Mongabay.co.id

Krisis Kebudayaan atau Krisis Lingkungan?

 

Tulisan ini adalah sebuh refleksi lingkungan dari perspektif budaya dalam memperingati Hari Keanekaragaman Hayati pada tanggal 22 Mei. Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati yang dimulai 29 Desember 1993, yang kemudian peringatannya berubah menjadi setiap tanggal 22 Mei sejak tahun 2001.

 

Indonesia merupakan negeri yang beragam. Baik alam maupun manusianya. Tiga kekayaan yang membuat alam Indonesia menjadi ruang hidup beragam flora, fauna, dan manusia. Air, sinar matahari, dan gunung berapi semua menjadi perpaduan tanah dan air yang subur; menyediakan rantai makanan bagi segenap makhluk.

Saat ini tercatat sekitar 300 kelompok etnik atau 1.340 kelompok suku bangsa, yang hidup bersama dengan lebih dari 8.000 spesies flora, dan 2.215 spesies fauna.

Hebatnya, selama belasan abad, keberagaman tersebut terjaga. Manusia dengan alam hidup harmonis. Hubungan itu akhirnya melahirkan beragam budaya. Mulai bahasa, pakaian, sastra lisan, rumah, upacara adat, kuliner, obat-obatan, senjata, tari, kepercayaan, hingga alat musik.

Dengan kata lain hidup di Indonesia dipastikan akan sehat, sejahtera, dan aman.

Satu-satunya ancaman adalah bencana alam yang bukan disebabkan ulah manusia seperti gempa bumi, tsunami, badai, dan gunung meletus. Terkait ancaman ini, leluhur manusia Indonesia belajar beradaptasi. Mereka cenderung tidak mengubah alam dan percaya alam yang menciptakan bencana dan alam yang mengatasinya.

Misalnya tidak merusak mangrove di pesisir, tidak merusak hutan di sekitar gunung, pun tidak merusak sungai, danau, rawa dan lainnya.

Keberadaan alam seperti mangrove, hutan, sungai, danau, rawa, tersebut dapat menjadi pelindung bagi manusia dari ancaman sapuan ombak tsunami, hujan debu, hujan batuan, aliran lava dari gunung berapi yang meletus, dan ancaman longsor, pencairan tanah akibat gempa bumi.

Baca: Ketika Bumi “Memaksa” Umat Manusia Berpuasa

 

Menjaga hutan beserta keanekaragaman hayatinya berarti kita menjaga kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di bumi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Secara daya adaptasi maka salah satu kecerdasan manusia Indonesia yakni membuat rumah panggung, perahu, dan memilih permukiman di tepian air. Rumah panggung dapat dibuat tanpa mengubah bentang alam, baik di kemiringan dataran tinggi, lembah, dataran rendah dan pesisir. Sementara perahu merupakan alat transportasi yang dapat digunakan di sungai, danau, rawa, dan laut.

Menempatkan permukiman di tepian air, baik sungai, danau, rawa atau laut, selain cepat mendapatkan sumber air bersih, pangan [ikan-ikan], juga membuat hubungan antarkampung mudah diakses, serta tidak perlu membuka banyak hutan guna membuat perkampungan. Rumah-rumah dibangun memanjang mengikuti aliran sungai, danau, rawa dan pesisir.

Tujuan relasi harmonis manusia dengan alam, tentunya agar semua makhluk “selamat”, seperti yang dikatakan Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya, dalam Prasasti Talang Tuwo (684M); terjemahan bebasnya:

“Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.”

Baca: Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia

 

Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung kaya rempah, yang semua itu didapatkan dari alam yang kita jaga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

***

Sebagian besar kita sudah paham, jika berbagai aktivitas manusia pada hari ini, mulai dari pertanian, peternakan, perkebunan, energi, infrastruktur, transportasi, telah mengancam keanekaragaman hayati bumi, yang tentu saja selanjutnya menimbulkan risiko bencana bagi manusia, mulai dari perubahan iklim, krisis pangan, kekeringan, banjir, hingga wabah penyakit.

Para akademisi atau pegiat budaya di Indonesia dalam beberapa puluh tahun terakhir menyebutkan atau menggambarkan Indonesia tengah mengalami krisis kebudayaan, jika dilihat dari karakter manusianya.

Generasi muda, yang adalah penerus bangsa, dinilai telah amat dipengaruhi arus globalisasi, sehingga mereka gandrung akan budaya asing, hidup instan, dan kehilangan adat istiadat.

Riris K. Toha Sarumpaet, Guru Besar Sastra dari Universitas Indonesia dalam peluncuran Buku Krisis Budaya dan Bedah Buku Manusia Indonesia di Yayasan Obor Indonesia pada April 2016 menyinggung tentang pentingnya pendidikan karakter sejak usia dini, khususnya untuk mengelola arus globalisasi.

Pertanyaannya, apakah hanya generasi muda yang bermasalah?

Faktanya, hari ini banyak tindakan atau perilaku orang dewasa yang membuat kita terkejut atau temenung. Misalnya banyak koruptor yang latar belakangnya memiliki pendidikan dan profesi terhormat. Korupsi pun tidak pandang bulu, menghinggapi pejabat tinggi, aparat hingga menteri sekali pun.

Jauh sebelum reformasi, Mochtar Lubis [1922-2004], seorang budayawan, sastrawan dan jurnalis, di Taman Ismail Marzuki [TIM] Jakarta, 6 April 1976, menyampaikan pidato kebudayaan yang berjudul “Manusia Indonesia”. Teks pidato ini kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul yang sama.

Mochtar menyebutkan enam ciri-ciri manusia Indonesia. Pertama, munafik atau hipokrit. Kedua, enggan atau segan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, feodal. Keempat, percaya takhayul. Kelima, artisitik [seni]. Keenam, berkarakter lemah.

Otokritik Mochtar Lubis tersebut tentu saja membuat “telinga” banyak orang Indonesia—terutama kaum intelektual, politisi, seniman, pejabat negara— seakan terbakar.

Terlepas banyaknya kritik dan yang menolak pandangan tersebut, subjektivitas pendiri Kantor Berita ANTARA, itu menurut saya sebagai pertanda [pada saat itu] ada persoalan pada manusia Indonesia.

Hari ini, kita mungkin bersentuhan atau berhadapan dengan manusia yang karakternya digambarkan Mochtar Lubis sekian puluh tahun lalu tersebut. Berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, atas nama hukum, kepercayaan, harga diri, hampir setiap hari kita rasakan atau saksikan.

Baca juga: Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur

 

Mengapa manusia sering membuat kerusakan di muka bumi? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

***

Saya masih percaya, di masa lalu bangsa Indonesia adalah manusia yang berbudi luhur; terbuka, egaliter, dan berke-Tuhan-an. Karakter tersebut terbangun dari hubungan harmonis manusia dengan makhluk hidup lainnya. Mereka tahu jika dunia ini bukan hanya untuk manusia. Dan manusia hidup sangat bergantung dengan makhluk hidup lainnya.

Lalu, mengapa banyak manusia Indonesia pada saat ini berubah menjadi buruk, seperti yang digambarkan Mochtar Lubis? Menurut saya karena telah kehilangan “guru sejatinya”. Guru itu adalah alam. Seperti falsafah masyarakat Minangkabau, “Alam takambang jadi guru”.

Guru yang kita sebut sebagai keanekaragaman hayati tersebut mulai hilang satu per satu. Hutan yang dulunya rumah bagi ribuan flora dan fauna, berubah menjadi perkebunan monokultur, dipenuhi lubang eks pertambangan, atau menjadi ruang berbagai infrastruktur.

Manusia yang munafik, tidak bertanggung jawab, berkarakter lemah, atau feodal, tentu saja tidak bisa hidup dengan makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain, jika manusia belajar dari alam, maka dia akan memiliki karakter yang kuat, jujur, dan egaliter.

Matahari terbit pagi hari dan terbenam di sore hari; sebatang pohon ara tidak akan mempersoalkan pohon medang tumbuh di dekat dirinya; kijang betina terus mencari makan dan beranak meskipun setiap saat harimau mengincarnya; gajah yang besar dan gagah tidak akan memakan binatang lain; harimau jantan yang gagah, sadar pada waktunya dia akan tersingkirkan dan mati dalam kesendirian.

Saya percaya, jika alam dan keragaman hayati masih terjaga -arus globalisasi yang sebenarnya sudah berlangsung sejak belasan abad lalu- manusia Indonesia akan tetap memiliki karakter luhur.

Bahkan berbagai suku bangsa yang datang ke bumi Nusantara akan “membaur” dengan budaya setempat. Mereka menjalankan falsafah, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Terakhir, dari gambaran sederhana di atas, saya ingin mengatakan jika memang terjadi krisis kebudayaan di Indonesia, sesungguhnya semua bermula dari krisis lingkungan.

Dengan kata lain, kita harus lebih kritis atas kehadiran berbagai investasi terkait kekayaan alam, dibandingkan kegilaan generasi muda terhadap Lady Gaga atau Bruno Mars & Anderson.

Selamatkan keanekaragaman hayati, maka kebudayaan Indonesia terjaga.

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version