Mongabay.co.id

Peraturan Turunan UU Cipta Karya Harus Dibuat dengan Transparan

 

Penyusunan sejumlah aturan bidang kelautan dan perikanan yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sebaiknya dilakukan secara transparan dan partisipatif. Hal itu, karena isu yang akan diatur akan bertabrakan dan beririsan dengan kepentingan sektor lain, dan juga karena itu adalah kepentingan publik yang luas.

Jika penyusunan tidak dilakukan dengan transparan dan partisipatif, maka substansi aturan tersebut dikhawatirkan tidak akan sejalan dengan kepentingan publik. Juga, berpotensi akan mendapat resistensi dari masyarakat, dan berakhir sulit untuk dilaksanakan secara optimal.

Demikian pernyataan dari Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan saat memberikan pendapat tentang peraturan turunan dari UUCK yang saat ini masih dalam pembahasan.

“Beleid peraturan Menteri (Kelautan dan Perikanan) tersebut akan mengatur sejumlah hal teknis terkait penyelenggaraan berbasis risiko, penyelenggaraan penataan ruang, dan penyelenggaraan bidang kelautan dan perikanan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Mengingat besarnya dampak yang akan ditimbulkan, penyusunan sejumlah rancangan peraturan Menteri KP yang saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebaiknya juga melibatkan pemangku kepentingan yang terkait secara langsun.

Menurut Abdi Suhufan, sedikitnya ada 59 rancangan peraturan Menteri KP yang saat ini tengah dalam proses penyusunan dan menjadi turunan dari UUCK. Seluruh proses penyusunan tersebut, harus mendapatkan pengawalan publik yang ketat.

baca : Pemerintah Klaim Omnibus Law Beri Manfaat Khusus untuk Petani dan Nelayan

 

Nelayan memperbaiki jaring yang rusak. Jaring ini digunakan untuk tangkapan ikan tongkol. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Perlunya melaksanakan langkah-langkah di atas, karena saat ini sudah diterbitkan sebanyak tiga peraturan pemerintah (PP) oleh Pemerintah Indonesia yang menjadi turunan langsung dari UUCK. Sementara, KKP justru seperti tidak terbuka dalam membuat aturan turunan dari tiga PP tersebut.

Adapun, tiga PP yang membutuhkan petunjuk teknis pelaksanaan itu, adalah PP No.5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko, PP No.21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dan PP No.27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

”Khusus PP No.27/2021, KKP mempunyai mandat untuk menyiapkan 41 peraturan Menteri, dan ini sangat banyak jumlahnya,” beber dia.

 

Tidak Terbuka

Sikap tertutup yang diperlihatkan KKP saat ini, membuat publik tidak bisa bersuara dan seperti sengaja dibuat pasif untuk menunggu aturan turunan tersebut selesai dan disahkan. Padahal, sejumlah hal yang akan diatur memuat hal yang sangat sensitif dan membutuhkan masukan dari para pihak.

Bagi Abdi Suhufan, ketertutupan tersebut tidak sejalan dengan janji Pemerintah untuk melibatkan pemangku kepentingan sejak proses rancangan kebijakan tersebut disusun. Padahal, penyusunan 59 peraturan turunan tersebut dipastikan prosesnya tidak akan mudah dan bahkan cenderung sulit.

“Kami tidak melihat strategi KKP, apakah akan mencicil 59 Permen tersebut atau akan menyusunnya secara serentak,” terang dia.

Oleh karenanya, Abdi Suhufan mengusulkan agar ditetapkan prioritas peraturan yang mendesak untuk segera diterbitkan, terutama yang menjadi kepentingan dengan Pemerintah sekarang, yaitu peningkatan pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) dan peningkatan produksi budi daya.

baca juga : Kiara : UU Cipta Karya, Perampok Kedaulatan Masyarakat Pesisir

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Peneliti DFW Indonesia Arifuddin menambahkan bahwa saat ini ada sejumlah peraturan Menteri KP yang tidak efektif berjalan dan diperlukan segera untuk dilakukan revisi. Sejumlah peraturan itu, mencakup tentang alat penangkapan ikan (API), andon, dan alat bantu penangkapan ikan.

Dia melihat, saat ini ada banyak pelanggaran hukum yang dilakukan para pihak berkaitan dengan sejumlah peraturan di atas. Di saat yang sama, KKP justru masih kesulitan untuk melaksanakan penegakkan hukum berdasarkan peraturan yang berlaku.

“Kami mendorong KKP untuk memprioritaskan penyusunan aturan tersebut secara terbuka dengan melibatkan pemerintah daerah, pelaku usaha dan pakar,” ucap dia.

Setelah itu, langkah yang bisa dilakukan oleh KKP berikutnya adalah menyusun segera rancangan peraturan Menteri KP tentang tata kelola awak kapal perikanan (AKP) dan peraturan Menteri KP yang membahas tentang logbook penangkapan ikan.

Bagi Arifuddin, perbaikan tata kelola AKP dan laporan hasil tangkapan ikan melalui logbook akan menjadi pintu strategis dalam upaya memperbaiki tata kelola perikanan Indonesia secara umum, dengan tujuan untuk memberikan kebaikan bagi semua pihak yang berkepentingan.

“Saya sangat prihatin dengan besarnya indikasi under reported yang terjadi di perikanan tangkap. Realisasi logbook (juga) masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah armada kapal penangkapan ikan yang saat ini beroperasi di Indonesia,” pungkas dia.

Kekhawatiran akan peraturan yang sedang disusun oleh Pemerintah saat ini, juga disuarakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kekhawatiran itu, terutama karena nasib nelayan diperkirakan akan semakin terpuruk jika sejumlah peraturan yang disusun saat ini sudah diterapkan.

Padahal, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, keberadaan nelayan menjadi bagia penting dalam rantai pangan laut. Dengan demikian, sudah sepantasnya jika nelayan mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari Pemerintah Indonesia.

“Untuk menjaga kedaulatan dan keberlanjutan pangan nasional,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

perlu dibaca : Tantangan UU Cipta Kerja dalam Menguji Kepatuhan Pelaku Usaha Perikanan

 

Dalam kunjungan pertama kali di pelabuhan terbesar di wilayah pantai utara Jawa Timur ini Presiden kelahiran Solo tersebut disambut antusias oleh para nelayan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Nasib Nelayan

Di sisi lain, walau sejumlah peraturan masih dalam pembahasan oleh KKP, namun kehidupan nelayan dinilai sudah mengalami kesulitan akibat peraturan yang sudah berlaku saat ini. Hal itu membuat kehidupan nelayan semakin terancam oleh perampasan ruang hidup yang disahkan oleh Pemerintah melalui regulasi.

Peraturan yang dimaksud, salah satunya adalah UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Kehadiran UU tersebut semakin mengancam ruang hidup nelayan.

Lebih detail, Susan menyebutkan peraturan yang sudah membuat nelayan hidup semakin susah, adalah UU No.3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara. Di dalam UU ini, khususnya pasal 28a disebutkan bahwa wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk bawah perairan, dan landas kontinen.

“Pada titik ini, UU Minerba akan melanggengkan krisis lingkungan hidup, khususnya di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” tegas dia.

UU lainnya yang juga mengancam ruang hidup nelayan, adalah UUCK. UU tersebut bermasalah, karena banyak melawan berbagai berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menempatkan nelayan sebagai sebagai aktor utama dalam penguasaan-pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

“UU ini malah menempatkan korporasi dan oligarki sebagai aktor utama dalam penguasaan-pengelolaan sumber daya alam,” tambah dia.

Misalnya pada pasal 1 ayat 30 UUCK, pengusaha pariwisata ditempatkan sebagai pemegang hak di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Posisi mereka dinilai sudah sejajar dengan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil yang tergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan.

Kemudian, dalam UUCK juga ada pasal 26A yang mendorong liberalisasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil. Investor asing diberikan izin oleh Pemerintah untuk bisa mengeksploitasi pulau-pulau kecil.

baca juga : Penyederhanaan Peraturan Pengelolaan Laut dalam Omnibus Law, Salah Kaprah?

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/52021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Selain UU, ada juga tiga PP yang menjadi turunan langsung dari UUCK yang sudah disebutkan di atas. Ketiga PP tersebut akan semakin mendorong terjadinya perampasan ruang hidup nelayan yang jumlahnya sedikitnya ada 2,5 juta orang saat ini.

Tak hanya itu, semua regulasi tersebut juga akan semakin memperburuk dampak krisis iklim dan ancaman bencana yang terus menghantam kehidupan nelayan. Oleh karena itu, Susan menyebut kalau pilihan yang tepat saat ini adalah Pemerintah mengevaluasi dan mencabut semua regulasi yang merugikan nelayan itu.

 

Exit mobile version