Mongabay.co.id

15 Tahun Lumpur Lapindo: Darat, Air dan Udara Sekitar Tercemar

 

 

 

 

 

Semburan lumpur dampak operasi perusahaan minyak dan gas, PT Lapindo Brantas, sejak 29 Mei 2006, hingga kini tak kunjung berhenti. Kerusakan lingkungan hidup terjadi antara lain, pencemaran logam berat dari darat, air dan udara sampai ancaman penurunan tanah.

Tarzan Purnomo, ahli biologi asal Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan, aliran lumpur sejak 15 tahun silam menyebabkan pencemaran logam berat. Paling mengkhawatirkan, katanya, paparan logam berat itu sudah mengkontaminasi lahan-lahan pertanian warga maupun perairan.

“Luapan lumpur menyebabkan pencemaran logam berat di lahan pertanian, itu berpotensi jadikan produk pertanian tercemar,” katanya.

Tarzan meneliti dan publis dalam Jurnal American Scientific Publisher, Vol. 23 12054-12057 pada 2017. Penelitian itu untuk mengetahui kandungan dan distribusi logam berat seperti timbal (Pb), Kadmimum (Cd) dan Selenium (Se) pada lahan-lahan pertanian maupun tambak ikan sekitar lumpur Lapindo. Dia teliti beberapa tanaman seperti padi, tebu, kangkung, dan ikan.

Dia bilang, penelitian dengan mengambil sampel proporsional berdasarkan peta pencemaran lumpur panas Porong, meliputi Desa Keboguyang untuk pertanian, Glagah Arum untuk tanaman tebu. Pajarakan dan Reno Kenongo masing-masing untuk perikanan atau tambak.

Aanalisa Tarzan,  kandungan logam berat dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom (SSA), dan mengkomparasikan dengan baku mutu berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur 45/2002. Juga Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/2004, dan Peraturan Pemerintah No. 82/2001.

Hasilnya, kandungan logam berat pada lahan pertanian telah melebihi baku mutu nilai ambang batas, yakni, Pb 0.157–7.156 ppm, Cd 0.024–2.360 ppm, Se 0.081–7.841 ppm.

Kandungan logam berat hasil pertanian juga di atas baku mutu ambang batas (Pb 0,305–1,611 ppm, Cd 0,034–0,086 ppm, Se0,066–1,086 ppm).

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Derita Warga Tak Berkesudahan

 

Dengan kandungan logam berat sebesar itu, katanya, produk tidak aman konsumsi. Penelitian Tarzan juga memperlihatkan penurunan produktivitas pertanian karena kian melemah daya dukung lahan.

Temuan itu sejalan dengan pengakuan Susilowati, petani di Desa Glagah Arum dengan lokasi tepat di sisi timur tanggul lumpur. Sebelumnya, dia memiliki dua petak sawah. Satu di dijual kepada Lapindo Brantas. Satu petak tak lagi bisa ditanami.

“Pernah dicoba ditanami, tidak bisa, rugi terus karena air asin,” katanya.

Untuk bertahan hidup, kini Susilowati mengandalkan pendapatan dari sewa tegalan di Pasuruan dengan hasil tak seberapa.

 

Tercemar

Dia bilang, penurunan kualiltas lingkungan bukan hanya pada lahan pertanian. Sumur-sumur rumah yang sebelumnya untuk keperluan sehari-hari kini tidak layak pakai lagi.

Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam kemasan jeriken Rp2.500 per 25 liter.

Tarzan mengatakan, lumpur panas yang menyembur belasan tahun lalu itu menimbulkan kerugian sangat besar. Selain ribuan warga terusir dari kampung halaman, lahan-lahan kini tak lagi berfungsi karena tak bisa ditanami.

Keadaan ini, katanya, karena lumpur-lumpur mengalir ke Kali Porong, waktu awal juga ke sungai-sungai kecil di pedalaman.

Kebijakan membuang lumpur ke Kali Porong itu, katanya, menimbulkan dampak turunan. Logam-logam berat yang terkandung dalam lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung dengan Selat Madura.

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Dari Masalah Kesehatan sampai Gangguan Tumbuh Kembang Anak

Pulau Lusi, di muara Kali Porong. Pulau seluas 94 hektar ini merupakan hasil endapan lumpur yang dialirkan ke Kali Porong. Foto: Widya Andriana.

 

Dampaknya, bukan hanya kawasan pertanian. Ekosistem perairan laut juga tak luput dari cemaran. Indikasi itu terungkap dari kandungan logam berat pada ikan air tawar dan di perairan Selat Madura yang melebihi ambang batas.

Tarzan bilang, hasil perikanan pun tak laik konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal dan selenium.

Kalau mengkonsumsi ikan-ikan ini, katanya, kandungan senyawa itu akan terakumulasi dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Kadmium yang melimpah pada tubuh manusia berpotensi merusak fungsi hati dan ginjal. Bahkan, meski pada konsentrasi rendah sekalipun, tetap berpengaruh pada gangguan paru, emfisema dan penyakit tubularditis ginjal kronik. Dia bilang, kadar normal kadmium dalam tubuh di bawah satu ppm.

“Logam berat bersifat racun dan terakumulasi di jaringan tubuh makhluk hidup melalui rantai makanan. Untuk mencegahnya, ya menghindari makanan yang terbukti mengandung kontaminasi loham berat itu.”

Hasil pertanian yang mengandung logam berat itu, katanya, kalau dikonsumsi manusia sangat berisiko bagi kesehatan karena toksisitas dapat menghambat kerja enzim, proses metabolisme, alergen, mutagen, teratogen atau karsinogen.

Keracunan timbal ini dalam jumlah besar, katanya, bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal, sistem reproduksi, hati, otak, sistem saraf pusat, bahkan kematian.

Selain itu, kata Tarzan, dalam jangka panjang, situasi ini akan mempengaruhi sistem kedaulatan pangan di wilayah setempat. Dengan daya dukung pertanian dan perikanan menurun, katanya, memicu petani beralih pada pekerjaan lain.

Kemudian, ada penelitian terbaru menyimpulkan, kalau lumpur Lapindo sebagai situs geologi yang menyumbang emisi terbesar di muka bumi lantaran. Hasil pengukuran emisi gas yang terlepas mencapai 100.000 ton per tahun.

Temuan itu sekaligus memperpanjang daftar dampak buruk dari lumpur Lapindo. Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, sejak tragedi kemanusiaan dan lingkungan hidup ini tren warga sakit mengalami peningkatan signifikan terutama

ISPA. Fakta ini, terpantau di dua puskesmas di sektiar semburan lumpur.

 

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

 

Rere Cristanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim menyatakan, peningkatan penyakit warga tak lepas dari logam berat yang banyak terkonsentrasi di sekitar lumpur, seperti kadmium hingga timbal.

Di beberapa lokasi, konsentrasi bahkan mencapai tiga kali lipat di atas ambang batas. Paparan senyawa berbahaya itulah yang terbawa udara, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan warga.

Celakanya, kendati terdampak langsung atas lumpur Lapindo, para korban ini tidak termasuk dalam peta zonasi terdampak. Padahal, kata Rere, kehadiran lumpur ini nyata mengganggu ruang hidup, kesehatan, bahkan ketentraman warga.

Persoalan ini makin kompleks dengan sikap pemerintah yang cenderung acuh terhadap situasi ini. Alih-alih pemetaan ulang wilayah terdampak, pemerintah cenderung abai terhadap kerugian non materi yang diderita warga. Mereka yang tetap bertahan di sekitar area lumpur, secara terus menerus dibiarkan tak terurus.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga merilis kondisi terkini di sekitar semburan lumpur Lapindo dari Posko KKLula, antara lain, melakukan pemantauan kualitas air maupun udara. Pemantauan bersama Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton mengatakan, pemerintah seharusnya bisa berbuat lebih dalam mengantisipasi dampak lanjutan dari lumpur Lapindo ini.

 

“Kenyataannya, tidak dilakukan.”

Soal dampak, sebenarnya sudah terpantau sejak pertama kali peristiwa ini terjadi. Termasuk, soal pembuangan lumpur ke Sungai Porong yang memincu perubahan ekosistem di perairan.

“Jelas dari awal, dari penelitian yang kami lakukan sudah terjadi perubahan pada ekosistem perairan baik pada wilayah upstream maupun downstream,” katanya.

 

Warga menanam padi di halaman rumah terdampak lumpur Lapindo. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, mengantisipasi ini pemerintah seharusnya bisa melakukan kajian menyeluruh terkait langkah-langkah antisipasi.

Berbagai penelitian terkait kandungan logam berat lumpur Lapindo, katanya, sudah banyak dilakukan. Sudah selayaknya, pemerintah beraksi seperti memberikan sosialisasi. Terlebih, sekitar Kali Porong, sebagai sentra budidaya perikanan, udang dan bandeng. Sayangnya, hal-hal seperti ini luput dari perhatian negara.

 

Bertahan atau pindah

Warga berhadapan dengan pilihan, pindah dengan perasaan kehilangan atau menetap dengan konsekuensi hidup berdampingan dengan bahaya lumpur. Di tengah kegamangan itu, sebagian warga memilih tetap bertahan sebagai penduduk asal, meski sehari-hari tinggal di tempat baru.

“Ya, mereka belum rela untuk benar-benar lepas dari kampung halaman yang lama,” kata Eko Widodo, Koordintor Pos Koordinasi Keselamatan Korban Korban Lumpur Lapindo (Posko KKLuLa) mengatakan,

Penuturan sama disampaikan Harwati. Perempuan asal Kelurahan Siring, Kecamatan Porong ini mengatakan, hingga kini, setidaknya masih ada 1.400 warga secara administratif tetap bertahan sebagai penduduk lama.

Mereka sadar keputusan itu membawa konsekuensi di luar kewajaran sebagai warga negara. Sebut saja, kantor pelayanan warga. Kendati masih ada 1.400 lebih penduduk tercatat sebagai warga Siring, nyatanya, kelurahan ini tak memiliki kantor setelah kantor lama terendam lumpur.

Walhasil, pelayanan seadanya. Sebuah ruangan kecil berukuran 3×5 meter di bekas komplek kantor Kelurahan Mindi, sebagai kantor darurat. Kebetulan, berbeda dengan Kantor Kelurahan Siring yang tenggelam, bekas Komplek Kelurahan Mindi masih bisa dipakai.

Sebagai kantor darurat, fasilitas terlihat seadanya. Hanya satu meja dan kursi, serta seperangkat komputer beserta printer. Itupun, kata Herawati, peralatan dibeli dari dana swadana warga. “Bagaimanapun juga mereka masih warga Siring yang susatu saat pasti membutuhkan pelayanan,” katanya.

Ketika saya berkunjung ke sana menjelang akhir Ramadan lalu, ada warga Siring tengah mengurus surat keterangan miskin. Surat ini akan dia pakai untuk pengobatan suaminya yang sakit ISPA.

Harwati, juga warga yang tetap menjadikan Kelurahan Siring sebagai alamat di KTP. Baginya, dokumen kependudukan itu satu-satunya ikatan dengan kampung halaman yang telah ‘hilang’ terkubur lumpur.

Selama 15 tahun sejak lumpur menenggelamkan rumahnya, kehidupan Harwati pontang-panting. Kehilangan suami dan orangtua tak lama setelah lumpur menenggelamkan rumah mereka. Sebelum pandemi, Harwati bekerja sebagai tukang ojek di kawasan tanggul.

Kini, setelah pandemi dia tak ngojek. Praktis, hari-hari dia banyak dilewati di kantor kelurahan darurat di bekas Kelurahan Mindi. “Bantu-bantu warga yang membutuhkan karena kan masih banyak yang belum pindah,” kata Harwati.

 

Warga tengah melintas membawa pakan ternak di tepian tanggul lumpur Lapindo. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

*****

 

Exit mobile version