Mongabay.co.id

Kala Tambang sampai PLTU Berada di Wilayah Rawan Bencana

Foto utama: Di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kana asap dari pabrik smelter. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

 

 

 

 

Pada penghujung September 2018, tsunami setinggi 1,5 meter bergulung menuju Teluk Palu, setelah gempa 7,4 Magnitudo menghantam Sulawesi Tengah, 20 menit sebelumnya. Teluk Palu membentang dari utara ke selatan, letak Pusat Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Kala menerjang Teluk Palu, sisi timur, di Kelurahan Panau, tsunami merontonkkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, dalam hitungan detik. Cerobong yang sabah hari memuntahkan asap pembakaran batubara seajk 2007 ini berhenti.

Gempa tsunami petang itu dipicu aktivitas sesar geser Palu Koro, kawasan seismik Pulau Sulawesi. Dampak gempa bahkan menjangkau Kabupaten Donggala dan sekitar. Di Panau, 1.174 warga mengungsi.

Letak PLTU Panau persis di pesisir dan berdekatan pemukiman. Rumah Arzad H. Hasan, tinggal terpaut hanya 50 meter dengan PLTU Panau. “Langsung berhadapan dengan posisi PLTU,” katanya.

Hidup bertetangga dengan PLTU adalah kepahitan bagi Arzad, dan warga lain. Saban hari warga terpapar asap pembakaran batubara. Debu batubara di lokasi penimbunan pun berterbangan.

Pada 2018, Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu), meluncurkan lembar fakta yang memperlihatkan, dampak limbah PLTU Panau bagi warga tak main-main. Mereka mengeluh sesak napas. Sebagian terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), bahkan, kanker getah bening. Komiu wawancara 23 warga.

Sebelumnya, rentang 2015-2017, masih dalam lembar fakta Komiu, lima warga meninggal karena kanker dan penyakit paru-paru.

“Kami menderita selama 11 tahun, terpapar dengan berbagai dampak PLTU,” kata Arzad.

Arzad bercerita saat temu virtual, peluncuran laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Tren Asia dan Bersihkan Indonesia, berjudul “Bencana yang Diundang”.

Laporan ini mencoba memotret sebaran entitas industri ekstraktif dan pengaruh pada keselamatan warga di kawasan risiko bencana (KRB) di Indonesia.

Arzad dan PLTU kelolaan PT. Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) ini hanya satu contoh di Sulawesi, bagaimana bisnis ekstraktif berada di kawasan risiko bencana yang menyimpan ancaman tinggi, yakni, gempabumi dan tsunami.

 

Baca: Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3 

Koalisi setidaknya menemukan ada 13 PLTU beroperasi di KRB gempabumi, dengan kapasitas 803 Megawat (MW). Dua PLTU kapasitas total 250 MW dalam proses konstruksi, dua sedang proses perolehan izin, dengan kapasitas 480MW dan enam PLTU bakal dibangun, kapasitas 530MW.

“Sejak awal kami sudah mengatakan PLTU PJPP ini tidak layak dibangun, apalagi di tengah-tengah permukiman,” kata Arzad.

Termasuk, katanya, lahan tempat berdiri PLTU ini kawasan pertanian produktif masyarakat.

Beberapa hari setelah tsunami, Arzad masuk PLTU Panau. Sejumlah fasilitas tetap menjulang. Sebagian hancur. Sambil mengangkat gawai, dia merekam kondisi PLTU itu. Dia menuju liang persegi panjang dengan dasar karung-karung yang tampak berisi sesuatu tergeletak berhamburan di genangan berkelir hitam pekat. Di sekitar liang, karung yang berhamburan lebih banyak.

Arzad menduga, genangan hitam itu adalah bottom ash, limbah pembakaran batubara yang mengendap dan tercampur air.

“Inilah fakta-fakta. Dengan fly ash dan bottom ash sekian juta ton hanya disembunyikan seperti ini modelnya. Merusak lingkungan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. Video itu dia unggah ke YouTube, pada 19 November 2018.

Pengelolaan limbah PLTU Panau diwarnai masalah. Warga Panau berulang kali protes. PJPP digugat persoalan limbah di Pengadilan Negeri Palu, pada 2015. Pengadilan memutuskan perusahaan tidak bersalah. Pada 2016, Mahkamah Agung, membatalkan putusan pengadilan Palu lewat No: 1199 K/Pid.Sus/2016.

Putusan MA ini sekaligus membuktikan, PLTU Panau “tanpa izin dumping limbah ke media lingkungan.” Pada 2017, PJPP mengusulkan permintaan izin buat membangun tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah FABA. Warga menolak, sekaligus mendesak PJPP segera berhenti operasi. Hasilnya, rencana pembangunan TPS kandas.

PLTU Panau diduga tetap membuang limbah ke lingkungan. Pada Februari 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel lokasi itu. KLHK menilai, PLTU Panau tidak mengelola limbah dengan baik, hanya dibuang di bantaran sungai—bagian muara.

Dampak PLTU Panau, juga menggerus penghasilan nelayan kecil pesisir Tawaeli. Tangkapan ikan teri berkurang sejak PLTU ini operasi. “Setelah PLTU tidak beroperasi—kurang lebih satu tahun pascagempa, nelayan dalam semalam [melaut] itu bisa mendapat berkah Rp1-Rp2juta. Alhamdulillah,” kata Arzad.

Belakangan muncul rencana rekonstruksi PLTU Panau. Arzad cemas lagi, apalagi limbah FABA bukan lagi masuk dalam daftar limbah B3, setelah Presiden Joko Widodo, meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja.

“Sangat berbahaya sekali.”

Sejak PLTU Panau berhenti operasi, Arzad bilang, warga semangat memperbaiki kondisi lingkungan. Mereka tanam mangrove di sepanjang pesisir. “Begitu antusias respons masyarakat Panau di sini. Semacam ada kesadaran tentang lingkungan yang sehat pasca tidak operasinya PLTU PJPP ini.”

Taufik dari Jatam Sulteng mengatakan, pascagempa Palu peta zona rawan bencana, terbagi dalam kategori-kategori zonasi. Zona terlarang, zona terbatas, hingga zona bersyarat.

Kategori zona rawan bencana ini seperti macan ompong. Alih-alih memulihkan, izin tambang hingga PLTU, tetap terbit.

“Saya kira ini juga harus menjadi perhatian serius, selain berdiri di atas KRB, ini juga bencana dan ancaman bencana bagi masyarakat di sekitar PLTU,” kata Taufik.

 

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

 

Rawan bencana

Wilayah lain Sulteng bukan berarti tak punya risiko bencana. Morowali Utara, misal, kata Taufik juga, tetapi dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), masih terbebani izin tambang.

“Dampak yang ditimbulkan dalam proses ini bencana. Pemberian izin ekstraktif, saya kira ini menjadi bencana industri juga,” katanya.

Di Morowali Utara, kata Taufik, warga harus mengungsi. Mereka terdampak polusi PLTU dan pabrik smelter, yang sangat dekat dengan permukiman.

Erci Lamaloa, warga Morowali Utara juga cerita. “Kami di sini lebih dampak ke polusi udara, karena asap pabrik sudah kelewat batas, sudah berlebihan sekali.”

Dia menarik napas. “Setiap hari, setiap saat, gunung-gunung yang tadi warna hijau sudah tidak kentara hijau lagi karena asap itu. Kami di sini mendung terus. Mendung karena dampak dari pabrik.”

Erci adalah Ketua Kelompok Peduli Lingkungan (KPL) Dusun Lambolo, Desa Ganda-Ganda, Morowali Utara. PT COR yang Erci sebut, adalah perusahaan smelter ferronikel, hasil kerjasama antar PT Central Omega Resources (COR) dan PT Macrilink Nickel Development. Kerjasama ini membentuk perusahaan baru: PT COR Industri Indonesia (CORII).

Dalam situs mereka, CORII berkomitmen menempuh langkah strategis, dari perbaikan tata kelola tambang berkelanjutan. Erci melihat kebalikannya.

“Kami di sini, terutama anak-anak sudah banyak sekali sakit-sakitan, batuk-batuk, sampai batuk darah. Sudah ada divonis dokter batuk darah, karena asap di sini memang berlebihan,” katanya.

“Bukan sekadar asap, juga disertai bau busuk yang bikin pusing kepala.”

Erci bilang, warga lain sudah menyerah untuk tinggal sekitar CORII. Mereka ingin pindah dan meminta perusahaan bertanggungjawab. Perusahaan mengabulkan.

“Itu sekarang sedang berprogres, hasilnya sudah ada, kami sudah mau dibayar oleh PT COR, rumah kami mau dibayar, segera pindah.”

Tapi, ada kendala. “Masalah harga rumah,” kata Erci.

Warga lain klaim Erci, merasa harga dari CORII tidak cukup. “Kami mau mencari tempat lebih sehat, masih mau beli tanah, mau bikin rumah, harga yang mau dibayarkan ke kami sangat tidak sesuai.”

Humas Eksternal CORII Ratnawati mengatakan dalam pemberitaan Maret lalu, harga ganti rugi ditentukan tim appraisal. Ratnawati juga membantah dampak asap terhadap kesehatan warga sekitar. Baginya, yang dikeluhkan warga penyakit bawahan, tanpa bukti diagnosa.

“Kami belum bisa bangun klinik seperti yang kami janjikan. Rencananya ada. Tidak sekarang karena saat ini kemampuan perusahaan belum stabil.”

 

 

Tak siap hadapi bencana

Dalam laporan “Bencana yang Diundang,” ditemukan, dari ujung ke ujung Indonesia, ada 131 izin tambang di KRB gempabumi, dengan luasan 1,6 juta hektar. Ada sekitar 2.104 konsesi tambang di KRB rawan banjir dengan 4,5 juta hektar, setara luas Swiss. Kemudian, ada 744 konsesi tambang di atas KRB rawan tanah longsor, seluas 6 juta hektar lebih.

Kemudian, 67 PLTU total kapasitas 8.887 MW beroperasi dan 31 PLTU lain masih tahap pembangunan, dengan kapasitas 6.950 MW, berada di KRB gempabumi. Kemudian, 41 pabrik smelter dalam perencanaan, proses pembangunan dan sebagian berdiri di kawasan berisiko tinggi bencana.

Di Sulawesi, 24 konsesi tambang seluas 321.970 hektar, didominasi tambang emas, batuan, pasir, dan nikel tergelar di KRB gempabumi. Kemudian, di KRB banjir, ada 318 konsesi tambang di kawasan risiko tinggi, seluas 234.749 hektar berupa tambang emas, pasir, batu kapur dan gamping hingga nikel, yang mendominasi di wilayah Sulteng dan Sulawesi Tenggara.

Kemudian di kawasan risiko longsor, ada 148 konsesi tambang 936.111 hektar dominasi nikel, bijih besi, pasir dan kerikil. Kemudian pabrik smelter ada 41 dalam perencanaan, dan sebagian sudah berdiri. Ada 14 pabrik smelter di KRB masuk rawan tanah longsor, didominasi smelter doxit dan nikel. Lalu, 32 nikel berada di KRB banjir dan 18 di KRB gempa.

“Kami melakukan analisis terhadap proyek-proyek ekstraktif dalam hal ini PLTU, pertambangan, smelter dengan daerah risiko bencana gempa bumi, banjir, tanah longsor. Berkaitan juga tsunami,” kata Ahmad Ashov, dari Bersihkan Indonesia.

“Dari temuan singkat ini, laporan ini mau bilang, Indonesia tidak siap menghadapi bencana.”

Ashov bilang, tim menemukan ada kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan (science-policy gap). Kesenjangan itu muncul, katanya, karena konflik kepentingan industri, oligarki ekstraktif dan tentu dengan keselamatan alam dan manusia di berbagai tempat di Indonesia.

“Ada satu kami tekankan, proyek-proyek ekstraktif menimbulkan risiko bencana.”

“Kita ingin soroti pengetahuan yang cukup luas, bahwa kehadiran proyek ekstraktif, seperti tambang, PLTU, dan smelter, itu dapat memicu kerentanan, atau memicu bencana.”

Industri ekstraktif, katanya, merusak dan mendegradasi lingkungan. Sisi lain, banyak makhluk hidup termasuj manusia bergantung hidup dari lingkungan.

Bagaimana ketika daya dukung alam sudah berkurang? “Bisa kita bayangkan saat bencana datang, seperti apa warga dan lingkungan sekitar telah direntankan. Baik itu untuk pangan, kemudian udara dan sumber air yang tercemar.”

Menurut catatan koalisi, sepanjang 2014-2020, daya rusak tambang dan cakupan konflik mencapai 1,6 juta lebih hektar, setara tiga kali luas Bali. “Semua diiringi praktik kriminalisasi terhadap warga yang protes tambang,” kata Ashov.

Sepanjang 2014-2020, tercatat, 269 korban kriminalisasi dan penyerangan. Fakta ini, katanya, bakal diperparah dengan UU yang memberi karpet merah bagi industri ekstraktif ini.

 

 

 

*****

Foto utama: Di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kana asap dari pabrik smelter. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

Exit mobile version