Mongabay.co.id

Pendekatan Berbasis Ekosistem, Cara Baru Kelola Kelautan dan Perikanan

 

Pengelolaan berbasis ekosistem (ecosystem approach to fisheries management/EAFM) adalah konsep yang saat ini sedang menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada banyak kegiatan dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di dunia, termasuk Indonesia.

Namun, penerapan konsep tersebut memerlukan kelengkapan data dan informasi yang akurat, riset/kajian yang memadai, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Dengan demikian, dibutuhkan kerja sama dengan banyak pihak agar EAFM bisa berjalan baik.

Demikian diungkapkan Direktur Kelautan dan Perikanan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sri Yanti saat berbicara dalam sebuah kegiatan yang digelar di Jakarta belum lama ini.

Menurut dia, data dan informasi yang dimaksud, mencakup rencana produksi perikanan secara nasional yang ditargetkan bisa mencapai angka 20,4 juta ton pada 2024 mendatang. Target tersebut berasal dari produksi dua subsektor andalan, yakni subsektor perikanan tangkap dengan perikanan budi daya.

Target tersebut sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Bersamaan dengan target produksi, ditetapkan juga target lain yang masuk dalam sektor kelautan dan perikanan.

Termasuk, target ekspor perikanan yang diharapkan bisa mencapai angka USD8 miliar pada 2024 mendatang. Selain itu, perluasan kawasan konservasi perairan diharapkan bisa bertambah lagi hingga mencapai 26,9 juta hektare pada 2024.

“Pada 2020, luas baru mencapai 23,4 juta hektare,” papar dia.

baca : Merawat Wilayah Laut Nusantara dengan Sains dan Kearifan Lokal

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Untuk bisa mencapai semua target yang ditetapkan, sektor kelautan dan perikanan menjadikan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) sebagai basis spasial dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan atau sustainable fisheries.

Selain itu, WPPNRI juga menjadi basis spasial untuk transformasi kelembagaan dan fungsi WPPNRI, meningkatkan kualitas pengelolaan WPPNRI, serta pengelolaan, penataan ruang laut, dan rencana zonasi pesisir.

Dalam prosesnya, WPPNRI akan mendukung penguatan data stok sumber daya ikan (SDI) dan pengembangan kelembagaan WPPNRI. Kemudian, melaksanakan pengelolaan di wilayah perairan umum dan daratan (PUD), serta menyelesaikan rencana zonasi laut.

“Juga, pengendalian pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil, termasuk penyelarasan RZWP3K (rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dan RTRW (rencana tata ruang wilayah),” jelas dia.

 

Praktis dan Sederhana

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara La Sara pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa EAFM adalah implementasi manajemen perikanan dengan pendekatan ekosistem.

Menurut dia, penerapan konsep EAFM dalam pembangunan berkelanjutan dengan mengoptimalkan manfaat ekosistem secara berkelanjutan tidak akan mengalami kesulitan. Hal itu disebabkan, karena implementasi EAFM sangat praktis dan sederhana.

“EAFM itu selaras dan mendukung SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) 14 yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dengan pembangunan setiap negara saat ini,” ungkap dia.

baca juga : Mencari Cara Terbaik untuk Mengelola Wilayah Perairan di Indonesia

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

La Sara menjelaskan, pada 2003 Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menjelaskan bahwa EAFM adalah pendekatan pencapaian tujuan pengelolaan perikanan melalui pemahaman tentang interaksi antara komponen biotik, abiotik dan manusia dalam sebuah unit ekosistem perairan.

Selain FAO, dia meyebutkan bahwa pakar perikanan global Ellen Pikitch pada 2004 juga mengatakan bahwa EAFM adalah sebuah arahan baru pengelolaan perikanan di dunia, di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem, dan bukan dari spesies target.

Oleh karenanya, La Sara mengatakan bahwa kunci pemahaman EAFM adalah perhatian terhadap konektivitas antar komponen ekosistem (termasuk manusia) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh spesies target sebagai obyek dari pengelolaan perikanan.

“EAFM adalah pendekatan holistik dari pengelolaan perikanan yang melibatkan seluruh sistem sosial ekologis,” terang dia.

Lebih detail, tujuan pengelolaan perikanan dengan menerapkan konsep EAFM adalah untuk mencapai keberlanjutan sumber daya ikan dan habitat, sosial ekonomi, dan tata kelola. Dengan demikian, EAFM mengajak pemangku kepentingan untuk memahami konsep dan pentingnya pengelolaan perikanan untuk mencapai perikanan yang berkelanjutan.

Menurut La Sara, EAFM akan memperkuat kelembagaan melalui perencanaan dan kerja sama yang lebih baik, membangun dan mengintegrasikan pendekatan kemitraan (co management) dengan pendekatan partisipatif lain.

Dengan penerapan EAFM, akan didapat hal positif lain, yakni penggunaan pengetahuan tradisional dan ilmiah yang sudah ada, juga meningkatkan kapasitas manusia dalam kompetensi yang dibutuhkan untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Secara prinsip, La Sara menjabarkan apa yang sudah dipublikasikan FAO pada 2003 silam. Di antaranya, perikanan harus dikelola pada batas memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem, interaksi ekologis antar sumber daya ikan dan ekosistemnya harus dijaga.

Kemudian, perangkat pengelolaan sebaiknya cocok untuk semua distribusi SDI, prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan, dan tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia.

Dengan semua manfaat yang didapat, penerapan EAFM memang bisa menjadi pertimbangan yang tepat untuk melaksanakan pengelolaan perikanan di Nusantara. Terlebih, sejak 2014 Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah menerbitkan surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 18 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem.

perlu dibaca : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal

 

Buruh nelayan saat melakukan bongkar ikan di PPN Brondong. Pada tahun 2020 data PPN Brondong menunjukkan, jumlah tenaga kerja yang terserap kurang lebih 12.887 orang, dengan jumlah nelayan 9.641 orang. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia.

 

Komprehensif dan Berkelanjutan

Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Trian Yunanda mengakui bahwa Pemerintah Indonesia sudah mengembangkan EAFM sejak 2010 lalu dan mulai menerapkannya lima tahun kemudian, tepatnya pada 2015.

Konsep tersebut, mengusung keseimbangan antara tujuan sosial ekonomi dengan mempertimbangkan ekosistem perairan, melalui sebuah pengelolaan yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan. Konsep tersebut sudah diterapkan di WPPNRI 715, 717, dan 718.

Penerapan EAFM pada ketiga WPPNRI tersebut dilakukan melalui program coastal fisheries initiative (CFI) dari Global Partnership Consultation (GFC) di bawah supervisi langsung FAO. CFI merupakan upaya kolaboratif global untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dan melestarikan keanekaragaman hayati laut di wilayah pesisir, melalui tata kelola yang lebih baik dan memperkuat rantai nilai pangan laut.

Adapun, ketiga WPPNRI yang sudah menerapkan EAFM, adalah 715 yang mencakup perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; 717 yang mencakup perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik; dan 718 yang mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Selain WPPNRI, penerapan EAFM juga sudah dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan dimulai dari tingkat provinsi dan berlanjut ke tingkat kabupaten/kota. Kebijakan tersebut mengacu pada sejumlah regulasi yang diberlakukan di provinsi tersebut.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sultra Johannes Robert mengatakan, EAFM di Sultra dilaksanakan dalam sejumlah program kerja, termasuk RZWP3K, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sultra, dan Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP).

Adapun, program PAAP yang ada dalam lingkup masyarakat hukum adat (MHA) Sultra mencakup 11 kabupaten pesisir, 222 desa pesisir, 47.617 nelayan, 22 lokasi program, 13 di kawasan pemanfaatan umum, 334.741 hektare potensi kawasan PAAP.

“Serta 14 kelompok PAAP yang sudah mendapatkan akta notaris,” tutur dia.

 

Nelayan luar wilayah bisa leluasa memasuki perairan Wakatobi karena memiliki izin dari provinsi. Oleh nelayan setempat disebut kapal pelingkar karena penggunaan jaring yang ditebar secara melingkar dan teknologi yang lebih baik dari nelayan lokal. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sementara, penerapan EAFM yang langsung dilakukan oleh MHA di antaranya adalah Sarano Wali, yaitu sistem keadatan yang dimiliki oleh etnis Cia-cia di Kabupaten Wakatobi, yang mendiami di sebagian Pulau Binongko.

Sarano Wali biasanya dipimpin oleh Lakina Wali, dan dalam menjalankan pemerintahannya, Sarano Wali diselenggarakan oleh Tiga Tungku, yiatu Lakina Wali, Imam Wali, dan Lurah Wali.

Selain sistem keadatan, etnis Cia-cia juga memiliki pranata adat yang ditaati dan masih dijalankan hingga saat ini. Kaombos, sistem keadatan tersebut, adalah pelarangan mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan apabila dilanggar akan mendapat sanksi, baik sanksi melanggar doadoa Kaombo maupun sanksi adat.

“Tiga tata kelola adat kaombo dalam Sarano Wali, adalah Pribadi, Kaombo Hutan Lindung dan Kaombo Pesisir,” pungkas dia.

 

Exit mobile version