- Pemerintah Indonesia menargetkan luasan kawasan konservasi perairan bisa mencapai 32,5 juta hektare pada 2030. Luasan tersebut merupakan capaian ideal karena sudah mencapai target 10 persen dari total luas wilayah perairan laut Indonesia
- Agar target 2030 bisa terwujud, Pemerintah Indonesia harus mengejar tambahan luas kawasan konservasi perairan hingga 9,16 juta ha atau 2,8 persen. Saat ini, luas yang sudah terbangun adalah 23,34 juta ha atau 7,18 persen
- Dalam mewujudkan target 2030, Pemerintah Indonesia membuat dokumen Marine Protected Area (MPA) Vision 2030. Dalam dokumen tersebut, terdapat tujuh area kerja yang bisa mempercepat terwujudnya target luasan pada 2030
- Di sisi lain, untuk mengelola kawasan pesisir, diperlukan keterlibatan masyarakat lokal dengan kearifan pesisir yang ada di setiap wilayah. Dengan model tersebut, konservasi wilayah perairan dan peningkatan aktivitas ekonomi bisa dilakukan secara bersama
Dalam waktu sepuluh tahun mendatang, kawasan konservasi perairan yang ada di Indonesia diharapkan bisa mencapai 10 persen dari total luas perairan secara nasional. Dengan kata lain, hingga 2030 nanti luas kawasan konservasi perairan yang operasional dan termanfaatkan secara berkelanjutan minimal bisa seluas 32,5 juta hektare.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Aryo Hanggono menjelaskan, dengan target yang sudah ditetapkan tersebut, Pemerintah Indonesia mempunya pekerjaaan rumah (PR) untuk bisa mengejar tambahan luas kawasan konservasi perairan hingga 9,16 juta ha.
Saat ini luas kawasan konservasi perairan yang sudah ada baru mencapai 23,34 juta ha atau 7,18 persen dari total luas wilayah perairan nasional. Luas tersebut berdasarkan data yang dimiliki KKP hingga Maret 2020 lalu.
“Masih dibutuhkan 2,8 persen lagi untuk bisa mencapai target 10 persen dari yang ditetapkan,” ucap Aryo belum lama ini di Jakarta.
baca : Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur
Meski demikian, dia buru-buru menambahkan bahwa luasan kawasan konservasi perairan yang sudah tercapai sekarang masih belum operasional dan termanfaatkan secara berkelanjutan. Faktanya, hingga sekarang baru seluas 9,84 juta ha atau 30,72 persen dari total luas yang ada dan sudah operasional dan termanfaatkan secara berkelanjutan.
Menurut Aryo, untuk mencapai tujuan utama pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi secara berkala. Di antaranya, adalah perencanaan yang terpadu antara pusat, daerah, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lain. Selain itu, juga adanya pendanaan berkelanjutan.
Salah satu upaya agar setiap tantangan bisa dilewati, adalah dengan melibatkan banyak pihak dalam pengeloalan kawasan konservasi perairan yang ada saat ini. Pelibatan pihak lain itu, seperti menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga, baik Pemerintah ataupun non Pemerintah.
Aryo menyebutkan, dalam kaitannya dengan kerja sama, KKP perlu menggandeng Badan Perencanaan, Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan mitra konservasi seperti Word Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Conservation International (CI) Indonesia, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan Coral Triangle Center (CTC).
“Mitra utama konservasi menyusun dokumen MPA (marine protected area) vision 2030 sebagai acuan bersama,” jelas dia.
Dokumen MPA yang berbasis ilmu pengetahuan, diharapkan menjawab tantangan pengelolaan yang dihadapi. Melalui dokumen MPA itu, pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan akan tetap menjaga ekosistem yang akan berkontribusi pada ekonomi lokal maupun nasional.
baca juga : Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Dideklarasikan sebagai Hope Spot. Apa Itu?
Area Kerja
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Andi Rusandi menambahkan, saat ini terdapat tujuh area kerja yang diusulkan bisa masuk dalam dokumen MPA Vision 2030. Ketujuh area kerja tersebut harus bisa terlaksana, perencanaan yang terpadu, dan pendanaan berkelanjutan.
Adapun, tujuh area kerja itu adalah perencanaan pusat, daerah dan pemangku kepentingan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, menyusun regulasi dan kebijakan, pemanfaatan perikanan dan wisata berkelanjutan, pendanaan berkelanjutan, other effective area-based (OECM) conservation measures; dan wadah komunikasi bersama.
“Perencanaan terpadu dilaksanakan melalui koordinasi antar kementerian dan lembaga (K/L), serta stakeholders terkait. Sedangkan untuk memenuhi pendanaan berkelanjutan, perlu diidentifikasi dan memanfaatkan sumber-sumber dana non-pemerintah,” tegasnya.
Sementara, Direktur CTC Rili Hawari Djohani menjelaskan, komitmen untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan 10 persen kawasan konservasi perairan dari dari total wilayah perairan, sudah disepakati oleh konsorsium lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat gelaran Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Bali.
Seluruh LSM menyepakati untuk terus mendukung Pemerintah dalam mewujudkan target konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity/CBD) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Merujuk pada CBD dan SDGs, Indonesia harus bisa menyisihkan 10 persen wilayah perairan laut untuk konservasi dan memperkuat efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang sudah ada. Pada Mei 2019, WWF Indonesia adn CTC memulai proses untuk mengembangkan visi dan peta jalan MPA 10 2020 untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia.
“Komponen utama dalam memajukan sistem kawasan konservasi Indonesia akan ditangani secara terpadu dan berkelanjutan. Tentu membutuhkan kolaborasi di tingkat nasional dan provinsi, serta pelibatan pemangku kepentingan,” jelas Rili.
perlu dibaca : Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia
Kearifan Pesisir
Di sisi lain, pengelolaan wilayah pesisir juga harus dilakukan melalui pemberdayaan pengetahuan dan juga keterlibatan kearifan lokal. Hal itu penting dilakukan, agar wilayah pesisir bisa dikelola dengan baik dan selalu berjalan beriringan dengan masyarakat yang ada di pesisir.
Demikian diungkapkan Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk Bidang Sosiologi Antropologi Tukul Rameyo. Menurut dia, kearifan pesisir akan menjadi kunci saat situasi tidak terkendali seperti sekarang, yaitu wabah COVID-19 sedang mengepung dunia.
Dengan mengadopsi kearifan pesisir, pengelolaan wilayah pesisir juga bisa tetap berlangsung dengan sesuai harapan dan target yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk, melaksanakan konservasi di atas wilayah perairan Indonesia dan meningkatkan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah pesisir.
Rameyo kemudian memberi contoh, kearifan pesisir yang bisa diterapkan dalam pengelolaan wilayah perairan adalah dengan ecosystem approach for fisheries management (EAFM). Model tersebut adalah bentuk pendekatan pengelolaan perikanan, khususnya perikanan skala kecil yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan mata pencaharian masyarakat nelayan.
Menurut dia, pendekatan ini sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat nelayan lokal sebagai bagian dari pengetahuan dan kearifan pesisir untuk menjaga kelestarian sumber daya dan lingkungan pesisir. Model seperti itu bisa dijumpai pada pola kearifan lokal Panglima Laot di Aceh, Sasi di Maluku, dan Awig-awig di Bali dan Lombok.
menarik dibaca : Sasi Nggama di Kaimana: Perlindungan Adat untuk Sumber Daya Laut
Rameyo kemudian menjelaskan, hasil beberapa studi menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kearifan lokal harus bisa menjadi titik awal untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Tanpa memahami nilai pengetahuan atau kearifan lokal, dan perspektif masyarakat, maka sulit untuk melibatkan partisipasi masyarakat.
“Dan juga mewujudkan development for people and no one left behind,” tutur dia.
Berkaitan dengan kearifan pesisir, Tukul Rameyo mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir adalah salah satu bagian yang merasakan dampak paling buruk akibat penurunan ekonomi. Kondisi tersebut dirasakan saat ini, saat pandemi COVID-19 masih belum berakhir.
Menurut dia, pemberdayaan pengetahuan dan kearifan lokal untuk pengelolaan pesisir berkelanjutan dipandang memiliki nilai strategis dalam mendukung terwujudnya program prioritas nasional untuk pengembangan wilayah. Terutama, untuk mengurangi kesenjangan dan pembangunan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan ketahanan bencana.
“Termasuk untuk pemulihan bencana wabah COVID-19,” sebutnya.
Agar pemberdayaan pengetahuan atau kearifan lokal bisa berjalan, Pemerintah Indonesia menegaskannya dalam kebijakan yang ada dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024. Itu menjadi kelanjutan dari kebijakan look east policy yang telah dimulai pada RPJMN 2018-2020.
Dalam kebijakan pemberdayaan pengetahuan dan kearifan lokal, penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim melalui adaptasi masyarakat dengan berbasis kearifan lokal masyarakat, menjadi salah satu strategi agenda pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan.
“Khususnya pada program pembangunan wilayah per pulau,” pungkasnya.