Mongabay.co.id

Coelacanth, Ikan Purba Langka yang Terancam Akibat Perdagangan Sirip Hiu

Inilah ikan purba Coelacanth yang ditemukan di Raja Ampat, Papua Barat. Bukan Spesies baru, merujuk pada Latimeria menadoensis atau dikenal dengan nama ikan raja laut. Foto: Santoso/Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong/kkp.go.id

 

 

Permintaan sirip hiu dan minyak telah mendorong para nelayan di barat daya Madagaskar untuk memasang jaring insang di perairan yang lebih dalam. Mereka menemukan -dan mungkin membahayakan- populasi coelacanth di Samudra Hindia Barat yang sebelumnya tidak diketahui keberadaannya.

Coelacanth hidup, muncul pertama kali di lepas pantai Afrika Selatan dan menjadi ‘headline’ dunia pada 1938. Ilmuwan kelautan sangat marah, karena “Fosil ikan hidup berkaki empat” yang benar-benar luar biasa ini tampaknya telah kembali dari kematian.

Dalam dekade berikutnya, lebih banyak ikan langka dan unik ini ditangkap di lepas pantai Afrika Selatan, Tanzania, dan Kepulauan Comoros; spesies Coelacanth yang berbeda muncul di perairan Indonesia.

 

Latimeria chalumnae [replika], ikan purba yang hidup di wilayah Afrika. Foto: Citron/Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0/Free to share

 

Coelacanth ditemukan di ngarai bawah laut pada kedalaman antara 100 dan 500 meter. Mereka termasuk dalam kelompok ikan purba yang asalnya dapat ditelusuri kembali sejak 420 juta tahun lalu.

Mereka memiliki delapan sirip, mata besar dan mulut kecil, dan pola bintik putih unik yang memungkinkan setiap ikan diidentifikasi secara individual. Beratnya mencapai 90 kilogram dan melahirkan ‘bayi’ setelah masa kehamilan 36 bulan.

Spesies Samudera Hindia Barat, Latimeria chalumnae, diklasifikasikan Kritis [Critically Endangered] oleh IUCN, sedangkan spesies serupa yang ditemukan di laut sekitar Indonesia [L. menadoensis] berstatus Rentan [Vulnerable].

 

Coelacanth di sebuah gua dekat Grand Comore. Foto: Hans Fricke

 

Ikan purba yang terancam oleh sistem perikanan baru

Dimulai pada 1980-an, adanya permintaan sirip hiu dan minyak komersial di pasar baru China, mendorong para nelayan di lepas pantai barat daya Madagaskar untuk memasang jaring insang, jaring besar yang dikenal sebagai jarifa di perairan yang lebih dalam. Sejumlah coelacanth secara mengejutkan tertangkap oleh jaring itu. Sebuah studi baru di South African Journal of Science, Vol 117 No 3/4, 2021, meninjau data untuk jenis tersebut dan mengajukan hipotesis penting.

Penulis utama Andrew Cooke mengatakan, meskipun beberapa penangkapan telah dilaporkan di tingkat lokal di Madagaskar, literatur ilmiah internasional tidak menyatakan jumlah yang ditangkap di sana secara transparan.

Sementara hiu telah menjadi sasaran di Samudra Hindia selama lebih dari satu abad, pertumbuhan pesat ekonomi China sejak 1980-an telah menyebabkan “ledakan” penangkapan coelacanth yang tidak disengaja di Madagaskar dan negara-negara lain di bagian barat Samudra Hindia.

Beberapa lusin tangkapan mungkin tidak tampak signifikan, tetapi coelacanth di Samudra Hindia Barat terdaftar sebagai spesies terancam punah. Ukuran populasinya masih belum diketahui dan peningkatan frekuensi tangkapan mengkhawatirkan -terutama karena tingkat tangkapan sebenarnya dengan jaring jarifa bisa saja lebih tinggi dari catatan resmi saat ini.

“Jaring jarifa yang digunakan untuk menangkap hiu adalah inovasi yang relatif baru dan lebih berbahaya karena berukuran besar dan dapat dipasang di air dalam,” kata para peneliti, yang mencatat bahwa jaring besar [15 cm atau 24 cm] sering diberi umpan dengan ikan kecil.

“Masuknya kekuatan pasar dari luar negeri sering mengakibatkan tekanan yang jauh lebih besar pada sumber daya alam yang dulu dieksploitasi, namun secara berkelanjutan untuk penggunaan lokal, dan ini tampaknya terjadi di Madagaskar. Ada sedikit keraguan bahwa jaring jarifa besar ini sekarang menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup coelacanth di Madagaskar,” saran mereka.

 

Para ilmuwan khawatir, jaring jarifa yang digunakan untuk menangkap hiu menjadi ancaman signifikan bagi coelacanth, di beberapa bagian Madagaskar. Foto: Minosoa Ravololoharinjara

 

Hal ini karena jaring dipasang di perairan dalam, umumnya antara 100 m dan 300 m, dalam kisaran habitat yang disukai coelacanth, dan tidak seperti jaring pukat, dapat dipasang di lingkungan berbatu dan area berbatulah yang disukai coelacanth.

Akibatnya, sulit bagi coelacanth untuk mendeteksi jaring statis. Karena mereka juga berburu pada malam hari dan memiliki penglihatan yang buruk, organ indera utama mereka [penerimaan-elektro] mungkin tidak terstimulasi oleh untaian tipis jaring insang.

Sejumlah besar coelacanth juga muncul di jaring jarifa di lepas pantai Tanga di Tanzania, sebanyak 19 ekor ditangkap dalam periode enam bulan antara 2004 dan 2005, termasuk enam penangkapan dalam satu malam.

 

Ikan purba Coelacanth yang ditemukan di Raja Ampat, Papua Barat, tahun 2018 lalu. Ikan ini bernama ilmiah Latimeria menadoensis atau dikenal dengan ikan raja laut. Foto: Santoso/Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut [PSPL] Sorong/kkp.go.id

 

Di Indonesia, coelancath dapat ditemukan di perairan Raja Ampat. Pertama kali ditemukan pada 2018 oleh Santoso, anggota Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan XIV Sorong, saat mancing di perairan Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat.

Penemuan itu sudah dikonfirmasi oleh Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong, dan dinyatakan sebagai coelancath secara morfologi. Sampai saat ini, dinyatakan bahwa ancaman terbesar terhadap coelancath di Raja Ampat bukanlah jaring insang moderen seperti di Madagascar. Namun adalah masifnya sampah plastik dan tentunya mikroplastik yang dapat mencapai dasar laut.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Ghost fish: after 420 million years in the deeps, modern gillnets from shark fin trade drag coelacanths into the light. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Rujukan:

Cooke, A., Bruton, M., & Ravololoharinjara, M. (2021). Coelacanth discoveries in Madagascar, with recommendations on research and conservation. South African Journal of Science117(3/4). doi:10.17159/sajs.2021/8541

Baker-Médard, M., & Faber, J. (2020). Fins and (Mis)fortunes: Managing shark populations for sustainability and food sovereignty. Marine Policy113, 103805. doi:10.1016/j.marpol.2019.103805

 

 

Exit mobile version