Mongabay.co.id

Jaga Lingkungan dari Tambang, Tiga Warga Alasbuluh Kena Vonis 3 Bulan

 

 

 

 

Pada 27 Mei lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis hukum tiga bulan penjara, denda Rp5.000 kepada tiga pembela lingkungan, Ahmad Busiin, H. Sugiyanto, dan Abdullah, warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo. Mereka kena penjara gara-gara didakwa menghalangi truk pengangkut galian C atau pasir dan batu milik PT Rolas Nusantara (RNT). Mereka terjerat Pasal 162 UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ketiga warga Kecamatan Wongsorejo itu didampingi penasihat hukum: Ahmad Baidowi, Hendra, dan Ahmad Rifa’i.

“Amar [putusan] menyatakan para terdakwa bersalah, menghukum penjara tiga bulan, dari tuntutan enam bulan. Kami menyatakan pikir-pikir. Kemungkinan besar kami akan banding,” kata Rifa’i.

Meski menghormati keputusan PN Banyuwangi, namun dia kecewa. Apalagi, pembelaan tentang aspek lingkungan tidak jadi pertimbangan sama sekali.

Kasus ini ditangani polisi pada 2018. Berkas perkara baru masuk 2019 dan sidang awal Januari 2021. Ketiga warga ini menghadang truk galian C di Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo pada 2 Juni 2018. Mereka sejak 2014 menolak pertambangan ini.

Ratusan warga Banyuwangi tergabung dalam Aliansi Suara Rakyat Banyuwangi (Swarawangi) terdiri dari petani, buruh, mahasiswa hingga pelajar turut bersolidaritas dengan aksi damai dari Taman Makam Pahlawan Banyuwangi menuju Kantor PN Banyuwangi. Mereka menuntut keadilan bagi trio pejuang lingkungan Alasbuluh ini.  Demonstrasi juga digelar di depan Kantor PN Banyuwangi.

“Warga dari Desa Alasbuluh banyak turut serta bersolidaritas, untuk memperjuangkan keadilan bagi trio pejuang lingkungan Alasbuluh,” kata Rekse Umu, perwakilan dari Swarawangi kepada Mongabay.

Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013, perkara lingkungan hidup itu mempunyai karateristik tertentu berbeda dengan perkara lain. Ia merupakan perkara atas hak yang dijamin di dalam konsitusi.

Perihal ini, I Gusti Agung Made Wardana, pengajar di Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) memberikan keterangan secara daring–dalam kapasitas sebagai ahli—kepada majelis hakim pada 22 Maret 2021.

Agung mengatakan, perkara yang mendera tiga orang ini termasuk kategori strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Dia berpendapat, seharusnya hakim menggunakan pasal anti-SLAPP.

“Perkara ini harus dilihat sebagai sebuah bentuk SLAPP, karena terdakwa sedang berjuang untuk hak atas ingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Perkara ini, katanya, memenuhi tiga proses SLAPP, pertama, masyarakat mengambil posisi berseberangan dan mengungkapkan ketidaksetujuan atas kegiatan atau usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Kedua, pelaku kegiatan dan, atau usaha dalam hal ini perusahaaan menilai, penolakan masyarakat bertentangan dengan kepentingan dan tujuan perusahaan.

Ketiga, penggunaan mekanisme hukum baik pidana maupun perdata dalam membungkam advokasi masyarakat.

Dengan memperkarakan Ahmad Busiin dkk, kata Agung, pihak yang berkepentingan dengan tambang galian C RNT seolah ingin mengirim pesan, siapa pun yang menolak tambang galian C akan mengalami nasib seperti Ahmad Busiin dkk. Hal ini, katanya, termasuk upaya pembungkaman sikap kritis warga.

“Keberadaan SLAPP itu ditandai dengan ada pembungkaman sikap kritis warga. Pelaporan gerakan warga yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat termasuk SLAPP.”

Pasal anti-SLAPP yang dia maksud adalah Pasal 66 Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ia berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata.”

Selain bertujuan mematahkan sikap kritis warga, tujuan lain dari SLAPP adalah menciptakan pengalihan konflik. Konflik lingkungan yang bernuansa publik jadi pribadi.

Dalam kasus ini jelas. Konflik yang bernuansa publik—lantaran masyarakat tak ingin terkena dampak tambang galian C milik RNT—, melalui perkara ini beralih jadi seolah-olah konflik antara terdakwa dengan perusahaan.

 

Baca: Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan

Aksi warga saat persidangan tiga warga yang berusaha menjaga lingkungan hidup mereka tak rusak karena tambang galian C di Alasbuluh. Foto: For Banyuwangi

 

***

Data tim For Banyuwangi sejak 22 Oktober 2013-9 Agustus 2018 menyatakan, RNT berdiri pada 22 Oktober 2013, anak perusahaaan dari PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) dan PT Rolas Nusantara Mandiri (RNM) berkedudukan di Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya.

RNT melakukan proses sebagian atau seluruh tahapan penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan batuan yang meliputi, penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi penambangan, pengolahan, pengangkutan, dan penjualan serta kegiatan pasca-tambang. Perusahaan ini berdiri dengan modal Rp80 miliar, dengan komposisi 30% PTPN XII dan RNM, serta 70% kredit perbankan.

Pada 11 Desember 2013, terjadi perubahan komposisi kepemilikan saham RNT. Saham RNT dimiliki PTPN XII 95%, sisanya 5% RNM.

RNT mulai operasi penambangan galian C pada 29 Agustus 2014, bertempat di Afdeling Sidomulyo, Kebun Pasewaran, PTPN XII. Afdeling Sidomulyo secara administratif di Dusun Krajan II, Desa Alasbuluh.

Galian ini hanya berjarak sekitar 600 meter dari pemukiman warga. Operasi jalan setelah Pemkab Banyuwangi menerbitkan surat IUP operasi produksi pada 2014, tanpa konsultasi publik.

Pada 17 Oktober 2014, bertempat di Mushola Barokah, warga Sidomulyo bermusyawarah terkait tambang galian C ini. Hasil kesepakatan, masyarakat Sidomulyo tak setuju penambangan galian C RNT.

Selanjutnya, pada 28 Oktober 2014, masyarakat membahas kondisi lingkungan hidup Dusun Sidomulyo, Desa Alasbuluh. Musyawarah ini diikuti sekitar 48 orang, antara lain, Ahmad Taufik (anggota DPRD Banyuwangi), Abu Soleh Said (Kades Alasbuluh), Sujiono (Kadus), Sugianto (anggota BPD Alasbuluh).

Pada 7 November 2014, di Kantor Desa Alasbuluh, ada musyawarah antara warga Dusun dengan PTPN XII Afdeling Sidomulyo. Kesepakatannya, sebagai berikut, truk besar pengangkut hasil panen tak boleh masuk jalan Dusun Sidomulyo, truk kecil (truk engkel) boleh masuk jalan Sidomulyo dengan syarat gunakan tutup terpal.

Kemudian. penyiraman jalan Dusun Sidomulyo rutin oleh PTPN XII Afdeling Sidomulyo. Jalan rusak akan diperbaiki PTPN, saat warga mengangkut hasil panen dan sapi, PTPN akan membuka portal jalan barat.

Lalu, warga boleh mengambil rumput di wilayah PTPN tanpa harus pemetaan dan pemetakan lahan rumput. Warga bolehk menggembala sapi di wilayah PTPN XII Afdeling Sidomulyo, dengan syarat sapi diikat, tidak liar.

Kesepakatan ditandatangani Kepala Desa Alasbuluh, Abu Soleh Said.

Kesepakatan musyawarah belum juga terealisasi, Abdullah, warga Sidomulyo pun pada 11 Mei 2015 kirim surat menagih realisasi kesepakatan musyawarah. Surat ini kepada Kepala Desa Alasbuluh dan Kepala PTPN XII Afdeling Sidomulyo dengan tembusan Lepada BPD Alasbuluh, Kapolsek Wongsorejo, Danramil Wongsorejo, dan Camat Wongsorejo. Tak ada respon.

Abdullah kirim surat lagi ditembuskan kepada BPD Alasbuluh, Kapolsek Wongsorejo, Danramil Wongsorejo, dan Camat Wongsorejo. Abdullah menjelaskan, jalan Dusun Sidomulyo rusak parah karena dilalui dump truk bermuatan material galian C.

Dia juga menjelaskan, hingga Agustus 2015 warga belum boleh mengambil rumput di wilayah PTPN XII. Malah, katanya, rumput dipetak-petak dijual ke warga luar Sidomulyo.

Abdullah bilang, warga yang bertempat tinggal di ruas jalan utama Dusun Sidomulyo mulai terganggu lantaran hilir-mudik dump truk pengangkut material galian C.

Aktivitas dump truk juga mengganggu kegiatan belajar mengajar (KBM) dua sekolahan, yakni Raudhatul Athfal Miftahul Ulum dan Madrasah Ibtida’iyah (MI) Nurul Islam.

Singkat cerita, penghujung Desember 2017, hujan turun selama 11 jam, banjir besar terjadi.

Ahmad Sayuti, Pengurus Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Alasbuluh (Formalin), mengatakan, sebelum 2014, Desa Alasbuluh tak pernah banjir besar. Desa Alasbuluh banjir sejak tambang galian C mulai beroperasi. Banjir merendam ladang 10 hektar setinggi 30 cm, dua jembatan di Dusun Umbulsari, Alasbuluh, terputus.

Pada 2 Juni 2018, warga menghadang truk pengangkut material galian C. Abdullah bilang, aksi ini disaksikan Kanit Binmas Polsek Wongsorejo Aiptu Imam Supii.

Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Puncaknya, pada 9 Juli 2018, ratusan warga unjuk rasa dari Kantor Desa Alasbuluh menuju Kantor Desa Wongsorejo berakhir di Kantor Camat Wongsorejo. Empat organisasi di lingkup Kecamatan Wongsorejo jadi peserta unjuk rasa ini.

Mereka adalah Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB), Organisasi Petani Perempuan Wongsorejo Banyuwangi (OP2WB), Gerakan Pemuda Pecinta Alam Wongsorejo (Gempa), dan Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Desa Alasbuluh (Formalin).

Aksi mereka untuk menyuarakan penolakan warga atas rencana pembangunan Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) dan ekspansi tambang galian C. Juga menyikapi pembahasan dokumen analisis dampak lingkungan (andal) galian C.

Polisi keluarkan surat panggilan 25 Juli 2018 meminta keterangan Abdullah. Surat itu ada hubungan dengan aksi warga menghadang truk pengangkut material galian C pada 2 Juni 2018.

Ada mediasi oleh Pemerintah Desa Alasbuluh 6 Agustus 2018. Perusahaan tak hadir. Wakil Ketua BPD Alasbuluh, Sugianto menolak tambang galian C. Dia ingin beserta keluarga bisa menghirup udara bersih. Dia juga ingin hidup tenang dan tentram.

Pertemuan mau pakai pemungutan suara. Sumiati, warga Sidomulyo, juga keluar dari pertemuan. Dia bercerita, banjir membuatnya dua kali gagal panen berturut-turut sejak 2017.

Rekse Umu Romadhon bilang, selain banjir, gagal panen juga karena debu lalu lalang dump truk pertambangan.

Ahmad Rifa’I, Ketua Tim Penasihat Hukum Trio Pejuang Alasbuluh, menyatakan, temuan tim tentang HGU dan IUP operasi tak berdasarkan amdal/UKL-UPL. Tim kuasa hukum juga menemukan ketidakmampuan RNT menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat sekitar tambang.

Walhi Jatim, mengatakan, akar permasalahan penghadangan warga pada 2018 terdorong keinginan menyelamatkan desa dan tempat tinggal dari dampak buruk galian C. “Negara harusnya mengapresiasi perjuangan warga dalam mempertahankan ruang hidup dan melestarikan lingkungan hidup,” kata Wahyu Eka Setiawan, Manager Kampanye Walhi Jatim.

Warga yang berjuang demi keamanan lingkungan mereka, katanya, kena vonis sedang tambang dibiarkan begitu saja. “Tidak pernah evaluasi, ditindak dan dihukum. Berizin atau tidak berizin selama itu merusak kawasan, berdampak pada masyarakat dan mengakibatkan degradasi lingkungan adalah pelanggaran konstitusi dan bentuk perusakan lingkungan hidup.

Dalam rilis Walhi Jawa Timur merilis menyebutkan, sepanjang 2015-2019 di Jawa Timur terjadi 12 kasus besar benturan antara kepentingan industri dengan lingkungan serta kepentingan warga dalam mempertahankan ruang hidup.

Dari 12 kasus ini, sektor pertambangan dan kehutanan jadi penyumbang konflik utama. Keduabelas kasus ini, mengakibatkan 87 warga jadi korban, sebagian dipenjara, ada alami siksaan fisik, bahkan tertembak peluru aparat. Dari 12 kasus itu, Banyuwangi kabupaten kasus terbanyak.

 

 

 

*****

Foto utama:  Tiga warga Alasbuluh yang berusaha protes karena kampung mereka rusak karena tambang galian C kena vonis hakim tiga bulan. Mereka ini dari kiri ke kanan, Abdullah, Sugianto dan Ahmad Busiin. Foto: For Banyuwangi

Exit mobile version