Mongabay.co.id

15 Tahun Lumpur Lapindo: Derita Warga Tak Berkesudahan

Warga kampung jadikan ziarah makam sebagai ajang mereka bertemu tetangga yang dulu. Warga pun memandangi kampung mereka yang hilang karena lumpur Lapindo...Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hari itu, Komplek Pemakaman Umum Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, terlihat ramai dibanding hari biasa. Menjelang akhir Ramadan, warga banyak berdatangan berziarah.

Pemandangan sama di Pemakaman Dusun Babatan, Desa Kedungcangkring. Peziarah membawa cangkul dan sabit untuk membersihkan kuburan yang tertutup tanaman perdu. “Setahun sekali. Biar ingat dengan desanya,” kata Abdul Kodir.

Bagi Abdul Kodir, menyambangi kuburan bukan sekadar berkirim doa untuk kerabat yang ada di balik gundukan tanah. Lebih dari itu. Rutinitas tahunan itu sekaligus mengenang kampung halaman yang ikut terkubur semburan lumpur Lapindo. Di sana, dia pun berharap bertemu para tetangga dan kolega dulu.

Luapan lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006 itu memporak-porandakan permukiman desa termasuk komplek pemakaman. Pun demikian dengan para penghuninya. Mereka pindah dan menyebar di banyak tempat. Ziarah kubur pun jadi salah satu alasan mereka ‘kembali’. Di pemakaman itu pula, warga yang terpencar saling bertemu.

Di sana, mereka saling bertegur sapa atau menanyakan kabar tetangga yang lain, yang kebetulan tak mereka jumpai. Selebihnya, mereka tetap berharap bisa kembali bertemu lagi. Entah kapan, dan dimana.

Desa Besuki, hanyalah satu dari 16 desa dan kelurahan di tiga kecamatan di Sidoarjo yang ‘hilang’ imbas luapan lumpur dari perusahaan pertambangan, PT Lapindo Brantas ini. Sebanyak tujuh desa lain di Kecamatan Tanggulangin, enam di Kecamatan Porong, dan lima desa lain di Kecamatan Jabon.

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Kali Porong yang terlihat berbusa imbas pembuangan air dari danau lumpur Lapindo. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Bersama rumah-rumah penduduk, pemakaman yang didatangi warga itu pun sejatinya ikut tenggelam. Namun, warga berusaha menjaga dengan cara menguruk.

Suhandoyo, juru kunci mengatakan, setidaknya tiga kali warga meninggikan area permakaman yang tak seberapa luas itu.

Peninggian dengan menambahkan material pasir dan batu. “Batu-batu nisan yang dipasang itu ya baru semua. Wong yang lama ikut terkubur,” kata Nursiono, juru kunci makam Besuki kepada Mongabay. Makam ini juga masih digunakan hingga kini.

Nursiono mengatakan, banyak di antara korban yang pindah ke desa lain tetapi makam tetap dipakai sampai saat ini. “Kan mereka yang sudah pindah juga masih ingin dimakamkan di sini.”

Erik Purnomo, warga korban tak pernah bisa melupakan kenangan kampung halaman. Kendati luapan lumpur Lapindo sudah 15 tahun, dia tak bisa lupa. Hampir saban sore sepulang kerja, dia menyempatkan diri melihat bekas desanya yang tenggelam lumpur.

“Hampir tiap sore, sepulang kerja saya ke sini. Ya, apa ya Mas. Seperti belum bisa percaya kalau kampung saya sudah tidak ada,” katanya lirih.

Erik berusaha menahan tangis saat menceritakan kenangan di tempat itu dulu. Kedua mata berkaca-kaca. Akhirnya, dia tak mampu menahan air mata katika mengenang keluarganya telah tercerai berai gara-gara lumpur Lapindo ini.

Bagi Erik, lumpur yang terus meluap hingga kini tak cuma mengubur rumah-rumah warga juga merusak nilai-nilai lokal. Bahkan, gara-gara lumpur itu, keluarga besarnya kini tak lagi akur gara-gara pembagian ‘ganti rugi’ yang tak merata.

“Saya punya lima saudara. Itu nggak rata pembagian dari orangtua,” katanya. Sehari-hari bekerja sebagai pengepul rongsokan.

 

Baca juga: Kehidupan Warga Korban Lumpur Lapindo

Maduri, salah satu warga korban lumpur Lapindo memilah batu bata di bekas bangunan SDN Besuki. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Orangtuanya dulu bisa dibilang sebagai keluarga mapan, kini harus banting tulang untuk menyambung hidup. Hidup keluarga ini hancur. “Pokoknya susah sekarang.”

Cerita sama diungkapkan Budi Is. Luapan lumpur ini membuat keluarganya terkatung-katung. Bahkan, rumah yang dia tinggali kini belum selesai dibangun. Penyebabnya, uang ganti rugi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tak cukup untuk membangun rumah baru.

Tanah dan bangunan seukuran 12 x 5 meter persegi, dengan ganti rugi Rp300 jutaan. Ganti rugi ini tidak dibayar tunai tetapi diangsur.

Tahap pertama, 20% dari nilai total. Sisanya, diangsur sampai beberapa tahun. Duit ‘penjualan’ tanah dan bangunan itu tak pernah terkumpul. Bahkan, untuk membangun pondasi rumah saja, tak cukup. Kini, buat menyambung hidup, dia memanfaatkan lahan bekas rumahnya di tepi tanggul untuk tanam cabai dan turi.

Budi bilang, tak pernah berniat menjual rumah itu. Keputusan menjual diambil lantaran banyak tetangga melepaskan aset. “Lha semua sudah menjual. Masa’ saya sendirian. Lagipula, kalau pun tidak dijual, kami juga pasti kesulitan mendapat air bersih karena air sumur juga sudah kotor dan berbau.”

Cerita lebih mengenaskan dialami Sukamto. Hingga kini, lahan belum dibayar oleh Lapindo. Dulu, kesepakatan pembayaran baru untuk bangunan rumah Rp1,5 juta per meter. Tanah yang terendam lumpur, sampai saat ini belum terbayar sekitar Rp400 juta.

Sukamto berupaya menagih tetapi tak kunjung terealisasi. Dia sempat berusaha membangun kembali rumah di atas lahan yang kini rata oleh lumpur itu. Upaya itu tak berhasil. Lapindo dan aparat keamanan mengusirnya.

 

Baca: Tahun ke-11, Korban Lumpur Lapindo Masih Menanti Penanganan Kesehatan dan Lingkungan

Gumpalan lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang telah mongering. Hingga kini, lumpur yang keluar sejak 29 Mei 2006 itu terus menyembur. Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

***

Semburan lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006, tepat 15 tahun lalu hari ini. Kala itu, semburan lumpur bercampur gas terjadi di area persawahan di Kelurahan Siring, Kecamatan Porong. Lokasi semburan berada sekitar 200 meter dari sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo yang telah ditutup Lapindo pasca kebocoran.

BP Migas turun ke lokasi tak mampu menghentikan semburan lumpur yang mencapai 150.000 meter kubik per hari. Akibatnya, dalam waktu tiga minggu, luberan lumpur menenggelamkan 90 hektar area padat penduduk dan memaksa 2.000 warga mengungsi.

Hingga kini, lumpur Lapindo terus meluber dan menggenangi kawasan seluas 800 hektar lebih atau sekitar 7, 5 kilometer persegi. Ia meliputi 16 desa dan kelurahan di tiga kecamatan yakni Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Data Posko KKLula, total warga pindah mencapai 20.000 keluarga lebih.

Eko Widodo, Koordintor Pos Koordinasi Keselamatan Korban Korban Lumpur Lapindo (Posko KKLuLa) mengatakan, berbagai persoalan belum selesai kendati bencana sudah 15 tahun lalu. Perihal ganti rugi tanah misal, belum semua selesai.

“Di data kami, masih ada 75 berkas aset yang sampai saat ini belum selesai karena dulu Lapindo hanya membayar untuk bangunan. Aset tanah belum dibayar.” Kalau hitungan semua tanah sekitar dua hektar lebih, termasuk milik Sukamto.

 

Suasana perkampungan Glagah Arum, salah satu wilayah terdampak. Tampak di belakang tanggul lumpur yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Foto: Widya Andriana

 

Trauma dan masalah kejiwaan

Harwati, perempuan asal Desa Siring, Kecamatan Porong, mengatakan, trauma dan depresi jadi permasalahan paling jamak dijumpai warga yang menjadi korban lumpur Lapindo.

Sayangnya, tidak sekalipun persoalan ini jadi perhatian pemerintah, misal, sekadar membuka layanan trauma healing.

Apa yang dilakukan Erik Purnomo, dengan mendatangi lokasi bekas kampung yang tenggelam saban sore, kata Harwati masih mendingan. Dalam beberapa kasus, yang terjadi lebih parah. “Sekali waktu, kadang ada yang datang lalu teriak-teriak di sekitar tanggul sambil berguling-guling.”

Hari-hari ini pun, kata Harwati, ada satu orang terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Warga ini belum bisa menerima yang terkubur hingga harus pindah.

“Kenangan masa-masa ketika bermain dengan teman-teman itu yang terus membayangi sampai akhirnya dibawa ke RSJ.”

 

 

*****

Foto utama: Warga kampung jadikan ziarah makam sebagai ajang mereka bertemu tetangga yang dulu. Warga pun memandangi kampung mereka yang hilang karena lumpur Lapindo…Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version