, produksi domestik bekerlanjutan dan ketersediaan mencukupi kebutuhan atau permintaan pangan berkualitas dan aman. Kedua, lingkungan kondusif pengembangan industrialisasi pangan lokal. Ketiga, stabilisasi akses pangan, keempat, penguatan korporasi petani dan efisiensi pangan dan kelima, bantuan pangan untuk petani miskin.

 

Kelembagaan pangan

Secara terpisah, Hermanu Triwidodo, Kepala Tani Center Universitas IPB mengatakan, penting ada kelembagaan pangan nasional sebagai jalan memperkuat kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani sebagai produsen pangan.

“Kelembagaan pangan harus jadi alat untuk mensejahterakan dan memuliakan petani bukan sebaliknya.”

Kelembagaan pangan ini, katanya, penting sebagai implementasi UU Pangan 18/2012. Lembaga ini nanti bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Dia bilang, lembaga pangan ini mendesak karena persoalan pangan dari tahun ke tahun terus terjadi, dari masalah produksi, impor pangan dan ketidakharmonisan antar lembaga yang memiliki kewenangan atas pangan.

”Perlu diingat, kehadiran kelembagaan ini jangan sampai menghadirkan persoalan baru.”

Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan, persoalan pangan karena ada perbedaan data dan ego sektoral.

Data produksi pangan pokok berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lain. Hal sama juga terjadi dalam kasus impor beras. Antar lembaga saling menyampaikan alasan antara setuju dan menolak.

“Persoalan pangan terus terjadi menunjukkan, tata kelola dan kelembagaan pangan masih lemah. Kebijakan yang dibuat juga seringkali kurang akuntabel dan tak transparan serta jauh dari partisipatif,” katanya, seraya berharap, kelembagaan pangan segera terbentuk.

Dia berharap, kelembagaan atau badan pangan nasional yang baru nanti mampu menjawab persoalan mendasar dalam kelembagaan yang ada kini. Setidaknya, ia punya kewenangan antara lain, bisa berfungsi koordinatif, kewenangan regulatif, anggaran, sinkronisasi data, kontrol serta pengawasan publik yang masih lemah.

 

 

*****

Foto utama: Sagu, jenis pangan lokal di nusantara. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version