Mongabay.co.id

Kondisi Buruh Sawit Memprihatinkan

Perkuat sawit rakyat agar produktivitas meningkat. Foto: Sruyadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Buruh di sektor perkebunan sawit banyak belum sejahtera. Kondisi mereka masih memprihatinkan. Salah satu, terlihat dari kepesertaan buruh sawit dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) dan Kesehatan, minim.

“Padahal, kami selalu berkoordinasi pada perusahaan agar mereka (buruh) didaftarkan dalam program kami,” kata Ryan Gustaviana, Asisten Deputi Kepesertaan Skala Besar BPJS TK dalam webinar baru-baru ini.

Dia akui alami kendala pemeriksaan langsung karena area perkebunan terlalu luas. Perusahaan, katanya, kerap beralasan banyak pekerja mereka yang tidak mencapai 20 hari kerja per bulan.

Pekerja-pekerja ini, katanya, hanya bekerja dua hari dalam seminggu. “Ini sebenarnya dapat diatasi dengan edukasi langsung ke perusahaan. Mereka harus sadar kalau pekerja, baik langsung atau tidak langsung bisa mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.”

Ucapan Ryan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, buruh sawit memiliki risiko pekerjaan tinggi. Mulai dari serbuk tanaman yang dapat membutakan mata ketika menuai tandan buah segar (TBS), hingga paparan zat kimia dalam pupuk yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan persoalan kesehatan seperti masalah reproduksi.

Herwin Nasution, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), mengatakan, ini masalah serius. “Kalau mereka mengalami kecelakaan, akan lebih mudah diurus kalau sudah terdaftar di BPJS,” katanya.

Dia bilang, kesadaran perusahaan mendaftarkan buruh dalam BPJS masih sangat minim. Lebih parah lagi, katanya, tidak jarang mereka temukan perusahaan lepas tangan saat buruh mengalami kecelakaan kerja.

Padahal, buruh yang tak terdaftar dalam BPJS itu seharusnya jadi tanggung jawab perusahaan. “Banyak perusahaan yang mengelak, bahkan yang sampai meninggal pun harus kami bawa kasusnya ke pengadilan.”

 

Baca juga: Kondisi Miris Buruh Perempuan di Kebun Sawit

Sawit menjadi komoditas andalan perkebunan Indonesia, meski di sisi lain menjadi obyek kontroversi karena dampak bagi lingkungan dan sosial masyarakat lokal. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Berkepanjangan

Kelalaian perusahaan sawit mendaftarkan buruh mereka dalam program jaminan sosial seperti BPJS berpotensi terus terjadi. Serbundo mencatat, sekitar 65% buruh sawit berstatus buruh harian lepas (BHL).

Belum lagi, ada permohonan kenaikan ekspor sawit hingga 6% dan rencana pembukaan lahan perkebunan sawit rakyat hingga 180.000 hektar pada 2021.

“Ada peluang tambah tenaga kerja, mereka ini harus dapat akses BPJS,” kata Ryan.

BPJS memiliki mekanisme memberikan sanksi administratif kepada perusahaan-perusahaan. Hanya, sanksi ini baru bisa diberikan kepada mereka yang tidak memberikan berkas pendaftaran karyawan dengan lengkap hingga mengalami kendala pembayaran iuran.

Sayangnya, tidak ada sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawan atau buruhnya. “Kita tidak bisa lakukan sanksi seperti itu, kami masih melakukan pendekatan persuasif supaya mereka mendaftarkan buruh-buruh mereka,” kata Ryan.

Dalam hal ini, katanya, perlu kerjasama dan pengawasan dari asosiasi dan serikat pekerja di sektor sawit. “Kita harus kerjasama ingatkan perusahaan.”

Tak hanya lalai mendaftarkan, perusahaan pun tercatat kerap alpa dalam membayarkan iuran BPJS para tenaga kerja di sektor perkebunan sawit. Seperti dikatakan Stella Armanda Putri dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) wilayah Kalimantan Timur.

“Tidak semua buruh mendapatkan BPJS, kalaupun ada, banyak yang tidak disetorkan,” katanya.

Ketika mereka hendak berobat, katanya, kartu mereka tidak bisa dipakai atau tak ditanggapi. “Jadi, mereka harus bayar dengan uang tunai, tidak bisa pakai BPJS.”

 

Fasilitas kesehatan minim

Herwin dan Stella juga menyebutkan, fasilitas kesehatan minim di sektor perkebunan sawit. Padahal, fasilitas kesehatan sangat penting untuk memberikan pertolongan pertama bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja.

Herwin menyebut, banyak perusahaan sawit tidak menyediakan pengobatan layak di fasilitas kesehatan mereka. “Di sana, hanya ada satu jenis obat untuk semua jenis penyakit. Sangat tidak layak, karena ketika ada yang mata iritasi karena serbuk di tanaman sawit, mereka justru jadi bengkak dan buta,” kata Herwin.

Belum lagi buruh yang bertugas menyemprot pupuk atau bahan kimia ke tanaman sawit. Dampaknya, kata Herwin, akan muncul dalam jangka panjang tetapi mitigasi soal ini minim.

Dia contohkan, tes darah oleh perusahaan hanya sekali dalam enam bulan dan hasil pun tak transparan. “Ketika kami tanya hasilnya, jawab mereka adalah Hb (hemoglobin) para buruh bagus. Ini kan tidak nyambung dan akhirnya mereka terus bekerja.”

Menurut catatan Stella, banyak perusahaan tidak memberikan alat pelindung diri (APD) lengkap bagi penyemprot pupuk dan bahan kimia. Akibatnya, buruh banyak alami penyakit kulit, gangguan pencernaan dan sesak napas.

“Tidak ada rumah bilas bagi mereka. Padahal, ketika mereka selesai menyemprot harusnya bisa membersihkan badan dan istirahat terlebih dahulu,” kata Stella.

 

 

Yang terjadi, katanya, para buruh justru cenderung makan dan minum setelah bertugas hingga zat kimia dan pupuk rawan masuk ke tubuh.

“Itu sebabnya berdasarkan riset buruh di Sumatera dan Kalimantan, banyak buruh terpapar penyakit. Penyakit dari paparan bahan kimia,” ucap Herwin.

Seharusnya, ada penentuan batasan paparan bahan kimia terhadap para buruh sawit hingga bisa jadi acuan dari hasil tes darah.

Mereka dengan hasil tes paparan zat kimia tinggi perlu pindah ke lokasi kerja tanpa paparan bahan kimia. “Kalau mereka dipekerjakan terus di lokasi dengan paparan tinggi, masa tua akan dilewati dengan sakit-sakitan.”

 

Tak aman bagi perempuan

Perkebunan sawit juga pekerjaan tak ramah perempuan karena jaminan keamanan bagi perempuan sangat minim di sektor ini. Hal ini bisa terlihat dari lemahnya jaminan keamanan perusahaan. Keamanan itu bisa berupa sarana kerja memadai hingga proteksi terhadap kekerasan dan pelecehan seksual yang kerap mengintai perempuan.

“Posisi perempuan, baik itu keluarga pekerja atau buruh itu sendiri bisa dikatakan rentan terhadap pelecehan seksual, pelanggaran hak asasi atau hak perempuan,” kata Andi Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dalam diskusi terfokus mengenai Sawit Berkelanjutan baru-baru ini.

Fakta itu, kata Inda hasil riset dan investigasi Sawit Watch pada 2008 dan 2010. Informasi yang mereka dapatkan berkesimpulan kalau perempuan dan anak adalah pihak rentan di perkebunan sawit.

Kerentanan ini lantaran pekerjaan kaum perempuan yang tergolong berat dan berisiko tinggi, mulai dari menyemprot pupuk hingga pembabatan di lahan sawit. “Ini pekerjaan berat, tapi mereka tidak disiapkan alat-alat standar keamanan dan standar kesehatan,” katanya.

Padahal, standar keamanan buruk berpotensi menghasilkan kecelakaan kerja. Belum lagi, dengan ancaman penyakit kronis karena paparan pupuk atau zat kimia dalam waktu lama.

Perempuan rentan, katanya, terlebih, beberapa penyakit di sistem reproduksi bisa timbul dampak paparan zat kimia berbahaya ini.

Kondisi ini, katanya, diperparah dengan banyak buruh sawit perempuan atau istri buruh sawit yang membawa anak mereka bekerja. Mereka tidak mampu menyewa penjaga bayi atau menitipkan anak sementara karena harus bekerja atau membantu suami di kebun sawit.

“Sebagian besar perusahaan tidak menyiapkan tempat penitipan anak untuk buruh perempuan yang memiliki balita,” kata Andi.

Selain keamanan, para buruh perempuan pun masih kurang dihargai. Menurut Andi, tidak ada asuransi hingga bonus seperti tunjangan hari raya (THR) perlu jadi perhatian.

Apalagi, katanya, iming-iming THR akan diberikan kalau buruh bekerja selama 60 hari secara kontinu. “Tapi dari hasil kajian kami di perusahaan pembibitan di Sulawesi dan Kalimantan, para buruh menjelang hari raya dirumahkan hingga tidak capai 60 hari kerja secara berturut-turut,” kata Andi.

Yang lebih parah, katanya, istri buruh yang terpaksa membantu suami bekerja di kebun supaya target kerja tercapai. “Mereka tidak masuk hitungan sebagai buruh. Karena itu, mereka tidak dapat bayaran.”

Jadi, katanya, tak heran kalau kaum perempuan di sektor ini jarang dianggap berkontribusi terhadap ekonomi dan pembangunan nasional.

“Perempuan hanya dianggap sebagai pembantu. Kontribusi mereka tidak direkognisi,” ucap Andi.

 

Kantor sekaligus pabrik pengolahan sawit milik Pt Tirta Madu. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

 

Sejahtera hanya di tingkat manajemen

Apa yang terjadi pada perempuan di tingkat tapak industri sawit ternyata berbanding terbalik dengan mereka yang bekerja di tingkat manajemen. Salah satu perusahaan sawit di Indonesia, Cargill Tropical Palm (CTP), mengaku kalau mereka mendorong perlakuan obyektif dan adil terhadap karyawan perempuan mereka.

“Kami memiliki komitmen agar 50% supervisor leader dipegang oleh karyawan perempuan pada tahun 2030,” kata Yunita Widiastuti, Group Sustainability Lead CTP, dalam diskusi itu.

Saat ini, CTP mencatat peran perempuan di posisi strategis antara lain, estate manager, operator ini traktor hingga posisi manajer lain.

Hal ini dipandang Andi belum cukup. Mengingat masih banyak hal perlu dibenahi di lapangan. “Komitmen tinggi kesetaraan jender itu tidak sebatas dokumen. Tapi implementasi harus bisa terukur di level manajemen hingga di level buruh yang sebenarnya sangat riskan.”

Tiur Rumondang, Country Director Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), menyatakan, pendapat serupa. Dia menyebut, perlu standar keamanan terhadap pekerja perempuan hingga dapat terimplementasi di seluruh perusahaan perkebunan sawit.

Standar ini, katanya, tidak hanya mencakup di tingkat manajemen, juga tingkat tapak dengan risiko kerja tinggi. “Meskipun sektor sawit ini bukan sektor aman bagi perempuan, tapi kami ada tugas untuk buat payung yang bisa beri keamanan dan kenyamanan yang bisa dipatuhi oleh anggota RSPO,” katanya.

Dia menyebut, pemain di sektor sawit kerap tidak sensitif dalam merekognisi para pekerja perempuan. Baik di tingkat pekebun kecil hingga skala besar atau tingkat lebih besar seperti pemasok bibit maupun penyedia kerja di perusahaan.

“Ketika nanti ada standar sustainability, maka standar itu bisa jadi rujukan untuk berikan rekognisi pada mereka,” kata Tiur.

 

Perlu transisi panjang

Demi sertifikasi, beberapa perusahaan ada yang sudah menyediakan APD pada buruh mereka. Alat ini seringkali jarang dipakai para buruh, terutama perempuan. Alasannya, tidak banyak buruh perempuan mengerti cara pakai APD dengan baik.

Untuk itu, perlu edukasi dan penyuluhan masif agar alat ini tidak hanya dipakai ketika ada auditor yang mengawasi lapangan, tetapi pada keseharian buruh.

“Beberapa perusahaan hanya mendorong buruh mereka pakai APD ketika ada auditor. Ketika tidak ada auditor, banyak yang tidak mengawasi penggunaan APD oleh buruh perempuan mereka,” kata Rukaiyah Rafik, Penasihat Senior Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi).

Untuk itu, katanya, perlu keterlibatan banyak pihak dalam edukasi ini. Tidak mudah, katanya, mengubah kebiasaan dan budaya lama para buruh perempuan yang tidak pernah menggunakan APD.

Fortasbi sebagai penyuluh, katanya, memerlukan waktu transisi cukup panjang dalam hal ini. Salah satu alasan para buruh perempuan enggan memakai APD adalah tidak biasa dan keluhan panas karena seharian bekerja dengan terbungkus.

Pandangan ini, katanya, yang perlahan mesti diubah. APD memastikan mereka tidak mudah terkena efek samping pupuk atau zat kimia yang bisa mengganggu sistem reproduksi dalam jangka panjang. “Perlu waktu cukup panjang agar buruh perempuan bisa mengadopsi standar keselamatan. Setidaknya waktu 2-3 tahun agar mereka bisa berubah.”

 

****

Foto utama: Pekerja sawit sedang mengumpulkan TBS. Foto: Sruyadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version