Mongabay.co.id

15 Tahun Lumpur Lapindo: dari Masalah Kesehatan sampai Gangguan Tumbuh Kembang Anak

Permukiman yang kini berubah menjadi danau lumpur. Hingga kini, total luas genangan lumpur mencapai 7 kilometer persegi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Permukiman yang kini berubah menjadi danau lumpur. Hingga kini, total luas genangan lumpur mencapai 7 kilometer persegi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

***

 

Rumahku, adalah syurgaku

Kampungku, adalah ruang bermainku

Disana, kami bersuka ria, petani pun bahagia

Tapi kini semua tinggal cerita

 Kau tipu aku dengan pembangunan

Dan, pondasi pembangunan itu adalah deritaku

Kini tak ada lagi syurga, tak ada lagi panen raya

Tak ada lagi ruang untuk bernapas lega

 Wahai orang-orang kaya serakah

Wahai penguasa durjana

Jangan salahkan kami melawan

Karena kau yang mengusik, merusak dan menghancurkan mimpi-mimpiku.”

Bait-bait puisi ini bikinan Muhammad Irsyad, penyintas korban lumpur Lapindo asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur. Lima belas tahun sudah berlalu sejak kali pertama semburan lumpur panas dampak operasi perusahaan minyak dan gas, PT Lapindo Brantas, pada 29 Mei 2006.

Dia menggambarkan betapa lumpur Lapindo bukan hanya mengubur ruang hidup sang penulis juga harapan.

Bagi Cak Ir, sapaan akrabnya, bencana industri itu tidak hanya menimbulkan trauma berkepanjangan juga luka. Suasana batin bahkan campur aduk ketika menuliskan puisi yang dia buat sekitar 2010 itu.

Cak Ir marah dan kecewa. Marah lantaran para pihak yang terlibat dan jadi biang kejadian tak pernah mendapat sanksi apa-apa. Kecewa karena negara dinilai tak serius memperhatikan kondisi para korban.

Desa Besuki, satu dari belasan desa terdampak lumpur Lapindo. Lokasinya, sekitar 400 meter sisi timur tanggul lumpur. Sejak luapan lumpur, sebagian warga pindah ke tempat lain. Sisanya, bertahan.

Bagi Cak Ir, keresahan masyarakat desa mulai sebelum lumpur Lapindo. Ketika pembangunan jalan tol Surabaya-Gempol pada 1980-an mulai.

Dulu, katanya, warga begitu semringah ketika mendengar rencana pembangunan jalur bebas hambatan itu. Warga berharap jalan tol bakal membawa manfaat bagi mereka.

Harapan itu tak ubah pepesan kosong. Kehadiran jalur tol justru menjadi masalah bagai warga lantaran Desa Besuki akhirnya terbelah menjadi dua: Besuki Timur dan Besuki Barat. Jalan tol memisahkan keduanya.

“Tadinya senang. Ternyata jalan tol itu membelah desa kami jadi dua. Timur dan Barat. Ini menjadi masalah bagi kami karena fasilitas umum, ada di Besuki Barat. Ini merepotkan kami yang di Besuki Timur. Inilah bencana pertama kali mulai di desa kami.”

Cak Ir tak bisa lupa. Bayang-bayang kampung halaman yang tenggelam bersama sanggar kesenian miliknya acapkali bikin tak nyenyak tidur. Kendati aktivitas sama coba dia bangun di tempat baru, tetap saja tak bisa menggantikan yang hilang.

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Derita Warga Tak Berkesudahan

Warga korban lumpur Lapindo, kehilangan ruang hidup. Sebagian walau sudah pindah, tetapi ada yang masih kembali untuk melihat atau memanfaatkan yang tersisa, seperti memilah batu bata. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masalah kejiwaan

Tercerabut dari akar sosial dan hidup di lingkungan baru merupakan kenyataan sulit diterima para korban lumpur Lapindo. Belum lagi konflik antar anggota keluarga dipicu pembagian harta dari penjualan aset yang terkena lumpur. Berbagai persoalan itu meningkatkan risiko masalah kejiwaan warga korban lumpur Lapindo.

Supeni, Kepala Dusun Desa Glagah Arum, Kecamatan Porong mengamimi korban lumpur rawan gangguan kejiwaan.

Angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di desanya beberapa tahun terakhir bisa jadi indikasi.

Awalnya, warga desa ODGJ ada empat orang, belakangan naik jadi 15 orang. Dari angka ini, empat sudah meninggal dunia, enam orang pulih, sisanya masih menjalani perawatan. Di antara ODGJ itu, dua masih satu keluarga.

“Kepastiannya perlu penelitian lebih lanjut ya. Jika melihat gejala, salah satunya karena lumpur ini,” katanya.

Dia tahu data ini karena sebelumnya merupakan kader kesehatan di desa setempat. Dia beberapa kali ikut ketika membantu mengurus surat rujukan ke rumah sakit.

Supeni pun prihatin dengan kenyataan ini. Ibarat benang kusut, lumpur Lapindo memberikan dampak kesengsaraan tak berujung. Paling tidak, perasaan cemas dan khawatir luberan lumpur terus meluas.

Sayangnya, kata Supeni, situasi ini belum mendorong pemerintah membuka layanan konseling. Pemerintah hanya fokus pada yang kasat mata.

“Problem-problem lain yang dihadapi masyarakat tidak pernah menjadi perhatian. Pemerintah hanya sibuk mengurusi persoalan infratruktur dan jual beli. Di luar itu, bagaimana kondisi mental warga, tidak pernah disentuh,” kata Rere Kristanto, Direktur Walhi Jatim.

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Dampak paparan zat-zat dari lumpur Lapindo, diduga memicu terjadi gangguan tumbuh kembang anak. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tumbuh kembang anak

Kenaikan angka ODGJ bukan satu-satunya kenyataan yang harus diterima warga Glagah Arum sebagai dampak lanjutan lumpur Lapindo ini.

Supeni bilang, angka stunting alias gangguan tumbuh kembang anak juga meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Merujuk laporan terbaru dari Puskesmas Porong per Maret 2021, anak yang mengalami stunting di Glagah Arum ada 30, sebelumnya tak lebih dari lima anak.

Saking banyaknya, Desa Glagah Arum menempati urutan pertama jumlah kasus stunting tertinggi di wilayah kerja Kecamatan Porong.

Supeni tak tahu pasti apa yang jadi faktor penyebab kasus stunting di tinggi. Yang pasti, katanya, stunting merupakan situasi seorang anak di bawah lima tahun mengalami gagal tumbuh dan berkembang. Pemicunya, salah satu kekurangan konsumsi makanan bergizi sejak dalam kandungan.

Sebagai catatan, Sidoarjo sebelumnya sempat tercatat sebagai daerah dengan kasus stunting tertinggi di Jawa Timur. Itu merujuk pada data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim 2019, dengan 24.439 anak.

 

Gangguan pernapasan

Aroma gas begitu kuat dari lokasi semburan lumpur Lapindo juga menjadi keluhan warga. Mereka kerap alami gangguan pernapasan hingga pusing. Tak sedikit warga mual kalau terlalu lama menghirup udara dengan konsentrasi gas metan cukup tinggi itu.

“Apalagi kalau malam, pusing, terlalu lama mencium aroma gasnya. Rasanya bikin sesak,” kata Ahmad Nur Salim, Ketua RT03/RW05 Kelurahan Besuki, Jabon, Sidoarjo saat ditemui pertengahan Mei lalu. Jarak antara Besuki dengan lokasi lumpur hanya beberapa ratus meter.

Data Dinas Kesehatan Sidoarjo 2020, atas tiga kecamatan yang menjadi lokasi semburan lumpur (Kecamatan Jabon, Tanggulangin, dan Porong) menunjukkan, keluhan kesehatan ISPA mendominasi dibanding penyakit lain.

Selama setahun itu, warga yang kena gangguan ISPA di tiga kecamatan itu sampai 35.480 orang. Tanggulangin paling tinggi dengan 28. 713 orang; disusul Jabon 3.667 orang dan Porong 3.166 orang.

Berada di urutan kedua setelah ISPA adalah keluhan tukak lambung dan usus 12 jari mencapai 14.353 dalam setahun. Kemudian, disusul penyakit yang berkaitan dengan jaringan otot dan jaringan sistem pengikat sebanyak 13.567 kasus. Kemudian hipertensi atau tekanan darah tinggi 9.891 orang.

Pada urutan kelima, diabetes mellitus 7.562 kasus, gastritis 4.914, observasi fibris 4.533, pulpa dan jaringan peripikal 3.491, dermatitis alergi dan infeksi 2.581, serta selaput lendir mata 1.110 kasus.

Kasus ISPA di Tanggulangin itu jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Merujuk data Tanggulangin dalam Angka oleh Badan Pusat Statistik 2018, kena ISPA 26.321 orang. Dalam dua tahun, terjadi peningkatan 2.000 pasien lebih.

Pada tahun sama, data BPS juga mengungkap penderita ISPA mencapai 46.247 orang, gastritis dan artritis masing-masing 20.364 dan 10.047 orang.

Kendati pada 2020, angka mengalami penurunan, Eko Widodo, Koordintor Pos Koordinasi Keselamatan Korban Korban Lumpur Lapindo (Posko KKLuLa) mengatakan, hal itu lantaran warga yang sebelumnya tinggal di sekitar lumpur makin banyak pindah.

“Memang, ada sedikit penurunan. Jangan lupa, itu terjadi karena warga banyak pindah karena tidak tahan kondisi lingkungan yang buruk ini,” katanya.

Rere mengatakan hal sama. Sejak awal lumpur Lapindo, sebaran penyakit di tiga kecamatan terdampak mengalami lonjakan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di Puskesmas Jabon, misal, penderita ISPA melonjak 150% dibanding rata-rata sebelum semburan lumpur. Dari rata-rata 60 kasus jadi 170 kasus. Begitu juga dengan Kecamatan Porong. Dari rata-rata 20.000 kasus pada 2005, jadi 50.000 pada 2007. Bahkan, hingga 2018, data BPS menyebutkan ISPA tercatat 46.000 kasus.

Menurut Rere, gangguan kesehatan ini salah satu karena senyawa berhaya di sekitar lumpur Lapindo. Seperti kandungan PAH (polisiklik aromatic hidrokarbon) yang banyak bertebaran bersama semburan gas lumpur.

“Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikan PAH sebagai senyawa karsinogen yang secara akumulatif dapat memicu timbulnya kanker,” katanya.

Untuk mengetahui dampak lumpur terhadap kesehatan, sebelumnya ada pemeriksaan kesehatan terhadap puluhan warga sekitar. Masing-masing 20 orang pada Mei dan 25 orang pada Desember 2020. Pada saat itu pula, katanya, dilakukan pemeriksaan foto thorax lengkap.

Dari pemeriksaan sebelumnya, diketahui ada beberapa warga terindikasi gangguan jantung dan paru, sekitar 22%. Kemudian, 33% warga obesitas alias berat badan berlebih, 11% infeksi saluran kencing.

Hasil pemeriksaan terhadap peserta uji yang rata-rata berusia 40-50 itu juga mendapati ada kecenderungan pembekuan darah yang berpotensi menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Begitu juga hasil pemeriksaan urin yang didapati ada sel-sel padat.

Amin Widodo, ahli Geologi asal Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menyebut, derajat penurunan kesehatan warga tak dapat dipungkiri sebagai akibar dari lumpur Lapindo yang hingga kini terus menyembur.

Penelitian yang dia lakukan menunjukkan ada kontaminasi logam berat dan polusi udara cukup padat. “Pada 2010, penelitian didukung gubernur menunjukkan ada kontaminasi udara. Waktu itu rekomendasi pengosongan area.” Untuk itu, katanya, dalam jangka panjang pasti akan berdampak pada kesehatan masyarakat.

Sayangnya, hasil kajian itu tak pernah didukung penelitian lanjutan mengenai dampak kesehatan komphrehensif.

 

 

Syaf Satriawarma, Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo menepis ada peningkatan gangguan kesehatan warga sekitar Lapindo, termasuk ODGJ di Glagaharum, Porong.

“Itu data darimana? Harusnya ada laporan masuk ke Puskesmas. Kalau memang terbukti, pasti kami tidak lanjuti. Kalau data dari perorangan, kan nggak bisa begitu datanya. Jadi, pihak desa itu tolong kalau memang ada yang bermasalah, sampaikan ke Puskesmas. Nanti kami turun ke lapangan. Kalau tidak ada laporan masuk, tahu darimana kami?”

Bantahan sama juga disampaikan Syaf terkait kasus stunting. Menurut dia, angka stunting di Desa Glagah Arum, Porong, bertambang, sulit diterima akal. Pasalnya, stunting menjadi salah satu fokus perhatian Dinkes hingga pemantauan bayi baru lahir senantiasa dilakukan.

Nggak mungkin itu. Karena stunting itu tidak mungkin muncul tiba-tiba. Kalau memang ada peningkatan, harusnya itu sudah terbaca dari awal. Masak itu nggak terbaca,” kilah Syaf saat dihubungi melalui selulernya.

Syaf menyebut, bayi yang bermasalah dengan gizi dan pertumbuhan kemungkinan sebagai data akumulatif dari tahun-tahun sebelumnya. Dia berjanji menindaklanjuti dan klarifikasi.

“Kalau ada pegang data itu, dari mana datanya. Kalau itu dari Puskesmas, itu pasti akumulatif. Nggak mungkin setahun ada kenaikan 30. Stunting itu bukan perjalanan satu dua bilan. Itu perjalanan setahun. Saya perlu klarifikasi dulu dengan puskesmas, akan saya cek.”

Kendati demikian, pada prinsipnya, dia sepakat bila kehadiran lumpur ikut mengancam kesehatan warga baik dari kandungan gas metan atau logam berat. Karena itu, sejak lama Dinkes mewanti-wanti warga tidak lagi pakai air sumur guna keperluan sehari-hari lantaran sudah tercemar.

Dia menyebut, sebagian besar warga juga sudah memahami situasi itu. Air sumur juga tak lagi bisa dipakai karena berubah kehitam-hitaman ketika dimasak.

Bagaimana dengan kasus ISPA yang relatif tinggi? Menurut dia kalau data itu benar tentu segera mengambil langkah.

Namun, dia berdalih warga terlihat adem ayem dan tak tampak bermasalah dengan kesehatan. Belum ada laporan soal peningkatan kasus ISPA.

“ISPA-nya loh anteng-anteng ae. Mulai kejadian kan belum ada laporan yang menyebut ISPA disitu jelek, sampai terjadi kelainan paru-paru misal, nggak ada,” kata Syaf.

Kalau pun ada, katanya, tidak bisa serta merta dikaitkan dengan keberadaan lumpur Lapindo. Dia menyebut, secara umum, kasus ISPA di Sidoarjo masih tinggi. Bahkan, mencapai 20% dari penduduk dengan berbagai penyebab, seperti partikel, bakteri hingga virus.

Apapun bantahan pemerintah, di lapangan, warga korban lumpur Lapindo, terus mengalami berbagai persoalan.

 

*****

Foto utama: Permukiman yang kini berubah menjadi danau lumpur. Hingga kini, total luas genangan lumpur mencapai 7 kilometer persegi. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version