Mongabay.co.id

Sungai-sungai di Jawa Sakit, Ikan Endemik Punah Perlahan

Aksi protes Ecoton di Monas, Jakarta, pencemaran sungai-sungai di Jawa, awal Mei lalu. Foto: Ecoton

 

 

 

 

Veryl Hasan, dosen Budidaya Perikanan Universitas Airlangga Surabaya meneliti sejumlah ikan langka di sungai utama Jawa. Salah satu, Lobocheilos falcifer, dalam bahasa lokal Jawa disebut ikan mangut. Secara fisik ciri-ciri mirip tawes (Barbonymus gonionotus) berwarna perak namun memiliki beberapa tonjolan pori-pori di bagian moncong dan mulut terletak di bawah.

Spesies mangut secara biogeografi tersebar di Sumatra, Kalimantan dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, tercatat habitat ada di Sungai Cisadane, Ciliwung dan Citarum.

Penelitian Veryl menunjukkan, ikan juga tersebar sampai di Waduk Wadaslintang, Wonosobo dan Sungai Tuntang, Semarang. Fakta ini, katanya, menunjukkan keberadaan spesies ikan langka ini terdapat di daerah yang sebelumnya tidak terduga.

“Penemuan ini merupakan catatan pertama spesies berada di luar habitat aslinya di Jawa Barat sejauh 360 kilometer,” katanya.

Kini, mangut makin susah ditemukan. Habitat ikan ini berada di lokasi air jernih dan bebas pencemaran. Saat ini terjadi tekanan lingkungan tinggi, sungai-sungai tercemar hingga habitat mangut terkepung permukiman dan industri. Spesies ini rentan punah.

“Indikasinya, spesies ini tidak tahan perubahan lingkungan ekstrem hingga populasi di alam sangat terbatas,’ katanya.

Berdasarkan The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist, mangut terdaftar sebagai spesies vulnerable. Berarti, keberadaan sudah sulit karena populasi makin sedikit.

Veryl menyebut, populasi mangut mirip harimau dengan jumlah tak lebih dari 500 di alam.

“Populasi tak sampai 1.000. Ikan di dalam air tak terlihat. Di Cisadane, langka, Ciliwung, nyaris tak ada. Tersisa di Serayu, tapi jarang. Di hulu Rawa Pening masih ada,” katanya.

Proses berkembangbiak mangut sangat sulit. Apalagi populasi sedikit hingga sulit bertemu mereka.

Penelitian ini dilakukan Mei 2019 dan terbit dalam jurnal internasional. Veryl khawatir, mangut punah sebelum orang menyadari.

Tak hanya mangut, spesies ikan di Sungai Brantas menurun dari 60 spesies teridentifikasi pada 1990, kini menyisakan 25 spesies, Di Bengawan Solo, spesies ikan hilang ada 20 jenis, menyisakan kurang dari 10 spesies.Ddi Sungai Citarum, sejumlah ikan punah antara lain Bagarius lica dari keluarga baung, belida (Chitala lopis) dan Lobocheilos lehat dari keluarga lais. Jenis ikan ini punah lebih dari 50 tahun lalu.

Selama 10 tahun terakhir, ada tujuh jenis ikan di Citarum punah antara lain Laides hexanema keluarga patin Sungai, Helostoma temnickii atau tambakan /gurami pencium, Rhyacichthys aspro, Pseudolais micronemus – keluarga patin sungai. Lalu, Pangasius macronema, keluarga patin sungai, Acrochordonichthys ischnosoma atau joko repo dan Acrochordonichthys rugosus.

Di Bengawan Solo, 50 tahun lalu ada satu jenis ikan punah yakni Bagarius lica dari keluarga baung. Dalam 10 tahun terakhir empat jenis ikan punah antara lain Macrochirichthys macrochirus, Pangasius macronemus atau jambal dari keluarga patin sungai, Luciosoma setigerum atau ikan bala, dan Homalopteroides wassinkii.

Dia mengusulkan usaha relokasi untuk penyelamatan. Ikan yang tersisa perlu diselamatkan ke sungai yang tak tercemar seperti di hulu Sungai Brantas. Mangut, katanya, bisa didomestikasi dan dikembangkan dengan melibatkan para pihak termasuk peneliti dan pemerintah.

“Kita punya Balai Pembenihan, Balai Pengolahan, tapi tak punya Balai Penyelamatan. Kita juga nyaris tak memiliki ahli konservasi ikan,” katanya.

 

Mangut, ikan endemik yang terancam punah karena pencemaran sungai di Jawa. Foto : Veryl Hasan

 

Sumber pencemaran sungai

Selama dua tahun, Veryl meneliti dari Cisadane, Banten sampai sungai di Bayuwangi. Keragaman atau biodiversitas ikan makin ke arah barat makin beragam. Di Jawa Barat, katanya, dari 10 ikan terdiri dari jenis berbeda, tetapi di Jawa Timur 10 ikan terdiri dari lima jenis berbeda.

Namun, katanya, potensi kerusakan dan pencemaran sungai di Jawa Barat, makin parah. Makin ke timur makin rendah. Sumber pencemar, kata Veryl, dari limbah cair industri dan rumah tangga.

Setiap rumah di bantaran sungai banyak membuang limbah cair domestik ke sungai.

“Limbah cair membuat sungai di Jawa dalam ancaman pencemaran,” kata Veryl.

Menurut dia, limbah cair berdampak langsung dan tak langsung teradap kepunahan ikan air tawar. Ancaman tidak langsung dengan mengubah planton, ketika komunitas planton berubah struktur segitiga rantai makanan yakni bakteri plankton, zooplankton, ikan kecil, ikan besar, ikan lebih besar.

“Ketika plankton habis berubah strukturnya. Ada rantai makanan bolong. Ini distruktif hingga sampai ikan paling besar,” kata Veryl.

Limbah cair industri cukup signifikan menimbulkan penurunan spesies ikan di sungai-sungai Pulau Jawa karena merusak rantai makanan mereka. Satu rantai makanan hilang, maka secara sistemik menggangu keutuhan ekosistem. Limbah mempengaruhi komunitas plankton hingga ikan tidak mendapat makanan. Kondisi ini, katanya, sudah kerusakan sistemik dan darurat.

Awalnya, merusak detritus, lalu benthos—sebagai sumber pakan ikan hingga akan habis karena habitat di dasar sungai. Kehilangan detritus dan benthos karena limbah cair industri akan memusnakan ikan air tawar yang hidup di sungai.

Sedangkan dampak langsung, limbah cair mempengaruhi hormon ikan, membuat genetical block yang memblokir sintesa protein terbentuknya kelamin jantan. Dengan begitu komposisi ikan di sungai didominasi ikan berjenis kelamin betina.

Dia menduga, bahan kimia merusak fisiologi ikan dari benih. Kondisi ini akan sangat berpengaruh saat ikan memasuki masa rentan atau transisi menentukan jenis kelamin, yang bisa dipengaruhi lingkungan.

“Belum ada penelitian menyeluruh. masih parsial di beberapa titik,” katanya.

Idealnya satu betina dikawani dua jantan. Kalau banyak betina, akan kekurangan agen untuk membuahi. Proporsi tak seimbang yang akan berpengaruh dan menyebabkan penurunan populasi hingga berujung ketersediaan setok ikan di alam menurun.

“Hampir semua ikan terdampak. Saya teliti ikan endemik status kritis. Ada beberapa ikan. Status sulit survive jika terjadi perubahan lingkungan drastis.”

 

 Baca juga: Sungai Brantas di Malang dan Batu Terkontaminasi Mikroplastik, Langkah Lanjutan?

Kondisi sungai kala kemarau, air bak kopi susu, coklat dan hitam serta berbau menyengat. Ini kondisi pada 2014. Foto: Riung Hijau

 

Sungai di Jawa sakit

Masih terkait limbah dan pencemaran sungai, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) ekspedisi tiga sungai di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Maret dan April 2021. Ekspedisi Ecoton bersama Forum Komunitas Daerah Aliran Sungai Citarum (Forkadas C), Ciujung Institut dan Ciliwung Institut meneliti Sungai-sungai Pulau Jawa.

Mereka inventarisasi keanekaragaman ikan dan sumber pencemaran di Kali Surabaya, Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciujung. Hasilnya sungai penting di Pulau Jawa dalam kondisi sakit.

“Sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciujung menjadi tempat pembuangan limbah pabrik tekstil dan pabrik kertas. Limbah cair dari industri kertas yang tidak diolah sempurna hingga menimbulkan substrat hitam yang berbau dan beracun,”kata Andreas Agus Kristanto, Chief of Field Reseacher National River Ecoton.

Peneliti ikan ini menjelaskan, substrat hitam yang mengendap di dasar sungai menyebabkan kadar oksigen terlarut dalam air turun. Kondisi ini menghasilkan material toksik dan merusak habitat ikan.

Dalam proses reproduksi ikan, katanya, memerlukan permukaan dasar sungai kasar, berbatu atau kerikil untuk menempelkan telur ikan. Substrat limbah cair pabrik kertas menutupi dasar sungai hingga membuat dasar sungai jadi licin. Lantaran muncul lapisan film beracun menyebabkan telur ikan tidak bisa bertahan.

“Telur ikan mati dan hanyut,” katanya.

Ecoton mencatat, tiga sungai nasional yang terkontaminasi limbah pabrik kertas daur ulang, yakni, Brantas (Jawa Timur), Citarum (Jawa Barat) dan Ciujung (Banten).

 

Aksi Ecoton di Jakarta, awal Mei lalu. Foto: Ecoton

 

Koordinator ekspedisi tiga sungai Ecoton, Azis menilai, pengawasan minim membuat mikroplastik di ketiga sungai mengkontaminasi ikan,

“Industri pabrik kertas daur ulang membuang limbah dengan pipa siluman. Dipasang di bawah permukaan air sungai, hingga tak bisa terlihat langsung,” katanya.

Temuan di lapangan, menunjukkan sampah plastik pengotor dalam kertas impor dengan jumlah tinggi hingga menimbulkan timbunan sampah sisa produksi (open dumping) yang menggunung. Ada tiga perusahaan pabrik kertas daur ulang yang mencemari tanah, dan perairan, dan sungai. Bahkan, mencemari udara dengan mikroplastik yang meningkatkan risiko kesehatan bagi anak-anak di lingkungan sekitar.

Januari 2021, Indonesia meratifikasi Basel Convention, yang mengharuskan negara pengekspor sampah dengan potensi sampah plastik pengotor harus memberikan notifikasi kepada negara tujuan ekspor agar mau menerima konsekuensi.

Tumpukan sampah sisa produksi menunjukkan ketidakmampuan pengimpor dan melanggar Undang-undang Nomor 18/2008 tentang pengolahan sampah.

Dari kebutuhan total sampah kertas untuk bahan baku industri kertas nasional, sekitar 50% atau sekitar tiga juta ton impor dari 52 negara. Tujuh negara pengekspor terbesar: Italia, Amerika Serikat, Jepang, Australia, Inggris, Belanda dan Selandia Baru. Sedangkan 30% impor sampah kertas diolah di Jawa Timur, porsi terbesar 70% diolah di Jawa Barat dan Banten.

Sampah kertas impor, tidak semua kertas, lebih 30% berupa sampah plastik seperti food packaging, household product, personal care dan sampah elektronik. Sedangkan sesuai Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri dan Kepolisian 2020 menetapkan, batas contaminant impor limbah non-B3 untuk bahan baku industri sebesar 2%.

Pengotor yang tinggi menghasilkan serpihan plastik dan kertas sisa produksi yang bernilai ekonomi rendah dan tak mungkin terdaur ulang. Sampah dibuang terbuka, dibakar dan menghasilkan limbah cair yang mengandung mikroplastik dan mengotori sungai.

Pada 2020, sebanyak 21 negara mengekspor limbah kertas ke Indonesia sebesar 2,66 juta ton senilai US$341.25 juta.

 

Warga mencari sampah di kawasan sungai Brantas saat air sungai surut di musim kemarau. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Gagal kelola sungai

Ecoton menilai, kerusakan sungai di Jawa merupakan bukti pemerintah gagal mengelola sungai. Pemerintah, tidak menprioritaskan pengendalian pencemaran air dan sungai.

Ada lembaga institusi Jogo Kali atau menjaga sungai yaitu Balai Besar Wilayah Sungai/Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perum Jasa Tirta, gubernur dan walikota/bupati.

“Kelima institusi penjaga sungai saling lempar tanggungjawab,” kata Azis.

Untuk itu, Ecoton mendorong ada peraturan presiden mengenai pengendalian pencemaran dan pemulihan kualitas Sungai Brantas, Bengawan Solo dan Ciujung.

Untuk menyuarakan ini, Ecoton aksi di Monas, Jakarta, pada 3 Mei 2021. Mereka menuntut agar ada peraturan presiden itu. Dalam aturan itu, harus jelas soal penugasan lintas kementerian bertanggungjawab menangani ketiga sungai utama di Jawa.

Kualitas air sungai nasional di Pulau Jawa ini, katanya, terus merosot yang mengakibatkan kepunahan beragam jenis ikan. Kondisi ini, juga makin membebani PDAM dalam mengolah air sungai sebagai bahan baku air minum.

“Pengawasan pembuangan limbah cair industri tidak serius. Industri tetap membuang limbah dengan pengolahan ala kadarnya,” kata Daru Setyorini, peneliti pencemaran sungai Ecoton.

Menurut dia, temuan pelanggaran pembuangan limbah cair antara lain, industri membuat saluran pipa siluman pembuangan limbah cair yang sulit diakses hingga sulit pemantauan. “Kecenderungan industri membuang limbah tidak diolah pada malam hingga dini hari.”

Pemerintah, katanya, juga mudah mengeluarkan izin pembuangan limbah cair tanpa pempertimbangkan daya dukung dan beban pencemaran sungai. Ecoton juga menilai, pemerintah lemah mengawasi pembuangan limbah cair hingga banyak industri membuang limbah tanpa diolah.

Selain itu, tidak ada sanksi tegas terhadap pelaku pembuang limbah cair yang merusak ekosistem sungai. Perbuatan melawan hukum ini terus terjadi. Dampaknya, kualitas lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Jawa, menurun. Juga, ada ketidakjelasan kewenangan pengendalian pencemaran, dan penegakan hukum bagi pelaku pencemaran dan upaya pemulihan kualitas air.

 

*****

Foto utama: Aksi protes Ecoton di Monas, Jakarta, pencemaran sungai-sungai di Jawa, awal Mei lalu. Foto: Ecoton

Exit mobile version