Mongabay.co.id

Pembangunan Suaka Rhino di Aceh Timur Terus Dilakukan, Begini Perkembangannya

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007, yang sejak 2 November 2015 sudah berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Pembangunan Suaka Rhino Sumatera [SRS] di Aceh Timur, Aceh, sebagai bentuk komitmen Pemerintah Indonesia terhadap penyelamatan badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis] terus dilakukan.

Pembangunan SRS ini merujuk Rencana Aksi Darurat (RAD) Badak Sumatera yang ditetapkan Dirjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018, pada 6 Desember 2018.

Satu poin penting dalam RAD itu adalah menyatukan populasi badak sumatera yang berada di Kawasan Ekositem Leuser [KEL] dan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] ke habitat yang luasnya lebih dari 100.000 hektar.

Namun, lokasi SRS di Aceh Timur ini berbeda dengan lokasi SRS yang telah dibangun di Lampung dan Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.

Di Provinsi Lampung, SRS berada di Taman Nasional Way Kambas sementara di Kutai Barat, SRS berada di Hutan Lindung Kelian Lestari. Untuk Aceh, pusat konservasi badak sumatera ini berada di kawasan hutan yang saat ini berstatus areal penggunaan lain [APL].

Baca: Penyelamatan Badak Sumatera di Leuser Prioritas Utama

 

Badak sumatera yang hidupnya berpacu dengan kepunahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto, pada 23 Mei 2021 mengatakan, pembangunan SRS terus dilakukan. Selain itu survei badak sumatera di hutan Leuser beserta pengamanan satwa dilindungi tersebut tetap dijalankan.

“Pengurusan perizinan oleh konsorsium pembangunan SRS di Aceh Timur masih berproses,” terangnya.

Agus mengatakan, pencarian lokasi yang tepat untuk pembangunan SRS telah dilakukan sejak 2018. Dari berbagai pertimbangan ahli yang terlibat, wilayah paling tepat sebagai lokasi adalah Aceh Timur yang letaknya dalam kawasan hutan berstatus APL.

“Para ahli menilai, kawasan APL tersebut daerah yang paling tepat dan untuk pembangunan kandang dan bangunan lainnya. Wilayah APL juga terhubung dengan kawasan hutan lain.”

Dikarenakan SRS berada di luar kawasan konservasi, proses pembangunannya juga melibatkan banyak pihak. Sebut saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], BKSDA Aceh, Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, Badan Pertanahan Nasional [BPN], dan lembaga lain.

“Selain itu, pelaksanaannya dilakukan lembaga mitra dan lembaga donor melalui program kerjasama,” ungkap Agus.

Baca: Pandemi Corona Menghambat Pembangunan Suaka Badak Sumatera di Aceh Timur

 

Hutan Leuser tempat hidupnya sejumlah satwa liar dilindungi, termasuk gajah, harimau, badak, dan orangutan sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Bupati Aceh Timur

Bupati Aceh Timur, Hasballah HM. Thaib, dalam setiap pertemuan tentang pembangunan SRS di Aceh Timur mengatakan, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Surat Nomor: 600/10/2020 tanggal 30 Maret 2020, memberikan dukungan lahan seluas 7.302 hektar.

“Ini berdasarkan kajian teknis tata ruang, baik perencanaan, pemanfaatan maupun pengembangan yang dilakukan tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Aceh Timur,” terangnya beberpa waktu lalu.

Hasballah mengatakan, Pemerintah Aceh Timur sangat mendukung rencana pembangunan SRS karena badak merupakan satwa terancam punah dan populasinya di alam liar tidak lebih dari 100 individu.

“Dari 7.302 hektar, seluas 2.653 hektar masuk zona inti SRS. Lalu, hutan produksi seluas 2.918 hektar, Cagar Alam Serbajadi seluas 311 hektar, dan dan kawasan HGU PT. Aloer Timur seluas 1.420 hektar, yang nantinya, areal perkebunan sawit ini masuk dalam zona penyangga SRS,” ujarnya.

 

Jerat-jerat yang dipasang pemburu di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah dimusnahkan oleh tim Forum Konservasi Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasballah menambahkan, Pemerintah Aceh Timur telah memasang tapal batas lokasi pembangunan SRS, sehingga tidak ada lagi yang boleh mengganggu lokasi tersebut.

“Pemerintah Aceh Timur telah mengeluarkan surat Nomor: 522.5.4/6307 tertanggal 20 Juli 2020, tentang rekomendasi permohonan persetujuan dan lokasi pembangunan SRS di Aceh Timur,” paparnya.

Dedi Yansyah, Manager Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], sebelumnya mengatakan, proses perizinan pembangunan SRS terus dilakukan dan direncanakan selesai pada Juni 2021.

Detail engineering design [DED] hampir selesai disusun dan akan segera dilakukan konsultasi publik,” ungkapnya.

Dedi menambahkan, selain proses perizinan, FKL dan pemerintah bersama lembaga konsorsium dengan dukungan lembaga donor juga melakukan survei badak yang populasinya terfragmentasi di alam liar.

“Patroli pengamanan tidak berhenti, tim dari pemerintah dan FKL tetap berusaha memastikan keberadaan badak sumatera aman di habitatnya,” ujarnya.

Baca juga: Dukung Penuh Suaka Rhino, Bupati Aceh Timur: Kami Bangga Punya Badak Sumatera

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Exploitasia saat berkunjung ke lokasi SRS di Aceh Timur, pertengahan Oktober 2019, optimis dengan rencana pembangunan ini.

“Selain mendapat dukungan dari pemerintah daerah, Aceh juga memiliki Qanun atau peraturan daerah tentang perlindungan satwa liar. Peraturan ini belum dimiliki daerah lain,” sebutnya.

Qanun Aceh Nomor: 11 tahun 2019 tentang pengelolaan satwa liar mengatur banyak hal tentang penyelamatan satwa dilindungi dan terancam punah. Termasuk, melarang kegiatan bertentangan dengan perlindungan satwa liar seperti merencanakan, mengganggu, dan merusak habitat satwa, serta berburu satwa dilindungi secara nasional maupun daerah dengan menggunakan jerat atau senjata, dan menggunakan bahan berbahaya.

Qanun juga mengatur semua pihak, bahkan pejabat negara yang membiarkan atau lalai sehingga menyebabkan habitat dan kehidupan satwa terancam, akan dikenai hukuman.

Sementara, para pelaku yang menyebabkan satwa terancam atau habitatnya rusak tidak hanya dihukum dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tapi juga ditambah hukuman lokal.

Dalam Qanun, Pemerintah Aceh diminta mempertahankan habitat permanen satwa liar, memulihkan spesies serta menetapkan zona perlindungan intensif. Sedangkan pemanfaatan ruang sebagai objek atau tempat melaksanakan kegiatan, harus disesuaikan dengan rencana strategis konservasi serta aksi perlindungan satwa liar.

 

 

Exit mobile version