Mongabay.co.id

Riset GUCCI: Kebijakan Perubahan Iklim Pemerintah Belum Responsif Gender

 

Solidaritas Perempuan dan Aksi! for gender, social and ecological justice, melalui program Gender into Urban Climate Change Initiative (GUCCI) melakukan kajian terkait perubahan iklim yang responsif gender pada 2020 lalu. Kajian ini dilakukan secara nasional dan di sejumlah kota, yaitu Jakarta, Makassar, Yogyakarta dan Jember.

Secara nasional, kajian ini menemukan adanya kesenjangan gender pada kebijakan perubahan iklim, dalam hal ini Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK), Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) dan Nationally Determined Contribution (NDC).

“Ketiga dokumen perubahan iklim tersebut tidak memperlihatkan adanya kepedulian terhadap konstruksi sosial yang adil dalam masyarakat, sehingga justru meningkatkan ketidakadilan gender,” ungkap Risma Umar, mewakili tim peneliti nasional, dalam ekspos hasil kajian yang dilaksanakan secara daring serentak di empat kota, Kamis (20/5/2021). Di Makassar, kegiatan dilaksanakan di Hotel Teras Kita.

Menurut Risma, memang ada beberapa aspirasi dalam dokumen-dokumen tersebut yang mengakui perempuan sebagai salah satu pemangku kepentingan, namun pada pemaparan strateginya pengakuan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut.

“Tidak adanya kepedulian tersebut, bisa dilihat dari tidak adanya analisis mengenai risiko dan kerentanan kelompok perempuan dan marginal lainnya terkait perubahan iklim, serta belum adanya indikator gender untuk memastikan bahwa kebijakan dan strategi mitigasi dan adaptasi responsif terhadap kesenjangan gender yang terjadi dan memuat usaha-usaha untuk mengatasinya,” jelas Risma.

baca : Aksi Perempuan dalam Meredam Krisis Iklim

 

Pemaparan hasil kajian serentak di empat kota terkait Perubahan Iklim Responsif Gender oleh Solidaritas Perempuan. Di Makassar dilaksanakan di Hotel Teras Kita. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kajian ini juga menemukan tidak adanya pelibatan pakar gender, organisasi perempuan, kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam proses penyusunan dan perumusan tiga kebijakan perubahan iklim tersebut.

Selain itu, tidak tersedia mekanisme pengaduan yang sensitif dan responsif gender yang dapat membantu masyarakat, terutama perempuan terkait implementasi kebijakan dan pelaksanaan aksi perubahan iklim yang melanggar hak asasi manusia, hak asasi perempuan, kekerasan dan pelecehan seksual.

Sebagai rekomendasi secara nasional, diharapkan agar isu dan cara pandang gender terintegrasi ke dalam kebijakan perubahan iklim, sehingga bisa mengatasi kesenjangan gender akibat perubahan iklim maupun akibat respons perubahan iklim.

Rekomendasi lainnya adalah melakukan tinjau ulang atas NDC Indonesia, road map implementasi strategi dan aksi adaptasi perubahan iklim, dan road map implementasi strategi dan aksi mitigasi perubahan iklim.

“Kami juga merekomendasikan dikembangkannya mekanisme pengaduan yang sensitif dan responsif gender untuk masyarakat, terutama perempuan yang terdampak kebijakan dan pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.”

Untuk Jakarta, menurut Marhaini Nasution, mewakili tim peneliti Jakarta, tantangan yang dihadapi program dan aksi perubahan iklim adalah kurangnya unit pemerintah kota yang menangani aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selain itu, program iklim berupa perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sering kali memicu penggusuran, yang berdampak pada perempuan seperti kehilangan mata pencaharian, meningkatnya peran ganda dan kekerasan dalam rumah tangga.

“Tantangan lainnya adalah, pemerintah kurang mengakui dan melibatkan perempuan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, baik dalam perumusan kebijakan dan perancangan aksi, maupun implementasinya.”

baca juga : Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sebagai rekomendasi dari kajian ini, jelas Marhaini, diperlukan Pergub mengenai RTH yang berlandaskan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak perempuan, mengintegrasikan gender, tidak melakukan penggusuran, mengembangkan upaya untuk memenuhi target pengurangan emisi dan sekaligus memperkuat ketahanan perkotaan terhadap perubahan iklim.

“Selain itu dibutuhkan implementasi kebijakan nasional tentang pengarusutamaan gender ke dalam kebijakan dan aksi perubahan iklim di Jakarta, mengembangkan langkah-langkah khusus untuk mendorong partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam perencanaan kebijakan dan implementasinya, serta evaluasi aksi perubahan iklim.”

Kajian ini juga merekomendasikan pembentukan satuan khusus Pemkot untuk menangani aksi perubahan iklim yang responsif gender.

Untuk Makassar, menurut Musdalifah, mewakili tim peneliti Makassar, terdapat dua hal yang menjadi sorotan, yaitu terkait kebijakan dan aksi perubahan iklim.

Terkait kebijakan perubahan iklim, kajian ini menemukan bahwa pejabat Pemkot belum memahami dengan baik kaitan antara gender dan perubahan iklim, sehingga gender kemudian belum diarusutamakan ke dalam program-program mereka.

“Selain itu, belum ada pelibatan yang bermakna perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam perencanaan kebijakan, implementasi dan evaluasi aksi perubahan iklim, serta belum terjadi pengarusutamaan gender ke dalam kebijakan dan aksi perubahan iklim.”

baca juga : Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir

 

Dua perempuan berjalan pulang setelah mencuci dan mengambil air bersih di di Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim karena aksesibilitas dan ketergantungan terhadap alam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Musdalifah, terdapat dua kebijakan yang perlu dikembangkan oleh pemerintah Kota Makassar untuk mencapai tujuan meningkatkan upaya mengurangi GRK dan memperkuat ketahanan kota dan warganya terhadap dampak perubahan iklim.

Pertama, membuat peraturan daerah tentang pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan aksi iklim, yang akan memberikan landasan hukum bagi kebijakan dan tindakan iklim. Kedua, membentuk sebuah Satgas Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim yang sensitif dan responsif gender yang akan memastikan integrasi pengarusutamaan gender ke dalam aksi iklim dan implementasinya.

Terkait aksi perubahan iklim sendiri, kajian ini mengusulkan perlunya sebuah aksi iklim yang disebut ‘Lorong Garden Zero Emisi’, yang bisa berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca di perkotaan.

“Sangat penting merancang pengelolaan taman lorong, misalnya dengan penyediaan lapangan parkir dan kawasan bebas kendaraan bermotor. Tentunya hal-hal tersebut berdasarkan kesepakatan dan komitmen bersama dari seluruh pihak.”

Untuk Yogyakarta, menurut Sana Ulaili, mewakili tim peneliti Yogyakarta, hingga saat ini belum ada kebijakan khusus terkait perubahan iklim, serta belum adanya lembaga yang menangani secara khusus perubahan iklim.

“Program dan aksi yang relevan iklim selama ini masih dikembangkan di bawah program lingkungan hidup, tidak secara khusus pada kerangka perubahan iklim. Selain itu, tidak ada data dan kajian gender di dalam aksi-aksi yang relevan iklim.”

Kajian ini juga menemukan kondisi lemahnya pengetahuan dan kesadaran Pemda dan masyarakat mengenai keterkaitan antara isu gender dan perubahan iklim.

baca juga : Perempuan Berperan Penting dalam Atasi Perubahan Iklim

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi kajian ini atas kondisi tersebut, antara lain agar Pemda membuat kebijakan perubahan iklim yang responsif gender dan melakukan kajian gender pada aksi-aksi perubahan iklim, serta pelibatan penuh masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan lainnya, dalam setiap tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi aksi-aksi perubahan iklim.

“Kami juga mengusulkan Pemda untuk menyusun program atau aksi strategis yang dapat membangun dan memperkuat pengetahuan serta kesadaran tentang pentingnya integrasi gender dalam aksi.”

Untuk Jember, menurut Alifianda, mewakili tim peneliti Jember, tantangan yang dihadapi adalah belum adanya kebijakan dan lembaga khusus terkait perubahan iklim.

“Selama ini program yang relevan dengan respons perubahan iklim tidak dikerangkakan sebagai program perubahan iklim dalam perencanaan kota. Selain itu, belum banyak pemahaman dan kesadaran pada pemerintah daerah dan masyarakat mengenai perubahan iklim.”

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, maka rekomendasi kajian ini adalah agar Pemda membuat kebijakan perubahan iklim yang responsif gender serta melibatkan perempuan dan kelompok rentan lainnya secara bermakna dalam perencanaan kebijakan, implementasi dan evaluasi aksi perubahan iklim.

Rekomendasi lainnya adalah agar Pemda menyediakan ruang bagi masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, pelestarian budaya, dan memperoleh manfaat ekonomi dan menyiapkan ruang aman bagi perempuan yang akan melakukan aktivitas.

“Misalnya pada program RTH, Program Pangan Lestari, pengelolaan sampah rumah tangga termasuk bank sampah, pemberdayaan perempuan, baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan pangan.”

 

Exit mobile version